Chereads / Covenant / Chapter 9 - - 8 -

Chapter 9 - - 8 -

**Warning**

Ada adegan 18+ (just bloody) yang mungkin membuat pembaca sedikit kurang nyaman. Mohon maklum. Terima kasih.

____________________________________________________

Matahari sudah mulai berganti dengan bulan yang muncul dalam cahaya oranye-ungu gelap. Petang. Angin dingin senja menyapu wajahnya dengan lembut, membuatnya mendengus kesal. Wajahnya terasa geli karena sapuan angin itu. Jadi ia menggaruk samping kanan hidungnya dengan cepat dan kembali duduk dengan nyaman menatap bulan yang datang.

Bukaan pelan dari pintu kamar menarik perhatiannya, namun Aim tidak berminat untuk memalingkan wajahnya hanya untuk menatap kedatangan mereka.

Sosok gadis kecil itu memasuki jarak pandangnya yang membuatnya mengalihkan tatapannya. Setelah duduk di hadapannya, Athan bergerak kaku ke sampingnya di dekat pagar, mempertahankan dirinya di tepi penglihatannya yang tengah menatap Achlys.

Gadis itu terlihat kebingungan namun waspada, menatapnya setajam yang bisa ia lakukan di hadapan seorang Iblis. Mungkin. Aim tersenyum miring menyadarinya. "Jadi, kau sudah tahu."

"Ya, walau kau tidak terlihat seperti yang kubayangkan," sahut Achlys pelan. Aim melirik sekilas bahunya yang terangkat dan menurun cepat dengan kaku.

"Ingin melihat wujud asliku? Bukan rahasia, sih, kalau kau mau."

Keningnya berkerut dalam ringisan kecil. "Sepertinya tidak perlu."

"Tidak beda jauh dengan yang sekarang," kata Aim sambil memeragakan kedua telunjuk di atas kepalanya, membentuk tiruan tanduk. "Kurang lebih hanya tambahan tanduk, ekor, dan taring."

"Jadi memang seperti yang kubayangkan, ya?" gumam Achlys. Kernyitannya perlahan menghilang, meninggalkan ekspresi penasaran pada wajahnya.

Aim terkekeh dan menurunkan tangannya. "Yah, anggap saja begitu."

"Kurasa lebih baik begitu," sahut Achlys sambil melirik Athan sekilas. Aim menangkap lirikan cepatnya karena gadis itu mengerjap beberapa kali saat matanya bertemu dengan tatapan Aim.

"Kau tidak masalah, kan, tadi Athan memakan temanmu?" tanya Aim.

Tatapan Achlys seketika menjadi kosong seakan ia baru teringat kejadian yang baru saja terjadi. Dan ekspresinya berubah menjadi cemas yang di sembunyikannya dengan mimik kaku.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau membunuhnya?" Aim sedikit memiringkan kepalanya, ia memasang senyum santai. "Kau tahu kan kita harus membahas ini?"

Achlys mengangguk kaku, kepalanya sedikit menunduk yang dengan cepat kembali diangkatnya, ia menatap Aim lekat-lekat. Tatapannya membuat Aim mengangkat kedua alisnya karena ia menangkap sebersit kebencian tanpa ragu. Gadis itu menjawabnya dengan gumaman pelan. "Karena aku membencinya."

Aim hanya terus tersenyum memperhatikannya dengan satu tangan menyangga kepalanya. Setelah keheningan beberapa saat, sorot mata benci itu mereda dan Achlys berdeham pelan. "Mungkin aku memang tak sengaja memanggilmu. Athan sudah menjelaskannya. Jadi, apa yang akan kau lakukan jika aku tidak memintamu melakukan apapun?"

"Maksudmu, kau ingin aku kembali saja?" Aim menyandarkan punggungnya pada punggung kursi dan mengehela napas.

Gadis ini labil sekali. Bahkan sampai tidak sadar memanggilnya? Padahal ia jelas mengetahui alasan kenapa Achlys memanggilnya ke sini. Aim masih bisa merasakannya sekarang dalam diri gadis itu.

