Entah apa yang Shela harapkan. Hati kecilnya seperti menginginkan hal lain. Se-cerca harapan yang sama sekali tidak boleh ia harapkan.
"Baiklah." Singkat Polin.
Mendengar jawaban Polin, rasanya Shela kecewa. Ia juga tidak mengerti kenapa dia bisa merasa sekecewa itu.
"Apa kakak tidak penasaran kenapa Darlie memesankan saya kamar hotel?" Tanya Shela lagi menyelidiki.
Polin diam. Ia mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan. Ia lalu melihat jam tangannya dan berkata: "Maaf Shela, sepertinya saya harus segera pergi ke rumah sakit. Kau bisa berada di sini sampai jam berapa pun kau mau."
Polin lalu segera berdiri dari kursinya dan beranjak pergi begitu saja.
"Baik." Ujar Shela memelan. Ia tampak sedih, namun tak mengerti arti dari kesedihannya.
Tidak butuh waktu lama bagi Shela untuk menaruh hatinya pada Polin. Padahal selama ini dia berpikir bahwa dia tidak akan mungkin pernah bertemu dengan orang yang bisa membuat ia jatuh cinta. Tapi, sepertinya ia sudah termakan kata-katanya sendiri.
Bagaimana bisa ia menaruh hati pada tunangan orang lain dan bahkan adalah sepupu dari tunangannya sendiri?
Shela memukul-mukul dadanya. Polin adalah satu-satunya pria yang mampu membuat Shela nyaman dalam waktu singkat dengan kehangatannya. Ia bahkan tidak pernah merasakan kehangatan seperti itu dari keluarganya. Mungkin semuanya berawal saat mereka melihat salju pertama yang turun di kota London.
"Apa aku semurahan ini?" Gumam Shela. Ia lalu berdiri dan segera mengambil barang-barangnya di kamar tamu, lalu pergi tidak lama setelah Polin beranjak keluar dari apartemen tersebut.
***
Tidak lama kemudian Polin sampai ke rumah sakit tempat Diana dirawat. Sayangnya, ia menemukan bahwa kamar tersebut sudah menjadi milik orang lain.
"Permisi sus, pasien yang sebelumnya berada di sini dipindahkan ke mana ya, sus?" Tanya Polin menggunakan bahasa setempat.
"Ah, maaf tuan saya kurang tahu pasti." Jawab perawat tersebut.
"Baik Sus, terimakasih." Singkat Polin.
"Sama-sama." Kata perawat tersebut, lalu melanjutkan tugasnya.
Polin segera mengambil handphone yang ada di dalam sakunya. Ia menelepon Diana dan tidak kunjung diangkat. Teleponnya berada di luar jangkauan. Tentu saja ia merasa ada kejanggalan dari semua itu. Tidak pernah sekali pun Diana tidak memberikan kabar mengenai kondisinya.
"Permisi, tuan Polin?" Salah seorang petugas rumah sakit menghampiri Polin yang saat itu masih berdiri di depan ruangan tempat Diana pernah di rawat.
"Iya, ada apa ya?"
"Tuan Fenilan menitipkan ini untuk anda." Petugas tersebut mengeluarkan selembar surat dari sakunya dan menyerahkan amplop putih itu kepada Polin. Setelah Polin mengambilnya, ia segera pergi.
Polin melihat isi amplop tersebut. Ia membaca kata demi kata yang terukir di atas kertas putih tersebut. Diana ingin mengakhiri hubungan mereka. Polin seharusnya senang, sebab itu adalah hal yang ia tunggu-tunggu selama ini. Tapi entah kenapa, hatinya sedikit merasa kosong setelah membaca surat tersebut.
Ia kemudian melipat surat tersebut dan menyimpannya dengan baik kembali ke dalam amplop. Lalu menyisipkan amplop tersebut masuk ke dalam saku celananya.
Polin membawa mobilnya menyusuri kota London sendirian. Entah apa yang sedang ia cari. Ia hanya berkendara tanpa adanya tujuan yang pasti. Pikirannya kosong dan ia tidak sedang ingin melakukan sesuatu yang berarti.
Disisi lain Shela dan Darlie sedang mempersiapkan keberangkatan mereka menuju Indo. Mereka ingin membuat kesepakatan di antara mereka berdua sebelum akhirnya menemui keluarga besar mereka.
