Suasana menjadi begitu hening saat akhirnya Diana membuka kedua bola matanya dengan perlahan.
"Ma..." Suara pelan Diana membangunkan sang ibu yang tertunduk dengan deraian air mata.
Menyadari Diana telah siuman, cepat-cepat ibu tersebut menghapus air matanya dan menoleh ke arah wajah Diana yang masih terlihat sayu. "Sayang, kamu sudah sadar. Ibu akan panggil ayah dulu." Segera ibunya beranjak berdiri dari kursinya, namun Diana menahan tangan ibunya dengan tenaga yang tersisa.
"Ada apa sayang?" Tanya ibunya dengan lembut.
Diana menggelengkan kepalanya dengan pelan. Ia tidak ingin ayahnya hadir saat itu, sebab ada yang ingin ia sampaikan kepada ibunya terlebih dahulu. Hanya saja, terasa masih berat untuk membuka mulutnya saat itu.
"Baiklah, ibu tidak akan ke mana-mana." Ujar Ibu Diana mengalah.
Ibunya terdiam, menunggu apa yang hendak akan dikatakan oleh Diana. "Apa Polin menungguku?" Tanya Diana. Ia ingin memastikan bahwa Polin masih menghiraukan keberadaannya.
"Dia selalu menunggumu untuk bangun." Kata sang Ibu dengan senyuman.
"Ma..."
"Iya, sayang?"
"Aku ingin mengakhiri hubungan pertunanganku dengan Polin. Dan kalau bisa, aku ingin kembali ke Indonesia. Aku ingin di rawat di sana saja." Lanjut Diana berbicara dengan sendu.
Melihat sang anak yang dulunya sangat mencintai Polin dengan begitu ambisius, kini melepaskan Polin dengan pasrah membuat ibunya diam-diam menangis di dalam hati. Ia lalu membelas rambut gadis itu dan memeluknya.
"Iya sayang, mama akan mengurus agar kau bisa di rawat di Indonesia."
"Terimakasih ma. Tolong jangan bilang apa-apa sama Polin ya, ma." Ujar Diana. Ia meneteskan air matanya, sebab kini ia tahu sudah saatnya ia merelakan Polin untuk pergi. Karena ia harus mengakhiri cinta yang bertepuk sebelah tangan selama 10 tahun itu.
'Ya... Ini adalah satu-satunya cara agar kami menemukan kebahagiaan kami. Ia akan bahagia karena sekarang ia sudah bertemu kembali dengan Shela.' Pikir Diana di dalam hati terdalamnya.
"Diana, apa kau baik-baik saja?" Polin datang dan memecahkan keheningan yang mengharukan di antara anak dan ibu yang sedang berbicara dari hati ke hati.
Ibu Diana lalu mengangkat tubuhnya, ia membereskan air mata yang berlinang dari wajahnya. Begitu pula dengan Diana.
"Polin, Diana sudah sadar. Ibu akan meninggalkan kalian berdua."
"Iya tante." Jawab Polin dengan enggan.
Polin mendekati Diana dengan sedikit ragu. Gadis itu pun mengangkat tangannya, agar Polin segera menggapai tangan itu. Saat tangan Diana dapat menjangkau tangan Polin, ia pun berkata: "Bisakah kau duduk di ranjangku? Aku ingin melihatmu lebih dekat."
Polin kemudian duduk sesuai dengan permintaan Diana. Gadis itu lalu meraih rambut hitam Polin. Ia memandang Polin dengan tatapan yang dalam. Setelah besok Diana tidak akan bisa bersama dengan Polin lagi. Tidak akan bertengkar karena masalah sepele dan Diana tidak akan mengkritik Polin dengan segala tingkah lakunya lagi. Mereka tidak akan bisa menghabiskan waktu bersama seperti dulu.
"Polin..."
Pria itu lalu meraih tangan Diana, menimpa tangan Diana yang sekarang berada di pipi Polin.
Polin jelas tidak ingin keadaan terus seperti itu, namun jauh di lubuk hati Polin, dia tidak ingin menyakiti Diana dengan menolaknya lagi kali ini.
"Katakanlah," Ujar Polin.
'Aku mencintaimu.' Kata Diana dalam hati, sendu.
Ahli-ahli mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya, Diana menarik tangannya dari antara pipi dan tangan pria itu. Ia berpaling dan melihat ke langit-langit ruangan rumah sakit. Mengatur nafasnya agar kembali teratur.
