Chereads / Love Is Meaningless / Chapter 27 - Ema

Chapter 27 - Ema

Mendengar Ema menyinggung soal Shela, Polin tampak naik pitam. Ia menatap mata Ema dengan amarah yang tidak bisa ia sembunyikan.

Melihat hal itu, Ema meniup ujung jarinya. Ia merasa bahwa dia berhasil untuk membuat seorang yang kaku, meliriknya dengan benar.

"Siapa ya namanya. Shela, bukan? Gadis itu akan berekspresi seperti apa ya, kalau tahu pria yang akan ia nikahi tidur dengan wanita lain!"

Polin geram, ia menunjuk Ema dengan jari telunjuknya, memperingatkan. "Jangan mencoba untuk membawa-bawa nama tunangan Darlie Wijaya, apalagi sampai menyebutkan namanya!" Hardik Polin.

Ema terkujut. Ia tak menyangka Polin akan sangat marah hanya karena ia membahas soal Shela. Namun hal itu tidak membuat Ema gentar. Ia lalu menggaruk telinganya, kemudian berkata: "Well, karena kau terlihat mengkhawatirkan gadis itu, aku tidak akan menyentuhnya. Maaf sudah mengganggu waktu anda, tuan Polin."

Setelah ia selesai berbicara, Ema beranjak dari hadapan Polin dengan santai. Polin menghela nafas. Ia mengikuti jejak langkah wanita itu dengan kedua bola matanya.

Merasa sedikit aneh, karena baru kali ini ia harus menangani wanita yang pernah Darlie tiduri dengan amarah. Biasanya semua akan selesai dengan uang, karena mereka memang mengincar uang Darlie. Namun tampaknya wanita yang baru saja membuat Polin naik pitam, sama sekali tidak menginginkan uang.

Lalu, apa tujuan sebenarnya dari wanita itu?

Mood Polin menjadi sedikit buruk. Ia memutuskan meninggalkan makanannya dan pulang ke apartemennya.

Saat ia mencoba untuk rebahan, ponselnya bergetar. Itu si biang kerok, Darlie Wijaya. "Ada apa?" Polin to the point dengan sepupunya tersebut.

"Kau lagi galau ya." Ujar Darlie.

"Aku lagi ngak mood main-main sama kamu. Jadi apa urusanmu meneleponku?"

"Kakek tadi datang berkunjung. Dia titip salam untukmu. By the way aku juga mau bilang besok aku dan Shela kembali ke Indo."

"Ok." Jawab Polin singkat.

"Kamu tidak seperti biasanya. Apa karena Diana, pacarmu itu?" Tanya Darlie sok tahu.

Polin tipe pria yang sangat tertutup soal urusan asmaranya dan segala kegiatan yang ia lakukan. Pertunangannya pun ia sembunyikan dari Darlie dan Pramu.

"Kakek pasti akan sangat marah karena kau tidak pernah memberitahukan kami, soal kau sudah punya pacar."

"Kalau tidak ada lagi yang mau kau bicarakan, aku tutup teleponnya." Tegas Polin.

"Sadis amat sih. Kamu kalau marah, jadi seperti wanita tau ngak?" Ejek Darlie, sedikit ingin mempermainkan Polin.

"Bicara soal wanita, aku harap dengan sangat kau jangan pernah lagi berikan nomorku kepada mereka. Aku bukan asisten pribadi yang akan mengurusi semua kebutuhanmu."

Mendengar nada bicara Polin, Darlie sedikit terkejut. Biasanya Polin tidak pernah menunjukkan emosinya sama sekali. Ia pria yang paling kaku, dan Darlie selalu berlaku seenaknya di hadapan Polin.

Selama ini pun, Polin tidak pernah keberatan untuk menjadi tameng bagi Darlie dalam keadaan apapun. Ia tak pernah mengeluh atau terlihat marah saat Darlie memberikannya begitu banyak tugas yang membebani. Begitu pun dengan tugas untuk membuat para wanita satu malam Darlie diam dan tutup mulut.

"Hei, apa aku membuatmu kesal?"

"Jadilah sedikit lebih dewasa, karena kau akan segera menikah. Tadi wanita yang tidur denganmu menghampiriku. Namanya Ema. Dia ngak minta apa-apa, tapi tampaknya dia mengenal aku dan tunanganmu." Ujar Polin menjelaskan apa yang baru saja terjadi saat ia makan di restourant.

"Ema? Aku belum pernah tidur dengan wanita yang bernama Ema."