Jadi ia ingin memastikan sesuatu.

"Kau korban bully, ya? Aku tidak tahu seberapa parah, tapi jika kau sampai bisa membunuh gadis itu, artinya kau bisa membunuh yang lainnya juga. Aku yakin Athan akan sangat berterima kasih atas asupan makanannya, jadi aku akan membantumu. Bunuh saja manusia-manusia menjengkelkan itu. Jangan khawatirkan masalah polisi yang akan mengejarmu, aku akan mengurusnya. Kau tahu, kan, aku ini apa? Itu hal mudah untukku." Aim terkekeh melihat Achlys termakan oleh perkataannya. Gadis itu sudah pasti sangat membutuhkannya untuk membantu. Ini memudahkannya. "Kau tidak perlu takut, cukup tersenyum saja pada mereka yang mencurigaimu. Biasanya itu akan menjauhkan mereka. Percaya lah. Biar aku yang menangani hal menyusahkan. Tapi aku membutuhkan ijinmu untuk melakukannya."

Gadis itu sedikit berjengit mendengar perkataan terakhirnya. Aim melirik Athan yang membeku menatap kakinya. Yah, Athan pasti sudah memberitahunya. Tidak masalah baginya. Umpan sudah di makan, sisanya hanya memberikan sedikit bumbu dan menyantap tangkapannya. "Tidak susah, kok, cukup ijinkan aku untuk membawa manusia yang kau bunuh nantinya untuk ku urus dengan caraku."

Kerjapan bingung Achlys membuat Aim melebarkan senyum tenang yang ia pertahankan, hampir saja ia menyeringai karena kebiasaannya. "Tidak susah, kan? Bagaimana?"

"Kenapa butuh ijinku?"

"Karena mereka sudah pasti manusia yang kau kenal, kan? Tidak mungkin aku membawa mereka tanpa ijinmu. Itu tidak sopan," jawab Aim dengan senyum yang masih menghiasi bibirnya.

"Maksudmu, kau akan memakannya, kan?"

"Itu bayaran untuk membantumu, aku tidak akan meminta hal lain," sahut Aim dengan jentikan jarinya. "Kau bebas membunuh mereka dan juga memberi makan Athan. Iya, kan?"

Achlys menatap Athan dengan ragu, namun Athan tak mampu membalas tatapannya. Tentu saja. Tuannya juga tengah mengamatinya, menanti sedikit saja perlawanan dari makhluk yang susah payah ia ciptakan. Mudah baginya untuk melenyapkannya. Sayangnya ia membutuhkan Athan untuk menjalankan keinginannya, dan ia cukup puas mendapati makhluk itu tak berkutik. Jadi Achlys kembali menatap Aim, keningnya berkerut dalam, sorot matanya menyiratkan keinginannya dalam keputusasaan.

Ya, terima lah. Ia sangat tahu keinginan gadis itu. Ia bisa merasakannya.

Aim menjulurkan tangannya menunggu untuk menyambut jabatan tangan dari gadis itu yang rupanya tidak membutuhkan waktu lebih dari tiga detik untuk tercapai. Dalam hati ia menyeringai puas.

"Kurasa tidak ada ruginya.."

"Jangan katakan itu pada seorang Iblis, nona," ujar Aim ceria.

Dan ia memang benar, kan?

______________________________________

Dalam perjalanannya kembali, Athan hanya terdiam menunduk. Padahal ia yang sudah memaksa Achlys untuk menemaninya pulang. Achlys tahu, Athan mungkin sedang memikirkan akibat dari kesepakatannya dengan Aim. Ia bersikeras pada dirinya sendiri bahwa tak akan ada ruginya. Dari tawaran dan penjelasan yang di ucapkan Iblis itu, tidak ada kerugian apa pun. Walau pun Athan jelas sekali sudah memperingatinya sebelumnya, namun ia merasa bantuan Aim memang dibutuhkan.