"Ada apa? Apa ada yang salah? Kamu kesakitan?" Tanya Polin dengan berbagai pertanyaan.
Melihat ekspresi pria yang sedang memperhatikannya dengan tulus, gadis itu tersenyum. Polin pun menjadi bingung dengan arti dari senyuman Diana.
"Terimakasih,"
"Ya?" Polin semakin tidak mengerti.
"Bukan apa-apa. Besok kalau kau sibuk, kau tidak perlu datang." Kata Diana dengan suara pelan masih tak begitu bertenaga.
"Aku akan datang lagi besok." Lanjut Polin menimpa pembicaraan.
"Aku lelah, ingin istirahat. Kau kembalilah dulu." Ujar Diana, lalu membawa tubuhnya berpaling ke arah Jendela, membelakangi Polin.
"Baiklah. Aku akan datang lagi."
Polin tidak berharap banyak. Ia tahu Diana butuh waktu untuk kembali pulih. Apalagi Diana kecelakaan setelah kembali dari apartemennya. Pria itu sedikit merasa bersalah.
Akhirnya keadaan menjadi sunyi senyap setelah Polin keluar dari ruangan tersebut. Diana mendekap mulutnya agar tangisannya tidak keluar, saat Polin hendak meninggalkan ruangan gadis itu.
Diana merasa tidak ada lagi yang perlu ia pertahankan, hal itu termasuk Polin. Sebenarnya Diana telah mengetahui kondisinya dengan pasti. Sebab sebelumnya ia sempat siuman dan memberitahukan dokter agar mereka tidak boleh membuka mulut atas apa yang menimpanya.
Ia akan memberitahukan sendiri mengenai kondisinya saat itu kepada kedua orang tua dan orang terdekatnya. Gadis itu tidak ingin dokter mendahului dia untuk mengatakan mengenai kondisinya saat itu.
Kecelakaan itu telah merenggut fungsi kakinya. Ia menjadi lumpuh dalam sekejap dan dengan berbesar hati menerima keadaan yang menimpanya. Ia bersedih sendiri dan berniat meninggalkan Polin tanpa ia tahu kebenaran yang sebenarnya.
***
Polin kembali ke apartemennya, ia duduk di kursi sofa yang ada di dekat pintu masuk setelah sampai.
Ia duduk dengan membentangkan tangannya di atas jidatnya, berpikir. Entah kenapa hatinya menjadi sangat terganggu dengan sikap Diana. Biasanya Diana tidak akan membiarkan Polin jauh dari sisinya. Namun kali ini gadis itu terlihat berbeda.
Pria itu menghela nafas. Nafas yang terasa berat!
"Bagaimana keadaan Diana, kak?" Shela yang mengetahui kepulangan Polin diam-diam mempersiapkan salad buah dan membawanya ke hadapan Polin yang saat itu terlihat lelah.
"Dia sudah siuman." Ujar Polin masih dengan posisi yang sama.
"Lalu mengapa kakak terlihat frustasi?" Tanya Shela
Polin hanya terdiam, ia menurunkan tangannya dari atas kepalanya, lalu duduk dengan posisi yang benar. "Aku juga tidak tahu kenapa."
"Baiklah. Nikmati waktu kakak. Kalo ada apa-apa, kakak bisa memanggilku."
Shela tahu apa yang lebih Polin butuhkan saat itu. Jadi Shela membiarkan Polin untuk duduk sendirian daripada menemaninya yang sedang terlihat tidak baik-baik saja dan banyak pikiran.
Dalam hati Shela mengetahui walaupun hanya melihat sebentar. Cinta Diana tidak bertepuk sebelah tangan. Polin hanya terus menyangkal hatinya untuk Diana. Padahal jelas sekali bahwa ia sangat mengkhawatirkan Diana, saat ia tahu Diana sedang berada di rumah sakit.
Kebanyakan orang tidak mengetahui apa yang diinginkan oleh hati mereka sampai mereka kehilangan orang yang mereka cintai. Lalu yang lainnya tahu dengan apa yang mereka inginkan, namun dengan sengaja menyia-nyiakannya.
Siklus manusia memang tidak ada yang tahu, namun Shela berharap Polin akan segera menyadari keistimewaan Diana yang tulus mencintainya suatu saat nanti.
~To be continued