"Di hadapan kakek kita berdua harus terlihat harmonis dan saling menyayangi. Dan kau tidak boleh membongkar apa pun yang pernah kau lihat di tempat ini." Darlie mulai berceloteh hendak membuat peraturan yang akan mereka sepakati bersama.
"Baik. Tapi ingat, kau tidak boleh melarangku untuk melakukan apa pun yang aku mau di masa depan." Lanjut Shela.
"Kita akan menikah di atas kertas dan aku tidak mau jika nanti kita harus tidur seranjang." Kata Darlie.
Shela mencibir. "Seharusnya aku yang berkata begitu."
"Oh, kau juga sama sekali tidak diijinkan untuk menyentuh barang-barangku yang berharga. Kau tidak boleh melarangku untuk membawa gadis-gadis manisku jika aku mengajak mereka ke rumah."
"Iya. Sudah? Hanya itu yang kau mau?" Tanya Shela.
"Kurasa dari saya sudah cukup. Kau ingin aku bagaimana?"
"Syaratku hanya satu. Jangan pernah ada kata jatuh cinta di antara kita berdua." Ujar Shela dengan pandangan mata yang serius.
Darlie terbahak. Ia tidak menyangka bahwa Shela akan mengajukan syarat yang seperti itu. Padahal kan sudah pasti, mana mungkin Darlie akan jatuh hati pada anak kecil yang bahkan tidak tahu cara memuaskan dirinya yang liar di atas kasur.
"Apanya yang lucu?" Tanya Shela. Ia sedikit tersinggung.
"Ngak ada. Aku ngak pernah tahu kalau kau sangat percaya diri seperti itu! Lihat dirimu, mana mungkin aku jatuh hati padamu yang seperti itu." Tunjuk Darlie dari atas sampai ujung kaki Shela.
Shela menyeringai. "Baguslah kalau kau sangat percaya diri dengan hal itu. Aku hanya tidak mau jadi repot jika kau jatuh cinta padaku nantinya." Lugas Shela.
"Tenang saja, aku jamin itu tidak akan terjadi." Darlie berbicara dengan penuh keyakinan. "Sekarang kita tinggal menandatangani kontraknya." Lanjut Darlie.
"Tunggu!" Seru Shela.
"Apa lagi sih?"
"Kita bakalan pura-pura sampai kapan? Seharusnya ada waktu yang pasti untuk kita mengakhiri hubungan kerja sama kita." Jelas Shela.
"Kamu benar. Jika kau menikahi ku, maka hutang keluargamu akan dianggap lunas. Akan tetapi belum tentu aku akan langsung mendapatkan warisan kakek. Berikan aku waktu 2 tahun untuk membangun kepercayaan kakek. Jika ia sudah menjadikan aku sebagai ahli waris, kurasa kita bisa berpisah setelah 2 tahun. Bagaimana?"
"Oke, aku setuju." Ujar Shela mengakhiri pembicaraan mereka.
Mereka pun saling bertukar kertas untuk menandatangani kontrak yang mereka buat di atas materai. Kini hubungan mereka jelas hanya sebagai partner bisnis saja. Shela dan Darlie memastikan bahwa tidak akan ada orang ketiga yang akan mengetahui rencana mereka tersebut.
Shela memang cerdik, ia telah memiliki rencananya sendiri. Ia juga tidak menyangka bahwa Darlie akan mau membuat kontrak pernikahan dengannya. Dengan ini mereka berdua sama-sama diuntungkan.
Shela tak habis pikir, bagaimana jika ia harus tinggal dengan pria yang sering bergonta-ganti pasangan seumur hidupnya. Mungkin hidupnya akan dihabiskan dengan penderitaan saja, tanpa kebebasan. Jadi, dengan inisiatif yang ia lakukan, suatu saat ia akan terlepas dari jeratan pernikahan dan hutang.
Hanya 2 tahun dan ia akan terbebas lagi. Shela hanya perlu bersabar sampai waktu itu tiba. Ia juga akan mendapatkan bonus kasih sayang kedua orang tuannya. Kasih sayang yang selama ini ia idam-idamkan untuk ia dapatkan.
~To be continued