Darlie Wijaya pergi tanpa sepatah kata pun. Padahal jadwal penerbangan mereka malam ini untuk kembali ke Indonesia. Shela hanya menghela nafas panjang, mengingat pria yang tidak mempedulikan apakah dia ada atau tidak itu, akan menjadi suaminya di masa depan.
Waktu berlalu dan matahari pun akan segera terbenam. Pria itu tak kunjung pulang ke apartemennya! Shela tak tahan lagi, ia ingin mencari Darlie tapi ia tak tahu harus mencari kemana.
Kopernya telah siap, sekarang tinggal menuju bandara saja. Shela mondar-mandir di ruang tamu sambil menelepon Darlie yang dari tadi tidak kunjung mengangkat telepon panggilan dari Shela.
"Bukan hanya suka bermain wanita, dia bahkan tidak menepati janjinya!" Ujar Shela kesal.
Pip... pip... Bunyi seseorang membuka sandi pintu apartement membuat Shela segera menuju pintu masuk. "Kamu dari mana sa..." Pria yang ada di depan pintu bukanlah Darlie Wijaya yang sedang ia tunggu.
"Ah... maaf. Aku kira tadi Darlie." Lanjut Shela.
"Ngak apa-apa kok. Aku ke sini untuk menjemputmu." Kata Polin.
"Bagaimana dengan Darlie?"
"Aku juga ngak tau dia dimana. Cuman tadi dia menelepon untuk menjemputmu. Jadi aku langsung ke sini. Kebetulan jam keberangkatan kita kan sama." Ujar Polin sambil tersenyum.
Shela terlihat tak bisa berkata apa-apa. Darlie seenaknya saja mengalihkan tanggungjawabnya kepada sepupunya itu.
"Apa kau sudah siap?" Lanjut Polin bertanya, ketika melihat Shela yang hanya diam saja dari tadi.
"Iya, sebentar kak. Aku ambil koperku dulu." Shela lalu berbalik dan pergi mengambil kopernya. Entah kenapa perasaannya campur aduk tidak karuan. Antara sedih atau kecewa. Mungkinkah ia bisa tersenyum bahagia?
Polin membawa koper Shela dan mereka pun menuju ke bandara. Darlie Wijaya pun belum memberikan kabar sama sekali. Shela kesal karena dia berlaku seenaknya seperti itu.
Shela hanya mengamati handphone yang ada di tangannya. Dengan pemikiran-pemikiran bagaimana jika Darlie tidak ingin kembali ke Indonesia? Lalu apa yang akan terjadi padanya dan juga pada keluarganya?
Melihat bahwa Shela sedikit khawatir Polin membuka suaranya, "Darlie bukan tipe orang yang akan memberikan kabar pada siapapun, dia memang suka berlaku seenaknya. Tapi kau tidak perlu khawatir, dia akan menepati janjinya. Kau tidak perlu khawatir dia akan datang." Kata Polin menghibur Shela.
"Aku akan percaya karena kakak yang mengatakannya." Ujar Shela pasrah. Ia lalu meletakkan handphonenya ke dalam tas miliknya.
"Tapi aku tidak mengkhawatirkan orang itu sama sekali." Lanjut Shela mengklarifikasi sikapnya.
"!" Polin sedikit terkejut, tapi entah bagaimana perkataan Shela membuatnya merasa semakin nyaman.
Mereka tiba di bandara 30 menit sebelum jam keberangkatan. Namun dia... Darlie Wijaya bahkan sampai waktu untuk saatnya take off pun, tidak menunjukkan batang hidungnya sama sekali.
"Kakak katakan padaku, sebenarnya di mana anak itu berada?" Tanya Shela dengan amarah yang ditujukan untuk Darlie.
Polin sungguh bingung ingin menjawab pertanyaan Shela bagaimana. Tapi jika Darlie tidak menepati janjinya, mungkin memang benar dia sedang bersama pujaan hatinya. Dan hanya satu gadis yang bisa membuat dia menjadi anjing penurut!
"Katakan sesuatu kak." Shela mendesak.
"Baiklah, tapi aku kurang yakin. Mau aku antarkan ke sana?" Tanya Polin.
