Pramu telah pergi meninggalkan mereka. Darlie segera menoleh dan menarik tangan Shela dengan kasar.
"Kenapa kau tidak mengangkat teleponku? Gara-gara kamu, hampir saja kita ketahuan." Darlie mengeluarkan amarahnya segera setelah kakeknya menghilang dari pandangan mata mereka.
Mata Darlie melotot sampai terlihat seperti ingin keluar. Dahinya mengernyit dan raut wajahnya menunjukkan kekesalan.
"Masih untung aku datang tepat waktu!" Gumam Shela.
"Kau bilang apa? Hei, asal kau tahu saja. Jika aku tidak menyewa gadis pelayan tadi, dan kalau saja dia tidak beracting dengan baik, kau akan tamat di tanganku jika kakekku tahu bagaimana hubungan kita yang sebenarnya." Jelas Darlie.
"Sudah bicaranya?" Kata Shela santai. Ia menarik tangannya dari genggaman tangan Darlie, lalu memangku kedua tangannya sejajar dada.
"Apa?" Darlie sungguh tak percaya bahwa Shela meremehkannya.
"Aku tanya, sudah bicaranya?" Jelas Shela, santai.
Tak tahu harus menjawab apa, Darlie sungguh kesal dengan tanggapan yang Shela keluarkan. Belum pernah ada wanita yang bersikap sangat sombong kepadanya. Shela mungkin satu-satunya wanita yang ia temukan seperti itu.
"Kalau kau sudah selesai bicara. Aku pergi dulu." Lanjut Shela. Dia tidak punya waktu untuk meladeni Darlie, sebab ia harus kembali ke kediaman Polin.
"Aku belum selesai bicara. Kau mau ke mana sih, buru-buru amat!" Darlie mulai menurunkan suaranya. Ia merasa bodoh karena marah-marah sendiri dan tidak ada tanggapan yang menyenangkan dari Shela.
Padahal, biasanya Shela akan membela diri dan pembicaraan mereka akan semakin memanas. Tapi kali ini, ia tidak mau melanjutkan pembicaraan karena tampaknya Shela tidak berniat untuk melanjutkan pembicaraan.
Wajah Shela tampak lelah. Darlie pun sedikit merasa canggung dan bersalah.
"Apa kau sakit?" Tanya Darlie.
"Apa pedulimu?" Shela menjawab pertanyaan Darlie dengan pertanyaan.
"Ngak, bukan apa-apa. Jangan kege'eran. Aku sama sekali tidak peduli padamu. Hanya saja, kalau kakek tahu kamu sakit dan aku tidak merawatmu, dia bisa marah berhari-hari." Jelas Darlie tidak ingin disalahpahami.
"Ya sudah kalau begitu." Ujar Shela dengan wajah datar. Ia tidak menunjukkan ekspresi apapun. Shela segera pergi meninggalkan Darlie begitu saja.
"Cih, dia kenapa sih..." Darlie meniki pinggangnya seakan tak percaya ia diabaikan.
Shela kembali ke apartemen milik Polin. Ia mendapatkan Polin sudah tertidur di atas kursi sofa, mungkin karena ia terus terjaga sepanjang malam untuk Diana. Paling tidak ia memakan masakkan yang dibuat oleh Shela, sebelum ia buru-buru ke hotel tidak jauh dari apartemen.
Shela duduk jongkok di samping sofa. Ia melihat Polin yang saat itu tertidur. Wajahnya begitu tulus, kulit Polin juga putih cerah seperti salju. Tanpa Shela sadari, ia mengelus rambut hitam polin dan tertuju pada alis cantik miliknya.
"Andai saja itu kamu, aku mungkin akan bahagia." Gumam Shela dengan nada suara sumbang.
Tiba-tiba Shela menggelengkan kepalanya. Ia memukul ringan mulutnya, karena hal itu tidak seharusnya keluar dari bibirnya.
Sekarang ia menongkah dagunya menggunakan kedua tangannya sambil melihat Polin, katanya: "Diana sungguh beruntung!" Ujarnya kecil.
Setelah berkata begitu, Shela berdiri dan mempersiapkan barang-barangnya, karena ia harus kembali lusa. Setidaknya semua hal harus dipersiapkan kembali. Walaupun ia tidak memiliki banyak barang, dia berinisiatif untuk membersihkan seluruh apartemen Polin, sebelum ia meninggalkan tempat itu.
