Takdir waktu seseorang tidak ada yang tahu. Kata orang bijak, kita tidak dapat memilih di keluarga mana kita lahir, atau pun mengetahui dengan siapa kita akan menikah nanti, dan waktu kematian kita.
Semuanya bagaikan misteri yang tidak akan pernah bisa dimengerti manusia bahkan sampai abad ini pun, perkara ini masih menjadi suatu rahasia.
Maka muncullah suatu pendapat dari para filsuf zaman dulu, bahwa ada suatu kuasa yang ada diluar diri manusia, yang mengatur segala sesuatunya sehingga bumi tertata dengan begitu teratur. Mereka menyebut Sang kuasa itu dengan sebutan Tuhan sang pencipta.
Shela bukannya tidak percaya akan keberadaan sang kuasa tersebut, ia hanya lelah untuk mempercayainya! Seakan semuanya akan berjalan baik-baik saja dan semua hal yang dia alami memang begitu adanya.
Jika sang penguasa itu ada, ia percaya Dia tidak akan membiarkan bumi hancur di tangan manusia yang tidak bertanggungjawab. Shela mulai berhenti berharap akan keberadaan Sang pencipta tersebut dan lebih memilih untuk melihat realita yang ada.
Jika Shela tidak percaya, maka berbeda halnya dengan Polin yang sangat percaya akan keberadaan Sang pencipta. Ia percaya, karena 10 tahun yang lalu Shela yang membuatnya percaya.
***
"Kak, mereka datang." Shela penuh dengan tatapan yang membara.
"Apa?" Polin tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Shela karena tidak fokus. Pikirannya melayang hanya untuk dirinya sendiri.
Shela berdiri dari tempatnya menuju ke arah dua orang insan yang berjalan dengan bermesraan masuk ke dalam apartemen.
Polin mengikuti Shela dengan pandangan matanya, ia menghela nafas menyadari betapa bodohnya Darlie saat itu. Bisa-bisanya dia benar melupakan janjinya demi Megy!
"Bagus ya!" Kata Shela menghalangi jalan Darlie dan Megy.
"Permisi, apa anda punya masalah dengan kami?" Tanya Megy, hendak ingin Shela segera menyingkir dari hadapan mereka.
Senyuman Darlie yang tadinya lepas kembali menjadi kaku. "Apa yang kau lakukan di sini? Bukannya kau seharusnya sudah berada di dalam pesawat?" Darlie berceloteh.
"Kau mengenalnya?" Tanya Megy.
"Heh..." Shela menyeringai. "Bukan kenal lagi, tapi dia adalah.... hump..." Sebelum Shela menyelesaikan kalimat yang hendak akan dia katakan, Darlie mendekap mulutnya.
"Dia adikku. Perasaan aku sudah bilang padamu kalau adikku dari Indonesia datang mengunjungiku?" Jelas Darlie senatural mungkin.
"Oh ya? Kamu ngak bilang apa-apa. Tapi bukannya kau tidak memiliki saudara perempuan?" Megy bingung dari mana asalnya Shela yang tiba-tiba menjadi adik perempuan Darlie. Sebab Megy tahu semuanya tentang Darlie, dan Darlie tidak pernah menceritakan soal adik perempuannya itu sama sekali.
"Adik atau wanita satu malammu yang lain?" Megy memperjelas dengan mengangkat sebelah alisnya.
"Tentu saja dia adikku. Wanita satu malam? Ah, aku tidak mengerti maksudmu... hehehe" Darlie kalang kabut. Dia tidak ingin terlihat cacat di mata Megy. Namun Megy tahu segalanya.
"Baiklah, bagaimana jika kau membawa adikmu masuk juga. Aku bisa menyeduhkan teh hangat untuknya kalau dia mau." Balas Megy.
"Tidak." Darlie sontak berteriak. "Ah, maksudnya itu tidak perlu. Aku akan mengantarkan adikku pulang. Maaf untuk hari ini sampai di sini saja." Lanjut Darlie dengan nada yang merendah.
"Oke deh, aku masuk dulu."
"Iya. Selamat istirahat." Tutup Darlie dengan terus mendekap mulut Shela dengan erat.
Megy membalasnya dengan senyuman sambil menaiki lift menuju lantai apartemennya. Melihat Megy yang telah menghilang di balik lift, Darlie melepaskan dekapan tangannya dari mulut Shela.
