Chereads / Covenant / Chapter 12 - - 11 -

Chapter 12 - - 11 -

"Jadi, bagaimana kabarmu?"

"Maksudmu kabar kerajaanmu," koreksi Ilithya dengan mimik masam. Keningnya berkerut kesal, bibirnya meringis benci. "Sejauh ini tidak ada kendala, seperti biasa."

Di seberang sana, di balik cermin, Aim terkekeh. Satu tangan menopang kepalanya pada sandaran kanan sofa. "Jangan lupa aku bisa merasakan apa yang kau rasakan. Cobalah kurangi bencimu itu padaku, bukan aku yang membuatmu diusir dari pekerjaanmu, kan."

Memang bukan. Tapi caranya memberitahunya seakan hal itu hanyalah masalah pekerjaan yang bisa digantikan membuatnya semakin kesal, ditambah lagi karena pekerjaannya sekarang memang digantikan menjadi bawahan musuh terkutuknya—walau bukan dengan sukarela. Ini sebuah kesalahan. Kesalahpahaman. Sudah berkali-kali ia menyakinkan dirinya. Ia mendesah lelah, ingin rasanya meninju Iblis itu sekali saja seandainya mata sialan ini tidak menghalanginya.

"Ngomong-ngomong, cepat sekali kau menjawabku. Sebesar itu, kah, kau merindukanku hingga hanya menunggu di depan cermin selama ini?" tanya Aim acuh, menikmati reaksi antara kesal-lelah-benci-muak-enggan dari Ilithya. Aim tahu ia tidak melakukan hal lain selain yang dititahkannya padanya, dan ia sudah menyelesaikannya. Jadi tidak ada alasan untuk melakukan hal lain selain mengurung dirinya sendiri di dalam kamar bagai penjara. Namun, kali ini Ilithya membiarkan Iblis itu menggodanya tanpa jawaban apa pun yang keluar dari bibirnya.

Aim mengorek bungkus camilan dan memasukkan isinya ke dalam mulutnya. "Sejujurnya, aku sedikit menyesal datang ke sini sendirian. Melihat dua bocah itu berdempetan membuatku kesal." Ilithya tidak meresponsnya. Aim melirik Ilithya dari bungkus camilannya. "Apa kau tidak ingin ke sini? Serahkan tugasmu pada Bora."

Tawaran Aim membuatnya mengerjap bingung beberapa kali. Untuk apa ia ke sana? Tidak ada hal khusus yang bisa ia lakukan selain menjadi hiburan bagi Aim, dan ia tidak mau. Tentu saja. Baru saja ia ingin menolaknya, tapi sebuah pemikiran terlintas di benaknya. Ilithya berharap Aim tidak menangkap maksudnya dari perasaan yang di bacanya.

"Baiklah." Ilithya mengangguk singkat, berusaha menutupi luapan harapannya. "Secepatnya akan kuusahakan."

Aim menatapnya tajam. "Jangan harap kau bisa lepas dariku di sini."

Bibirnya berkedut membentuk senyuman yang terukir menyatakan tantangannya. "Tentu saja."

______________________________________________________________

Setelah melongokkan kepalanya sedikit, Athan menyembunyikan dirinya lagi di balik dinding dapur. Tepat di depan ruang tengah di mana Aim menatapnya heran. "Apa yang kau lakukan di sana?"

Athan menelan ludah sebelum menjawab dengan kepala tertunduk. "Tidak ada."

"Aku melihatmu jelas dari sini, Athan. Masuklah ke sana jika kau memang ingin menempel padanya."

Kini Athan yang terheran-heran menatap majikannya. Hari ini Aim sepertinya benar-benar sensitif. Apa yang terjadi saat mereka pergi? Ia tahu, Aim pasti menghubungi Ilithya walau Athan tidak tahu bagaimana mereka melakukannya. Aim tidak pernah menunjukkannya padanya.

"Apa ada yang terjadi, Tuan?" Athan memberanikan diri bertanya yang leganya dijawab dengan helan nafas panjang dari Aim.

"Tidak. Masuk saja sana. Kau mengganggu pandanganku," tukas Aim.

Tidak ingin membuat masalah lebih panjang, Athan menuruti perintahnya memasuki dapur. Di sana, Achlys dan Ina masih mengobrolkan sesuatu yang ingin dihindarinya namun membuatnya penasaran. Obrolan mereka terpotong ketika melihat Athan. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya, jadi ia hanya menggumamkan sapaan yang terpikirkan olehnya, dan berpura-pura mengambil sesuatu dari dalam kulkas selambat mungkin.

"Sejujurnya aku sudah jarang lagi bertemu dengannya, tapi terakhir kali aku bertemu, dia terlihat … sedikit kusut," ujar Ina ragu. "Apa ada yang terjadi di antara kalian?"

"Tidak ada. Aku sudah tidak menghubunginya sejak pindah."

"Begitu, ya. Padahal kalian dekat sekali, selain dengannya," Ina mengedikkan dagunya ke arah Athan yang meliriknya sekilas. "Sekali-kali cobalah hubungi dia. Aku sudah lelah dicecar olehnya di SMS."