Apalagi ketika ia dipanggil warga kompleks untuk berkumpul saat itu bersama Xander, tepat sebelum Athan datang ke rumahnya yang menanyakan ketakutannya dan berujung pada Aim. Achlys sangat panik karena mereka berkumpul membahas hilangnya Cheryl. Tapi Iblis itu mengatakan, ia bisa bebas membunuh. Bebas. Benarkah? Bagaimana dengan orang tuanya nantinya jika mengetahui hal ini? Athan memang benar, ia mungkin tidak bisa tinggal di lingkungan ini lagi. Mungkin ia tidak bisa tinggal dengan orang tuanya lagi jika ia memilih untuk melanjutkan.

Lagi pula Athan jadi mendapat makan karena orang yang ia bunuh, kan? Tapi untuk apa ia membunuh untuk memberi makan Athan? Apa hubungannya dengannya? Karena Athan selalu membantunya melampiaskan kekesalannya? Ya. Sekarang juga Athan berusaha membantunya, kan? Tak ada salahnya ia membantu Athan mencari makan. Sekali dayung dua pulau terlampaui. Orang-orang yang ia benci akan menghilang, ia tidak akan pernah tertangkap karena Aim membantunya, dan Athan akan mendapatkan jatahnya. Senyumnya mengembang memikirkan hal itu.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Athan tiba-tiba, membuatnya terlonjak kaget. "Kita sudah sampai."

Achlys mengerjap memulihkan keterkejutannya dan tertawa singkat. Sudah sampai rumahnya rupanya. "Seharusnya aku yang bertanya, sedari tadi kau diam saja."

Lagi-lagi Athan tertunduk. "Kau tidak perlu memikirkan makananku, kau tahu."

Achlys meninju lengan kanannya, yang tentu saja tak membuat Athan sedikit pun bergeser akibat daya dorong tinju kecilnya. "Pede sekali."

"Lalu untuk apa? Kau tidak perlu melakukannya."

"Kau hanya tidak ingin aku bersama Aim, kan."

"Keuntungannya hanya ada pada diriku dan dirinya. Kau tidak."

"Ada, kok," ujar Achlys. Athan mengernyit kecil, tanpa sadar jarinya bergerak menghilangkan kernyitan itu, membuat Athan mengerjap beberapa kali dan menjauhkan kepalanya. "Orang yang kubenci akan kalian lenyapkan."

"Untuk apa?"

"Untuk diriku."

"Kenapa? Kau tinggal mengabaikannya dan melampiaskannya padaku seperti biasa."

"Tapi mereka akan tetap ada, Athan," kata Achlys dengan sabar. "Apa kau tidak mengerti?"

Lagi, Athan mengernyit. Sorot sedih matanya membuat Achlys mencubit pipinya. Seperti yang biasa ia lakukan. Tidak parah untuk meninggalkan bekas. Tidak separah pada anggota badannya yang lain. "Kau jadi banyak ekspresi, ya. Bagus lah. Pulang sana, jangan khawatir, aku melakukannya untuk diriku sendiri."

Tangan Athan menahan lengan Achlys yang mulai beranjak masuk ke rumahnya, namun ia mengurungkan niatnya. "Kau tidak perlu melakukannya."

"Athan," Achlys berbalik sedikit untuk berbicara padanya. "Seharusnya kau yang paling tahu."

Setelah mengucapkannya, Achlys menghilang di balik pintu, meninggalkan Athan yang masih berdiri di sana. Ucapannya masih terdengar dari dalam. "Aku tahu.."

Suara tapak kaki Athan perlahan menghilang tak terdengar, menjauh sangat perlahan. Achlys tak sadar menahan napasnya, jadi ia menghela dan menghirup napas dalam-dalam untuk kembali di hembuskannya dengan keras. Di dalam, Ibu dan Ayahnya tengah duduk berdua menonton televisi di ruang tengah. Gaun tidur ungu tipis Ibunya memantulkan sedikit sinar lampu. Ayahnya yang hanya mengenakan kaus dalam putih dan celana boxer biru tua melirik malas sekilas pada dirinya yang baru pulang. Achlys memutar bola matanya dengan muak. Mereka sedang berpelukan sambil menonton film romansa yang sedang tayang dengan santai.