"Terserahlah. Kamu juga kan selalu lupa dengan wajah wanita yang pernah tidur denganmu. Wajah mereka saja kau lupakan, aku yakin kau pasti tidak tahu nama wanita yang sudah kau tiduri."

"Ya, aku berkata jujur." Darlie berdalih.

Polin menutup telepon dari Darlie. Ia malas mendengarkan semua cerita karangan Darlie lebih lanjut.

Di sisi lain, Darlie merasa kebingungan. Tentu saja ia mungkin melupakan wajah wanita yang pernah ia tiduri, karena ia memang memiliki kecenderungan susah menghafal wajah orang-orang yang hanya ditemuinya beberapa jam saja. Namun ia berani bertarung bahwa ia mengingat semua nama wanita yang pernah menghabiskan malam bersamanya.

'Ema?' Gumam Darlie sambil memiringkan sedikit kepalanya ke kiri, berpikir.

***

Keesokan harinya, tiba saatnya Darlie dan Shela untuk berangkat kembali ke Indo. Sebelumnya Shela berharap untuk bertemu dengan Polin, seraya untuk mengatakan bahwa ia sangat bersyukur atas segala bantuan Polin selama di berada di London.

Namun, sampai jam keberangkatan Polin tidak kunjung datang. Shela menyimpan perkara itu di dalam hatinya. Perjalanan mereka cukup memakan waktu yang panjang.

Setibanya di bandara Surabaya, mereka di jemput oleh pegawai dari Pramu Wijaya. Shela sendiri dengan cepat menyesuaikan diri dengan perlakuan khusus yang diberikan padanya sebagai calon menantu keluarga Wijaya.

Shela tidak menyangka bahwa ia akan mendapatkan sambutan yang meriah di rumah kediaman Wijaya. Kedua orang tuanya ada di sana, akan tetapi Dara tidak kelihatan sama sekali.

Pramu mengadakan acara penyambutan cucu dan calon menantunya tersebut dengan megah. Sehingga orang-orang akan tahu bahwa cucu satu-satunya dari keluarga Wijaya akan segera melangsungkan pernikahan.

Tepuk tangan yang meriah juga menggema di ruang tamu yang berukuran tidak kecil itu. Hal yang paling mengejutkan Shela adalah ketika ibunya datang dan membelai rambutnya sambil berkata-kata dengan lembut.

"Ibu senang, kau sudah kembali. Lihat betapa kurusnya kamu jika jauh dari ibu. Ah, anak kesayangan ibu sudah kembali. Sungguh ibu sangat merindukanmu, nak!" Kata ibu Shela dengan penuh drama.

Shela sendiri juga tidak pernah menyangka akan mendapatkan pelukan yang hangat. Bahkan melihat ibunya meneteskan air mata karena merindukan Shela, tidak pernah terbayang kan olehnya.

Shela menyambut peluk kan itu dengan penuh rasa syukur. Dan entah bagaimana, hanya dengan perlakuan lembut dari ibunya, ia mendapatkan kembali kekuatan yang entah datang dari mana.

Ia sendiri tidak tahu bagaimana cara menggambarkan kebahagiaannya hari itu. Ia hanya bisa menangis terharu, karena kehangatan itu adalah hal yang selama ini paling ia rindukan.

Kehangatan yang sama dengan yang ibunya berikan untuk Dara, kakaknya.

Mardalena lalu mengarahkan pandangannya kepada Darlie yang berdiri di samping Shela. "Kamu pasti Darlie. Lihat betapa kekarnya dirimu." Puja Mardalena, ibu Shela.

Darlie tersenyum penuh makna. Ia tahu bahwa Mardalena sedang berpura-pura di hadapannya. Bagaimana tidak, ia telah melihat bentuk dari segala siasat wanita. Ia bahkan merasa kasihan pada Shela yang terlalu polos menghadapi ibunya yang kelihatan dengan jelas bahwa ia tidak tulus.

"Dan wanita cantik yang ada di hadapanku ini, pasti adalah calon mertuaku." Balas Darlie dengan lihai.

Mardalena kelihatan malu. Ia tak menyangka bahwa mulut Darlie sangat manis. Selama ini ia memang tipe wanita yang haus akan pujian. Sayangnya Raymond tidak pernah memberikan apa yang ia butuhkan.

"Kamu sangat pandai berbicara." Gumam Mardalena.

"Bagaimana jika kita membiarkan mereka beristirahat terlebih dahulu? Bukannya aku ingin menghalangi pertemuan bahagia antara anak dan orang tua, tapi tampaknya mereka cukup lelah." Kata Pramu di tengah-tengah pembicaraan Mardalena dan Darlie.

~To be continued