Sudah terlalu larut saat ia menyusuri jalan sepi perumahan yang ditinggalinya. Sekalipun Xander sudah berlari-lari kecil untuk menghemat waktu, nyatanya waktu lebih cepat berlalu dari yang diharapkannya. Mungkin karena ia lebih memilih berjalan kaki dari pada menaiki kendaraan lainnya. Entah kenapa ia tidak begitu nyaman dengan kendaraan bermesin seperti motor dan mobil atau pun angkutan umum. Jadi Xander berjalan gontai di tepi jalan sepi, tanpa sadar menghitung barisan tiang lampu setiap menemukannya dalam perjalanan pulangnya. Baru terpikirkan olehnya memesan secara online saja untuk membeli kaleng tuna kucing-kucingnya saat ia melewati tiang lampu ke lima.
Tersisa beberapa blok lagi untuk mencapai rumahnya dan ia mendapati Athan di depan rumah seseorang, yang tanpa berpikir panjang pun Xander tahu itu rumah Achlys. Tidak ada yang lebih dekat lagi dari Athan selain Achlys. Ia tidak tahu alasannya kenapa anak itu melekatkan dirinya begitu erat pada Achlys selama bertahun-tahun, tak pernah bosan menunggu gadis itu setiap harinya. Jika saja anak itu seperti anak normal kebanyakan, Athan pasti akan berada di urutan teratas lelaki yang diidamkan gadis di kompleksnya. Sayangnya Athan hanya menanggapi Achlys setiap ada gadis lain yang mendekatinya. Setia sekali. Yah, Xander tidak mempermasalahkan hal itu, tidak sebelum hilangnya Cheryl, salah satu teman sekelas Achlys saat SMA.
Xander berhenti dan memutuskan untuk menunggu apa yang akan terjadi yang ternyata tidak lama kemudian, Athan berbalik pergi dengan kepala tertunduk lesu. Ia penasaran. Mereka berdua benar-benar tidak normal jika tidak mengalami apa pun di usia mereka dan lagi kedekatan mereka yang membuat iri siapa pun yang melihatnya. Jadi Xander bergegas menuju rumah Achlys dan berniat untuk mengintai kelanjutan kejadian yang baru ia lihat. Namun suara terkejut yang disusul dengan suara yang seperti tercekik membuatnya mengerutkan kening. Ia mengintip di balik jendela yang sepertinya lupa mereka tutup dengan horden, dan mendapati Achlys berdiri di ruang tengah sedikit tertutup sekat ruangan dari depan.
Tidak terlalu jelas terlihat, tapi Xander cukup yakin bahwa Achlys menusukkan sesuatu ke leher Ayahnya dan berakhir dengan warna merah mengalir ke tubuh Ayahnya. Ia bisa melihat sedikit sosok Ibunya di sebelah Ayahnya, yang keadaannya tidak jauh berbeda karena ia bisa melihat warna merah juga di sana. Napasnya tertahan. Jantungnya menanggapi napasnya yang tertahan dengan detakan yang cepat. Otaknya tidak dapat merespons apa yang dilihatnya, ia hanya terpaku menatap Achlys yang masih berdiri di sana, memegang telepon genggamnya dan kemudian menuju ke dapur membawa sebuah karung beras besar. Ia menyaksikan proses mutilasinya dalam diam, ekspresi datar Achlys membuatnya menganga.
Keterkejutannya mereda begitu Xander menyadari Achlys akan keluar saat gadis itu menyeret karungnya susah payah menuju ke arahnya di pintu depan. Xander berusaha menggerakkan kakinya menjauh perlahan, mencari perlindungan dari kegelapan yang mulai menggelayuti langit senja. Ia bernapas patah-patah, perutnya mual saat teringat apa yang dilihat matanya tapi ia tidak bisa memuntahkan isinya. Ia ingin pulang. Otaknya menyuruhnya untuk bergegas lari ke rumah. Namun tubuhnya mewakili bagian dirinya yang penasaran dengan perbuatan Achlys, membawanya mengikuti gadis itu jauh di belakangnya, menjaga jarak yang diharapkannya tidak akan terlihat. Tolehan bayangan kepala Achlys di ujung cahaya lampu jalan yang remang-remang membuatnya berbalik lari tunggang-langgang.