Tanpa memalingkan tatapannya dari televisi, Ibunya menyambutnya dengan pertanyaan menyebalkan. "Sudah dapat?"

Achlys masih berdiri di depan pintu, bahkan belum melepaskan alas kakinya, dan menjawab dengan ketus. "Apa?"

"Pekerjaan, apa lagi memangnya?" Kini Ibunya menatapnya, kedua alisnya bertaut tak senang. "Kenapa kau kurang ajar sekali menjawab pertanyaan orang tua?"

"Aku lelah," jawab Achlys sekenanya. Ia bergegas membuka sepatunya dan masuk ke dalam kamar. Ia tak peduli belum membersihkan diri.

"Kami sudah menjodohkanmu dengan Gale. Besok keluarganya akan datang untuk melamarmu. Bersiaplah besok, jangan mempermalukan kami," ujar Ibunya dengan santai.

Tangannya yang tengah memutar kenop pintu seketika terhenti dan ia kembali menutupnya, dengan perlahan Achlys membalikkan tubuhnya menghadap kedua orang tuanya. Ya, kamarnya ada di lantai satu, tepat di samping ruang tengah. Sedangkan orang tuanya menempati kamar nyaman di lantai dua. Memikirkannya saja membuat Achlys kesal sekalipun itu hanya hal sepele.

Ditambah lagi ucapan Ibunya. Ia menggertakkan giginya, berusaha menahan amarah dalam suaranya. "Aku tidak mau dan aku tidak kenal Gale."

"Kau akan kenal nanti," sahut Ayahnya.

Kepalanya terasa memanas, pelipisnya berdenyut pelan, ia tak bisa menghentikan geraman yang keluar dari dalam mulutnya di sela giginya yang makin kuat ia gertakkan. Dipelototinya kedua orang tuanya yang kini menatap putrinya dengan heran setelah mendengar geramannya. "Tidak akan."

Achlys berjalan ke dalam dapur di belakang ruang tengah, menghampiri rak yang tersusun rapih dan menyembulkan bau sabun menyenangkan yang tidak menenangkannya. Suara besi menggesek kayu terdengar saat ia menarik benda yang ia pilih.

Hari ini ia sudah memikirkan banyak hal. Dan kedua orang itu hanya menambah bebannya. Ia benci sekali. Ia tidak ingin ada gangguan lagi. Aim akan membantunya, kan? Ya, Iblis itu sudah mengatakannya. Sulit dipercaya, tapi ia lebih memilih Iblis itu dari pada kedua orang tuanya. Orang tua yang turut berperan dalam menambah kesengsaraannya. Tidak. Mereka yang pertama kali membuatnya sengsara bertahun-tahun lalu!

"Kau ini kenapa?" tanya Ibunya yang terdengar saat ia mencapai ruang tengah. Matanya membelalak melihat Achlys yang kini berdiri menghalangi televisi di depan mereka. "Apa--"

Achlys segera membungkan suara memuakkan yang selalu meneriakinya setiap hari, yang entah disadari atau tidak membuatnya semakin kesal. Pisau itu tertancap sampai menembus leher Ibunya. Ia menarik pisau itu dengan kuat, darah menyembur beberapa kali sebelum mengalir mengikuti gravitasi ke bawah, membuat genangan di gaun tidur mengkilapnya. Ia tidak memberikan kesempatan pada Ayahnya yang ternganga dan kembali menusuk tenggorokannya dengan cara yang sama. Mencabutnya. Membiarkan genangan darah itu keluar sampai tubuh mereka yang menggelepar dan memegangi tenggorokan itu melemas dan menggulirkan matanya ke atas dalam keadaan mulut ternganga berbusa.

Perlahan ia menarik napas, menatap langit-langit ruangan yang terang oleh cahaya bohlam lampu. Suara tangis seorang selebriti di televisi menemaninya. Tidak. Ia tidak menangis. Suara itu hanya menemaninya berada dalam ruangan bersama jasad kedua orang tuanya. Ia merasa lega, puas, namun ia sedikit terkejut karena ia tidak merasa sesenang yang di perkirakannya. Ia merasa biasa saja seperti hari-hari biasa yang ia lalui. Hanya saja jantungnya berdegup kencang di dalam dadanya, membuatnya sedikit sesak.

