Diana tahu bahwa kali ini dia tidak mungkin akan bisa lagi menghubungi Polin. Ia tidak ingin terlihat egois dan menjadi wanita yang plin plan.
Walaupun hatinya terasa sesak dan ingin mendengarkan suara Polin, ia menahan diri dengan sekuat tenaganya yang masih tersisa. Baginya, mencintai Polin adalah dengan membiarkannya untuk pergi.
Lain hal Diana, Polin berbeda. Setelah Diana pergi, Polin pun merasa ada yang hilang. Namun ia sedikit gembira. Sebenarnya ia sendiri tidak tahu bagaimana mau mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya setelah membaca surat yang diberikan untuknya tersebut.
Sudah beberapa tahun terakhir ia memang ingin menyuruh Diana melepaskannya. Meskipun begitu, entah kapan ia sudah menjadi terbiasa dengan adanya Diana yang terus saja mengganggunya.
Diana yang terus menerus mengomel akan hal-hal kecil. Diana yang terus menempel seperti sebuah perangko. Diana yang memprioritaskan dia dari pada pekerjaan yang dipercayakan ayahnya untuk ia kerjakan.
Polin terus berkendara dan akhirnya tiba di depan restoran Leftbank. Ia juga tidak tahu mengapa ia berhenti di depan restoran tersebut. Polin menyukai daging dan Diana vegetarian.
Ia teringat. Tidak pernah sekali pun dia mengalah untuk Diana. Selama ini mereka selalu makan di tempat yang menyajikan steak dan segala macam olahan daging. Diana tetap mau menemaninya. Padahal Polin tidak pernah sekali pun mengalah untuk mencoba apa yang Diana sukai.
Satu-satunya hari dimana Polin membawa ia ke restoran yang menyajikan sajian vegetarian, hanya saat ketika ia sangat penasaran akan keberadaan Shela. Sehingga mereka sampai di Leftbank.
Polin tersadar bahwa tidak pernah sekali pun ia berusaha untuk menyenangkan Diana pada saat mereka masih dalam status bertunangan.
Polin pun keluar dari mobilnya. Ia menatap papan nama restoran tersebut, lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam restoran. Karena restoran itu menyajikan makanan secara prasmanan, Polin langsung menuju ke tempat di mana piring dan alat makan lainnya disediakan.
Ia kemudian menuju ke tempat sajian vegetarian dan mengambil semua menu vegetarian yang ada. Pada dasarnya Polin tidak terlalu suka dengan sayur-sayuran yang diolah dengan kadar garam yang rendah, dimana rasa sayur-sayuran terasa begitu menyengat.
Ketika ia hendak akan memakan sayuran sebagai hidangan utamanya, ia selalu akan merasa seperti seekor sapi yang sedang menikmati rumput hijau. Meskipun demikian, tidak ada angin atau pun hujan, ia mencoba menikmati segala yang ia benci tersebut.
Seorang wanita blasteran kemudian tersenyum saat melihat wajah Polin yang terlihat sedang memaksakan dirinya, untuk menikmati sesuatu yang tidak disukainya.
Wajah Polin mengerucut sambil mengunyah makanan yang ada di depan matanya secara perlahan.
Wanita itu terus memperhatikan Polin saat pertama kali Polin terlihat mengambil segala macam hidangan vegetarian dan menumpuk makanan itu di atas meja makannya. Ia merasa telah mendapatkan tontonan yang menarik dari ekspresi wajah Polin yang selalu berubah-ubah.
Ia terlihat tegas, ada perasaan sedih yang tampak dari matanya. Namun ketidak-sukaannya dengan hidangan yang ia ambil tampak begitu jelas.
Wanita blasteran itu pun menghampiri Polin. Ia berbicara dengan menggunakan bahasa inggris. "Boleh saya duduk di meja anda?" Tanya wanita itu dengan sopan.
Polin diam saja. Ia melirik wanita tersebut, lalu fokus kembali dengan makanannya. Wanita itu semakin tertantang. Tanpa persetujuan Polin, ia pun duduk di hadapan pria yang tidak dikenalnya tersebut.
"Aku tahu kamu akan mengijinkan ku duduk." Ujar wanita itu dengan penuh percaya diri.