"Tentu saja. Mari kita lihat apa yang lebih penting daripada kembali ke Indonesia bersamaku." Kata Shela.
Shela tidak mau menaiki pesawat tanpa Darlie Wijaya, sehingga Polin pun tidak ikut penerbangan sesuai yang dijadwalkan juga. Karena alasan Polin kembali ke Indonesia adalah Shela.
Polin sungguh tidak berharap dugaannya benar, namun tetap saja ia membawa Shela pergi ke apartemen Megy malam itu. Polin pun menjadi sedikit lega, mendapatkan Megy tidak ada di kediamannya.
Asisten rumah tangga yang ada di apartemen Megy pun mengatakan jika majikannya belum kembali sejak ia keluar dari siang tadi.
"Apa kakak yakin Darlie akan ke tempat ini?" Tanya Shela.
"Entahlah. Aku sendiri kurang yakin. Jadi, bagaimana jika aku mengantarmu pulang saja?"
"Tidak. Aku akan menunggu di sini!" Kata Shela. "Bi, bisakah kami menunggu Megy?" Lanjut Shela bertanya kepada asisten rumah tangga Megy.
"Tapi nona, saya tidak yakin kapan nona Megy akan kembali." Jawab asisten rumah tangga itu.
"Tidak apa-apa, aku akan tetap menunggu. Dan juga anda bisa menutup pintunya, karena aku akan menunggu di loby." Ujar Shela tidak punya pilihan.
"Kalau nona bersih keras, saya akan mengabari jika nona Megy kembali."
"Terimakasih Bi." Balas Shela.
Shela lalu berjalan menuju lift, "Apa kau yakin akan menunggu di sini?" Tanya Polin mengikuti Shela dari belakang.
"Iya." Jawab Shela singkat.
"Tapi Shel, aku kan udah bilang. Aku sendiri kurang yakin jika Darlie akan ke sini." Lugas Polin.
"Lalu di mana tempat aku bisa menemukannya?" Tanya Shela lagi.
"Mungkin saja sekarang dia sudah berada di apartemennya atau di club yang biasa dia kunjungi kan." Lanjut Polin.
"Tapi tadi kan kakak sudah menghubungi bar yang sering dia kunjungi saat kita hendak ke sini. Sudahlah, kalo kakak ada urusan kakak bisa kembali duluan. Biar aku yang menunggunya di sini." Jelas Shela.
"Lalu apa kau bisa mengenali wajah Megy tanpa adanya aku di sini?" Kata Polin sambil melihat Shela dengan hangat.
"Maka jangan pergi tinggalkan aku dan mari menunggu sebentar, yah?!" Shela menunjukkan sikap manisnya dihadapan pria yang bahkan baru ia temui kemarin.
Deg! Polin tak menyangka akan melihat ekspresi wajah Shela yang semanis itu. Padahal waktu mereka bertemu di bandara Shela tampak seperti gadis yang berhati dingin.
Ada yang bilang, saat kau merasakan seperti ada angin berhembus padahal saat itu tidak ada angin yang sedang menerbangkan rambut gadis itu, kau sedang jatuh cinta. Rasanya waktu berjalan begitu lambat dan perasaan Polin mampu dibuat campur aduk hanya dengan senyuman Shela.
"Apa kakak tidak akan turun dari liftnya?" Shela bingung dengan Polin yang seakan mematung.
"Ahh... itu," Polin menjadi salah tingkah dan akhirnya keluar dari lift dengan telinga yang memerah.
Mereka duduk di lobi dekat pintu masuk, berharap bisa melihat Megy jika dia kembali. Polin mencuri-curi pandang melihat Shela dengan bertutupkan majalah yang ia ambil dari meja lobi apartemen.
Ia tahu itu tidak sopan, tapi ia benar-benar sangat merindukan Shela. Tidak satu pun hari ia lewati tanpa merindukan Shela sejak saat itu!
10 tahun bukanlah waktu yang singkat. Dan setelah mereka bertemu lagi Polin harus mendengar bahwa gadis yang selama ini tidak pernah menghilang dari hatinya itu harus menikah dengan sepupunya sendiri.
Ia bertanya-tanya, mungkinkah Shela menyadari akan keberadaan dirinya? Ataukah ia melupakan semuanya!
~To be continued