Mulai dari membersihkan kamar mandi, mengepel lantai dan membuat jendela Polin menjadi mengkilat. Polin pun terbangun ditengah-tengah kesibukan Shela yang sedang berada di atas anak tangga untuk membersihkan jendela yang agak tinggi darinya.
Ia memperhatikan bahwa tubuhnya sudah diselimuti oleh blanket halus yang seharusnya selimut itu berada di dalam kamarnya. Ia duduk dan mengamati Shela yang sekarang sedang disinari matahari sore.
Jika bisa, Polin sungguh ingin Shela akan terus bersamanya. Ia menepikan selimut itu dan berjalan pelan ke tempat Shela. Ia terkejut karena tiba-tiba Shela sepertinya akan tergelincir jatuh karena angin sore bertiup masuk begitu kencang dari luar jendela yang terbuka.
Segera Polin menangkap Shela. Shela yang terkejut berpikir bahwa mungkin ia akan cedera parah.
Shela pun membuka matanya perlahan. Rupanya ia sedang berada di dalam genggaman Polin. Wajah mereka begitu dekat, sampai-sampai Shela tidak bisa menutupi wajahnya yang mulai memerah. Dan entah kenapa, jantungnya berdetak kencang saat ia berada di dekat pria itu.
'Tidak, ini tidak benar.' Batin Shela. Ia menyadari bahwa respons yang keluar dari tubuhnya itu terlalu berlebihan ketika dia sudah memiliki tunangan.
"Shela kau baik-baik saja?" Tanya Polin yang kebingungan dengan reaksi Shela yang terus ternganga melihat ke arahnya. "Nanti lalat bisa masuk loh ke dalam mulutmu!" Canda Polin kepada Shela untuk mencairkan situasi.
Polin sendiri tahu bahwa jika posisi mereka tetap seperti itu dalam waktu yang lama, mungkin dia akan segera menggila dan memangsa bibir Shela yang tampak seperti buah apel yang menggoda hawa.
Shela menjadi malu. Cepat-cepat ia mengatupkan mulutnya dan turun dari rangkulan tangan Polin. "Hmm itu. Maaf ya kak." Ujar Shela tak tahu harus berkata apa. Ia seperti salah tingkah di hadapan pria yang baru saja dikenalinya itu.
'Shela dia adalah sepupu Darlie dan dia memiliki Diana. Ingat itu!' Batin Shela mencoba menguatkan hatinya untuk tidak memiliki perasaan terhadap Polin.
"Kamu kenapa melakukan pekerjaan seperti ini sih? Aku punya orang yang akan datang untuk membersihkan apartemenku kok. Jangan lakukan hal berbahaya lagi."
"Iya kak." Jawab Shela singkat.
"Udaranya sangat dingin di luar. Sebaiknya kau menghangatkan tubuhmu." Ujar Polin sambil menutup jendela apartemennya.
Saat Shela hendak akan membereskan tangga yang ia pakai, Polin segera mengambil tangga itu dan tidak membiarkan Shela untuk mengangkutnya. "Duduk saja sana. Nanti aku yang bereskan semuanya." Kata Polin hangat.
Shela pun pergi ke dapur untuk membuatkan teh hangat. Ia juga akan berpamitan kepada Polin untuk segera pindah ke hotel yang dipesankan untuknya.
"Bagaimana keadaan Diana?" Shela membuka pembicaraan saat Polin datang menghampirinya untuk menyeduh segelas teh hangat yang dibuatkan Shela yang ada di dalam teko.
"Dia baik-baik saja. Aku akan pergi menjenguknya setelah ini. Kamu tidak apa-apa kan aku tinggal sendirian?" Tanya Polin dengan ekspresi serius.
Shela tersenyum. Ia mengangguk. Tentu saja ia akan baik-baik saja, toh ia sudah terbiasa mengatur semuanya sendiri.
"Kak, aku akan pindah malam ini. Darlie memesankan hotel di dekat sini." Ujar Shela.
Seketika suasana menjadi hening. Tercium aroma teh chamomile yang samar-samar. Shela menggenggam gelas teh hangat yang ada di hadapannya sedikit lebih erat. Ia menunggu jawaban apa yang hendak akan Polin katakan. Hatinya sangat deg-degan.
~To be continued