Lagi-lagi Polin diam saja, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Kenyataannya ia tidak begitu peduli dengan keberadaan wanita tersebut. Entah ia akan duduk atau tidak, Polin sama sekali tidak masalah.
Ia sedang ingin sendirian, akan tetapi ia tidak bisa berkata bahwa ia butuh waktu sendiri dan tidak ingin berbicara dengan siapa pun saat itu. Pada dasarnya Polin adalah orang yang ramah. Namun ia memang sulit dimengerti.
"Ngomong-ngomong namaku Ema. Kamu orang Indonesia ya?" Wanita itu muncul dengan banyak pertanyaan sambil terus menatap Polin yang enggan untuk berbicara.
Polin melirik, kemudian menunduk lagi. Polin sama sekali tidak mengerti dengan tingkah lakunya sendiri. Yang ada di pikirannya saat itu, 'Apakah selama ini aku mencintai Diana?'
"Hmm, pasti tebakanku benar kan?" Katanya wanita itu lagi. Kemudian wanita itu mulai bercerita banyak hal tanpa ada balasan apa pun dari Polin.
"Mamaku orang Indonesia. Tapi aku tidak terlalu mengetahui bahasa Indo karena dari kecil aku tinggal di sini. Kadang kami akan liburan ke kampung halaman mama, hmm... cuma beberapa hari juga sih. Kalau kau gimana?"
"Maaf, aku sedang tidak tertarik untuk membahas apa pun denganmu, nona Ema." Akhirnya Polin mengeluarkan sepatah kata. Akan tetapi, kata-katanya terdengar sedikit menyakitkan bagi seseorang yang telah berusaha untuk mendekati dirinya.
"Wow, perkataanmu pedas seperti ibuku yah!" Lanjut Ema.
"Well, ngak apa-apa. Aku bisa mengerti. Kalau orang lagi putus cinta memang kata-katanya radar-radar nyakitin." Canda Ema tepat sasaran.
Polin menatap Ema seperti mau menerkamnya. Ema sadar bahwa yang ia katakan benar adanya. "Jadi tebakanku benar ya." Ujar Ema sedikit puas. Ia sungguh menguji kesabaran Polin saat itu.
Polin tidak ingin berdebat lagi. Ia mengambil hidangan makanannya, hendak berdiri dari tempatnya. Ema pun segera menahan tangan Polin yang memegang piring yang berisi segala jenis makanan vegetarian.
"Aku wanita yang pernah tidur dengan Darlie." Tegas Ema.
Polin sedikit terkejut, ia duduk kembali di kursinya. "Apa maumu?" Polin to the point.
"Mau ku ajarkan bagaimana cara menikmati makanan yang ada di hadapanmu itu?" Kata Ema dengan tersenyum mengalihkan topik pembicaraan.
"Apa kau mengikutiku dari tadi?" Polin melepaskan sendok dan garpu yang ada di tangannya. Ia meniki kedua tangannya sejajar dada hendak menginterogasi Ema.
"Ngak. Kamu jangan kege'eran. Aku hanya tidak sengaja melihatmu di restoran ini."
"Terus? Aku sudah banyak mengurusi wanita yang pernah tidur dengan Darlie. Sebaiknya kau berbicara langsung saja. Kau ingin berapa?" Ujar Polin.
Polin tidak menyangka bahwa ia masih harus mengurusi para wanita yang telah Darlie kencani. Namun sudah menjadi kebiasaan, bahwa dialah yang akan dicari para wanita tersebut, jika Darlie menghilang.
Ema tersenyum sinis. Ia tidak menyangka bahwa Polin sungguh kasar. "Pantasan aja kamu ditinggalkan ya!"
Sedikit geram. Polin menghela nafas. Ia tidak bisa melimpahkan kekesalannya pada wanita itu. Dia harus ingat bahwa dia adalah pria yang dewasa.
"Kenapa diam? Oh, aku rasa apa yang aku katakan memang benar. Aku ngak bakalan minta duit kok. Lagi pula aku memiliki banyak. Tapi, bagaimana jika tunangan dari Darlie tahu bahwa orang yang akan dia nikahi ternyata adalah playboy?"
Mendengar perkataan Ema, retina mata Polin melebar.
~To be continued