"Kurasa aku tidak akan pernah lagi bisa menghubunginya," gumam Achlys.

"Kenapa? Aku baru saja memberitahunya lokasimu. Dia juga mengatakan hal yang sama, padahal minggu kemarin dia khawatir sekali denganmu."

Sejenak keheningan terisi suara masakan mereka, dan Athan mendengar suara tulang yang diregangkan. Ia menegang, melirik sekali-sekali sambil mengaduk minuman campuran apa pun yang diambilnya. Dilihatnya Achlys dengan tangan terkepal memunggunginya, menatap Ina yang gugup mengaduk masakannya.

"Achlys? Aku—aku tidak bermaksud mencampuri urusanmu. Hanya saja, aku rasa Xander benar-benar mengkhawatirkanmu. Jadi—"

"Ya. Tidak apa-apa." Achlys sedikit berbalik untuk melirik Athan dengan ekor matanya, menunggunya reaksinya. Athan hanya terus mengaduk. "Aku lelah, maaf, kau bisa mengatasinya sendiri?"

Ina mengangguk. "Istirahatlah. Aku akan memanggilmu saat sudah rampung."

Achlys berjalan melewatinya, sedikit menyentuh bahunya yang tegang. Apa yang harus dilakukannya kali ini?

______________________________________________________________

Achlys menangkap Aim sambil lalu saat ia melintasinya ke kamar. Aim tidak memprotes lengannya yang ditarik kasar oleh Achlys sampai mereka di dalam kamar Achlys. "Ada apa menarikku ke sini? Ingin membuat skandal?"

Achlys memelototinya, kedua tangannya disedekapkan di depan dadanya setelah menyentak lepas lengan Aim. "Kau sudah membereskan masalah Xander, kan?"

"Sudah. Kau meragukanku? Tidak ingat aku membersihkan namamu sebelumnya?" Aim mengikuti sikapnya, dan menyipitkan matanya. "Sudah cukup kurang ajarmu padaku, Manusia."

Ia memutar bola matanya mendengarnya. "Lalu kenapa Ina mengatakan seolah Xander masih ada? Bukankah seharusnya dia sudah mati? Apa yang sebenarnya terjadi? Katakan padaku."

Seketika Aim melupakan perasaan tersinggungnya, ia menelengkan sedikit kepalanya. "Seperti yang sudah kukatakan padamu, aku sudah membereskannya. Mungkin kau salah mengartikan ucapannya. Aku tidak mungkin melewatkan sesuatu." Aim mengerutkan keningnya. "Tidak mungkin."

"Kau harus mengeceknya lagi, aku tidak ingin membahas ini lebih lama lagi dengan Ina. Ingat janjimu padaku," kecam Achlys yang mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan hidung Aim.

Aim meraih telunjuknya, menurunkannya dari pandangannya tanpa melepaskan genggamannya. "Dan kuingatkan kau, Manusia. Jaga perilakumu. Aku tidak akan melakukan tawar-menawar lagi jika kau membuatku kesal lebih dari ini."

"Lakukan pekerjaanmu dengan benar sebelum mengingatkanku akan perilakuku." Achlys dapat mendengar Aim menggertakkan giginya menahan kesal, genggaman pada jari telunjuknya pun semakin kuat. "Aku menerima tawaranmu karena kau membuatku mempercayaimu."

"Dan kau memang seharusnya percaya padaku setelah apa yang kulakukan untukmu, Nona."

Raut wajah Aim Kembali normal ketika menyunggingkan senyumnya yang biasa. Seringaian. Ia melepaskan genggamannya dan berbalik meninggalkan Achlys di kamarnya. Pintu tertutup hampir tanpa menimbulkan suara. Ketenangan Aim seharusnya menjadi pertanda bahwa Iblis itu tidak melakukan kesalahan apa pun, tapi ucapan Ina masih membuatnya resah. Bagaimana jika memang ada sesuatu yang terlewat olehnya? Sekalipun Aim adalah Iblis, ia tentu tidak lepas dari sebuah kesalahan, bukan? Mungkin sebaiknya ia juga menanyakannya pada Athan yang mengetahui majikannya lebih baik dibandingkan dirinya. Ia benar-benar membutuhkan penjelasan terkait masalah ini. Pengalaman dikejar oleh polisi sangat tidak menyenangkan walaupun Aim sudah membersihkan namanya sebelumnya.

"Achlys? Makanannya sudah siap." Ina mengetuk pintu kamarnya dan membukanya secelah untuk mengintip sedikit. "Halo? Maaf, kukira tidak ada orang. Kau tidak menjawabnya dari tadi."

"Aku tidak mendengar kau memanggilku. Aku akan menyusul sebentar lagi, kau makan duluan saja."

Ina membuka pintunya sedikit lebih lebar untuk memasukkan setengah badannya, wajahnya merengut kecewa. "Sendirian? Dua temanmu tidak bisa kutemukan."

"Maaf, sepertinya mereka hanya tidak ingin mengganggumu," kata Achlys. Ia tersenyum kecil sesaat melihat temannya itu menghela napas dan mengangkat bahunya.

"Yah, baiklah."

"Aku akan segera menyusulmu," janjinya. [ ]