Ia tidak ingin mengakuinya, tapi ia benar-benar ketakutan. Ia hanya bisa berharap Achlys tidak bisa mengenalinya.
______________________________________________
Beberapa hari berlalu sejak malam itu, Xander tidak pernah berhenti memikirkan alasan gadis itu. Para warga sudah bertanya-tanya mengenai kedua orangtuanya yang tidak kunjung keluar rumah, anaknya pun juga tidak terlihat. Seorang tetangganya pernah memaksa memasuki rumahnya hanya untuk mendapati tidak ada siapa pun di sana. Xander merinding mendengarnya. Apa Achlys yang benar-benar melakukannya? Luar biasa sekali menghilangkan jejak dalam waktu singkat. Polisi sudah mulai menyelidiki kasus yang kebetulan sekali melibatkan gadis itu dan keluarganya.
Achlys mungkin gadis muram yang terlihat menyebalkan, tapi alasan apa yang membuatnya melakukan semua itu? Beberapa kali ia menghubunginya pun tidak ada hasil sama sekali. Xander menduga gadis itu pasti bersama Athan. Jadi ia mendatangi rumahnya, dan dikejutkan dengan hadirnya seorang lelaki seumuran dengannya yang mengaku sebagai keluarga jauh Athan. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Achlys di sana, jadi Xander menyerah dan pulang.
Lagi, ia dikejutkan sebuah kabar baru yang menyatakan kasus hilangnya Cheryl telah selesai dan dianggap kasus pembunuhan oleh mantan pacarnya yang tiba-tiba mengakuinya di kantor polisi. Dan hilangnya kedua orangtua Achlys adalah sebuah liburan ke luar negeri semata dengan bukti yang cukup membuat polisi menutup kasusnya. Xander hanya bisa termenung. Bagaimana ia bisa menceritakan yang dilihatnya semalam jika semuanya berakhir seperti ini? Ia akan dianggap melontarkan tuduhan tak berdasar dan bisa-bisa dituntut balik atas pencemaran nama baik.
Di saat ia memutar kembali kenangan itu dalam kepalanya, ia melihat sosok Achlys melintas lumayan jauh di depannya, berjalan cepat terlalu di tepi jalan hingga sebuah mobil bisa saja menabraknya. Pikirannya seketika hanya berfokus untuk menegur gadis itu, berlari kecil menghampirinya. "Hei!"
Achlys menoleh, menatapnya dengan ekspresi datar yang sama yang membayangi malamnya. Xander merasakan kenangan itu kembali berputar memualkan, ia menarik napas berusaha menenangkan isi perut dan detak jantungnya. Ia bisa merasakan keringat dingin di tengkuknya. "Berbahaya sekali. Kau berjalan terlalu di tepi."
Achlys menanggapinya dengan dengusan singkat. Ia merasa harus mendapatkan jawaban sebelum gadis itu kembali menghilang, jadi ia memberanikan diri sebelum bertanya, "Kau dari mana saja? Semua orang mengkhawatirkanmu, kau tahu."
Gadis itu mengacuhkannya begitu saja, berbalik meninggalkannya seakan ia telah membuang waktunya sia-sia hanya untuk mendengarkan ucapannya yang tidak berarti apa-apa untuknya. Xander bergegas mengekorinya tak jauh di belakangnya, sama seperti malam itu. Lagi-lagi ia teringat. Mualnya kembali mengocok perutnya. Xander tidak ingin ia muntah sebelum menerima penjelasan sekalipun jelas ia sedikit takut dengan jawabannya, namun yang ia lihat sekarang hanyalah seorang gadis biasa. Achlys yang biasa ia lihat seperti sebelumnya. Pikiran itu sedikit menenangkannya untuk menarik lengan Achlys dan membuatnya berhenti.