Ditatapnya kedua jasad itu bergantian. Padahal tadi mereka masih hidup.

Getaran dalam saku celananya mengejutkannya. Telepon genggamnya bergetar sampai ia mengetuk layarnya dan membuka pesan masuk, yang mengejutkannya, atas nama Aim. Achlys tidak ingat pernah menyimpan nomor Aim dan ia bahkan tidak tahu Aim mempunyai telepon genggam.

Dari : Aim

Bawa dia ke tempat yang ku kirim. Kutunggu di sana. Jangan lupa masukkan mereka ke dalam karung seperti biasa setelah kau mencacahnya. Untuk memudahkan saja. Pertanyaannya nanti saja.

Achlys membuka lampiran map online yang dikirim Aim. Ketika Achlys mulai bertanya-tanya, Aim kembali mengirim pesan yang langsung ia baca dengan cepat.

Dari : Aim

Jika kau membuangnya di tempat yang sama, mereka akan menemukanmu. Aku sudah membereskan Cheryl seperti yang kujanjikan. Seharusnya jejaknya sudah hilang. Sekarang bergeraklah. Pastikan kau tak diikuti temanmu itu.

Setelah selesai membacanya, Achlys kembali menarik napas dan menghembuskannya perlahan-lahan, menenangkan pikiran dan detak jantungnya. Ia menyimpan telepon genggamnya dan mulai mencacah tubuh kedua orang itu sebisa yang mampu dilakukannya dengan pisau dapur, memotong mereka di sendi, mengoyak bagian daging yang tebal, membiarkan darahnya terkuras bersih sebelum menyentakkannya untuk memisahkan bagian itu. Diambilnya karung bekas beras dari dapur, satu-persatu memasukkan potongan daging dan tulang, lalu membersihkan karung dari bercak darah. Dan juga membersihkan dirinya dari cairan merah kental itu.

Suara televisi terbungkam oleh badai hujan di luar yang mengamuk, tetesan hujannya terdengar keras menimpa tanah dan benda apapun yang tak terlindungi. Namun badai itu berlalu dengan cepat, berubah menjadi rintik kecil tak berbahaya.

Achlys mematikan televisi, menatap ceceran darah yang menyebar hampir memenuhi ruang tengah. Karung berat itu sudah siap di samping pintu depan. Jadi Achlys meloncati genangan darah itu sebisa mungkin, mengenakan sepatunya, dan keluar mengunci pintu. Diseretnya karung berat itu dalam rintikan hujan yang mereda dengan cepat, menyisakan genangan gelap kotor di jalanan malam yang baru saja turun.

Sepi sekali. Orang-orang memang terbiasa tidak keluar saat malam baru turun. Mitos-mitos lama. Tapi yang ia khawatirkan bukan mitos yang sudah ia jumpai.

Diikuti teman, ya? Siapa?

Ia sampai di tempat yang di tentukan Aim, dan ia melihatnya menyunggingkan cengiran lebar di gang sempit itu. Tapi matanya menatap ke balik Achlys, membuatnya menoleh dan tertegun. Sosok dari jauh itu segera berlari dan menghilang. Ia tak perlu melihat wajahnya untuk mengetahui pemilik baju yang sudah di kenalnya bertahun-tahun.

"Apa yang akan kau lakukan pada temanmu itu, Achlys?" tanya Aim dalam kilatan matanya di balik bayang-bayang gelap gang.

"Bukankah seharusnya kau membantuku?" balas Achlys, ia merasakan suaranya sedikit bergetar.

"Kau ingin aku melakukan apa? Dia tidak termasuk dalam orang yang ingin kau lenyapkan, kan? Lagi pula aku sudah katakan sebelumnya soal temanmu yang mengikutimu." Aim menarik Achlys mendekat, mengelus pipinya dengan lembut. Karung berat itu terlepas dari tangannya dan terjungkal dengan suara menjijikkan. "Putuskanlah." [ ]