"Apa yang kau lakukan?" Shela marah.
"Aku yang seharusnya bertanya seperti itu. Apa yang kau lakukan di sini?" Darlie lebih marah lagi.
"Kalian berdua jangan bertengkar di lobi. Kita pulang saja bagaimana?" Polin akhirnya memiliki kesempatan untuk berbicara setelah Megy pergi.
"Oh, jadi kau yang bilang tempat Megy kepada gadis ini!" Darlie berahli ke Polin.
"Kenapa kau tidak datang, seharusnya malam ini kan kita kembali ke Indonesia. Kau tau berapa banyak kerugian yang kau sebabkan karena kau tidak datang?" Shela menarik tangan Darlie agar Darlie terfokus padanya.
"Sekarang kau berbicara soal kerugian? Aku katakan padamu yah. Tiket itu dibeli bukan menggunakan uangmu. Aku mau datang atau tidak, suka-suka aku donk. Memangnya kamu siapa mau atur-atur, ha?" Darlie masih saja kesal. Ia menghempaskan tangan Shela dengan dingin.
Darlie berbicara sambil mendorong bahu Shela dengan keras. "Darlie di sini banyak orang. Hentikan sikapmu itu. Kita bicarakan di rumah saja." Polin menahan tangan Darlie yang terus memojokkan gadis itu.
"Rumah? Kita lihat apa dia bisa bertahan jika aku mengusirnya dari apartemenku!" Ujar Darlie dengan pandangan merendah saat ia melihat Shela.
"Dia hanya gadis kampungan yang mengemis untuk bersanding denganku yang memiliki banyak uang! Dia tidak lebih dari seorang pengemis." Lanjut Darlie, kemudian berbalik pergi.
Seluruh badan Shela gemetaran. Ingin rasanya dia menonjok wajah Darlie saat itu juga, tapi dia menahannya. 'Pria itu, dia pikir dia siapa?' Gumam Shela di dalam hati.
"Shel, jadi sekarang bagaimana? Apa kau mau menginap di apartemenku?" Polin menawarkan tempat tinggal untuk Shela.
"Tinggalkan aku sendiri kak."
"Tapi Shel, diluar sangat dingin. Dan apa kamu yakin mau aku tinggalkan sendirian?"
"Aku bilang biarkan aku sendiri. Jika kakak mau tetap di sini, biar aku yang pergi. Jangan ikuti aku." Lanjut Shela.
Jantung Shela berdebar kencang. Orang bilang jika jantungmu berdebar, kau sedang jatuh cinta. Apanya yang jatuh cinta? Jantung Shela berdebar karena menahan amarahnya!
Ingin rasanya menangis, tapi itu tidak bisa ia lakukan. Penghinaan yang Darlie lontarkan untuknya benar adanya. Shela tak bisa membantah hal itu! Itulah yang membuat Shela sangat marah.
Tanpa sadar Shela berjalan sudah terlalu jauh, dan cuaca kota London semakin dingin sebab musim salju akan segera tiba.
Langkah kaki Shela terhenti saat serpihan-serpihan kecil berbentuk bulat seperti kapas terberai turun dari langit menyentuh kulit wajah Shela. Hari itu, salju pertama turun di kota London, Inggris.
Tiba-tiba jalan mulai memutih dan ranting-ranting pohon mulai akan tertutupi salju. Hati yang bersedih di tengah hujan salju, apakah mungkin alam mendengarkan kesedihan Shela? Sehingga ia menurunkan salju menggantikan air mata Shela yang mengering?
'Katanya jika melihat salju pertama turun menumpuk di atas tanah bersama pasangan, mereka akan bertahan sampai kakek nenek. Mungkinkah dongeng itu benar?' Pikir Shela sambil menengadahkan tangannya menyambut serpihan salju yang jatuh ke tangannya.
"Cih... Apa yang aku pikirkan. Cinta itu hanyalah dongeng untuk anak remaja!" Gumam Shela menertawakan dirinya sendiri.
Deg! Seseorang meletakkan mantel di tubuh Shela. Itu terjadi tanpa aba-aba dan Shela tidak pernah berpikir akan ada orang yang akan menyodorkan mantel untuknya di kota besar itu.
~To be continued