"Kau tahu, kau bisa bercerita padaku kalau kau ada masalah."
Sesaat Achlys menatapnya dalam diam, kepalanya dimiringkan sedikit. "Kau melihatku?"
Pertanyaan itu menyentaknya, genggamannya seketika ia lepas begitu menyadari maksud gadis itu. Tidak salah lagi, ia memang terlihat malam itu. Achlys tidak menunggu jawabannya, dimasukinya gang kecil kumuh tempat batas perumahannya dengan jalan raya. Jalan pintas yang jarang digunakan pejalan kaki karena tumpukan sampah yang menjijikkan. Gang itu terlihat lebih gelap dari yang seharusnya, mungkin karena gedung tinggi yang mengapitnya?
Achlys terus berjalan hingga gelapnya bayangan di gang meniadakan sosoknya dari penglihatannya. Xander mengerjap beberapa kali, menapakkan kakinya beberapa langkah memasuki gang.
"Achy..?"
Seharusnya Xander tidak melihatnya. Seharusnya ia tidak bisa. Tapi ia melihat kegelapan itu bergelung membentuk sosok yang tidak diketahuinya. Ia merasakan ketakutan dalam dirinya membekukan tubuhnya. Xander tak bisa melihat apapun selain kegelapan di hadapannya sebelum kesadarannya perlahan meninggalkan dirinya.
____________________________________________
"Aku tidak bisa mengatakan aku menyukai keputusanmu," gumam Athan setelah menelan Xander bulat-bulat. Ia segera merubah wujudnya lagi di gang sempit itu. Berbahaya sekali jika kebetulan ada seseorang yang bisa melihatnya.
"Memang tidak perlu. Tidak akan berdampak apa pun untukmu," sahut Achlys datar.
Ia menghela napas perlahan. "Tidak untukku. Tidak untuk Aim. Sangat berdampak untukmu."
"Bisakah kita tidak membahas hal ini terus-menerus?"
"Aku masih bersikeras kau harus berhenti melakukan ini. Hampir saja kau terkurung di penjara," balas Athan yang hampir saja diucapkannya lebih keras dari yang diinginkannya.
"Ya, dan kalian mengatasinya dengan baik."
Athan mengerang frustasi. "Mungkin saja kita benar-benar harus pindah dari sini."
"Tidak masalah, kalian urus saja."
Tanggapan acuhnya membuat Athan kehabisan kata-kata. "Achy…"
"Kubilang jangan panggil aku dengan nama kecilku!" hardik Achlys tajam, matanya menatap Athan dengan keganasan yang membuatnya terenyak sesaat.
"Baiklah," ujarnya dengan kedua tangan terangkat pasrah. "Kurasa kita harus pergi sekarang."
"Kau ada ide?"
"Ide apa?"
"Kita akan pindah, kan?"
Ia terdiam sesaat, memikirkan pilihan yang sebaiknya menjauhkan Achlys dari lingkaran sesat ini. Semoga saja. "Kurasa begitu. Seandainya saja kita bisa pergi tanpa Aim."
Achlys tertawa kecil. "Tidak. Kita butuh dia," kata Achlys yang dibalas Athan dengan dengusan dan memalingkan wajahnya.
"Jika dia bisa, aku juga bisa," kata Athan. "Aku saja sudah cukup untuk melindungimu."
"Aku bisa melihat kurangnya pengalamanmu saat Aim membereskan semuanya sendirian."
"Itu karena dia tidak memberiku kesempatan!"
"Katakan saja kalau kau takut padanya," ejek Achlys.
Athan menyipitkan matanya, menatap langit di antara celah bangunan tinggi yang mengapit mereka. "Tidak. Dia membatasiku. Itu saja." Ia tidak mau mengakuinya dan memilih Achlys tidak mengetahui nasibnya. [ ]