Chereads / Frieden / Chapter 3 - BAB 3

Chapter 3 - BAB 3

Sampainya di rumah Ikhsan, Chelsea turun bersamaan dengan Ikhsan. Ia memegang ujung jaket Ikhsan seakan takut ditinggal sendiri.

Mereka berdua masuk ke rumah tersebut, Zeneta melihat Chelsea dengan wajah menunduk memegang ujung jaket Ikhsan. Wanita itu menghampiri Ikhsan dan Chelsea, menatap Ikhsan penuh tanya, ikhsan hanya memberikan kode lewat matanya kepada Zeneta untuk membawa Chelsea ke kamar tamu.

Zeneta merangkul bahu Chelsea membuat Chelsea mendongak menatap Zeneta. Chelsea menuruti Zeneta hingga tiba di suatu ruang minimalis dengan sofa, meja dan tirai yang Chelsea tidak tahu apa yang ada di baliknya.

"duduk Chels." Ucap Zeneta dan meninggalkan Chelsea di tempatnya untuk membuka jendela dan terlihat ruangan yang di dominasi warna putih dan hitam.

Zeneta berbalik dan duduk di salah satu sofa yang tersedia, Chelsea ikut duduk dengan wajah masih tertunduk. "ada apa?" tanya Zeneta.

Chelsea tidak bergeming. Zeneta mencoba menjadi tempat yang nyaman bagi Chelsea dimana tidak terlalu ambil andil dalam masalahnya jika tidak diminta.

Chelsea masih diam enggan menceritakan masalahnya, kini ia masih tertunduk namun tangannya gemetaran, bahunya naik turun, gadis itu menangis tersedu.

Zeneta mengelus genggaman tangan Chelsea sembari menenangkannya. "lepaskan Chelsea, lepaskanlah."

Pintu ruangan terbuka dan menampilkan Ikhsan di balik pintu, pria itu menatap Zenata meminta izin masuk dengan tatapan matanya. Zeneta menoleh dan mengangguk memberi izin.

"aku pergi dulu, ada Ikhsan, teriak saja jika dia membuatmu tak nyaman." Ucap Zeneta dan keluar dari ruangannya, memberi akses Ikhsan dan Chelsea.

Ikhsan kini sudah duduk di depan Chelsea yang masih tersedu. Tangisnya sudah terhenti, namun ia masih belum bisa menenangkan dirinya.

Ikhsan membuka tirai yang menutupi sebagian dari ruangan yang mereka tempati membuat Chelsea terperangah. Ada piano, biola, gitar akustik, keyboard. Ikhsan tersenyum.

"mau nyanyi?" tanya Ikhsan.

Chelsea menggeleng sembari mencoba menenangkan dirinya.

Ikhsan menghampiri piano dan duduk di depan piano. Ia memainkan piano tersebut, lantunan instrument piano dari lagu "Pelangi" yang dipopulerkan Nidji membuat mood Chelsea sedikit membaik.

"laskar Pelangi, takkan terikat waktu

Bebaskan mimpimu di angkasa, warnai bintang di dunia." Suara Ikhsan melantun mengikuti irama.

Chelsea masih diam memperhatikan Ikhsan.

"menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga

Bersyukurlah pada yang kuasa, cinta kita di dunia..

Selamanya…"

"cinta kepada hidup, memiliki senyuman abadi

Walau hidup kadang tak adil, tapi cinta lengkapi kita."

"menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga

Bersyukurlah pada yang kuasa, cinta kita di dunia..

Selamanya…"

Ikhsan menghentikan permainan pianonya dan menghampiri Chelsea yang masih terdiam mencerna lirik dari lantunan lagu yang baru saja dinyanyikan Ikhsan.

" hidup itu bukan sekedar bagaimana kamu menerima, bagaimana kamu menolak, bagaimana kamu menjalaninya. Hidup adalah proses Chels." Ucap Ikhsan.

"dan dunia adalah tempat kita berproses, berproses untuk menjadi manusia yang lebih hebat dan kekuatan yang lebih baik untuk menuju ke tempat yang lebih menyenangkan. Kamu gak bisa menolak hidup, kamu tidak bisa menyalakan hidup. Menangis tidak salah, tapi menangislah untuk sesuatu yang penting." Lanjutnya.

Ikhsan mendekati Chelsea dan duduk di sampingnya. "pasti kamu bertanya-tanya, kenapa aku sering sekali tertawa, tersenyum. Apakah aku tidak mempunyai masalah?" ucap ikhsan lagi. "masalahku banyak Chels, trauma saat Ayahku di bunuh di depan mataku, trauma saat ayahku dengan sengaja ditusuk, ditebas, dipukuli di depan mataku." Ujar Ikhsan, raut wajahnya seakan melihat masa lalu itu terjadi kembali di depan matanya. "trauma yang membuatku hampir ikut menyusul ayahku, namun bunda wanita yang hebat, dia menemaniku sampai aku pulih dengan normal." Lanjutnya.

Chelsea diam mendengarkan cerita Ikhsan. "trauma hidupku begitu menyakitkan, aku sendiri saat itu, bunda baru akan pulang esok siang dari luar kota." Ujar Ikhsan. Matanya kini berair menahan tangis. "bunda satu-satunya orang yang ada di dalam hidupku, bunda berhenti dari pekerjaannya dan menemaniku. Kami semua hidup dari hasil kerjaku Chels. Aku mengumpulkan anak-anak itu untuk menemani bunda saat aku bekerja." Lanjutnya. "menafkahi keluarga ini adalah tanggung jawabku saat ini, uang sekolah adik-adik, terkadang aku sampai kerja larut di sebuah cafe jika pelanggan desain tidak ada." Keluh kesah Ikhsan ditumpahkan semuanya ke Chelsea.

Ikhsan menoleh kepada Chelsea sambil tersenyum. "tapi aku menikmati prosesnya Chels, aku bersyukur bisa bertahan sampai sejauh ini, dan aku tidak boleh menyerah Chels. Aku mau kamu juga menikmati hidupmu, tidak menyalahkan dirimu, tidak menyalahkan lingkunganmu, itu hambatanmu untuk berlanjut ke masa atau ke tempat yang lebih baik." Ujar Ikhsan.

Chelsea menitikkan air matanye kembali, ia menunduk tersedu kembali. Ikhsan mengelus bahu Chelsea sambil tersenyum. "aku bercerita padamu bukan supaya kamu mengasihaniku, tapi kamu bisa mengambil pelajaran dari hidupku Chels. Aku ingin kamu tertawa, senyum, aku mau kamu bahagia." Ucap ikhsan.

Chelsea mengangguk sembari tersedu mencerna kisah yang diceritakan oleh Ikhsan. "jangan sungkan untuk sekedar bercerita Chels, kita akan cari solusi jika kamu tak dapat menyelesaikan masalahmu." Lanjut Ikhsan.

"keluargaku tidak menerimaku San, mereka semua membenciku. Mama dan Papa tidak menyayangimu San, keluargaku tidak sebahagia keluargamu."

***

Setelah menangis cukup lama, kini ia sudah tergeletak di atas kamar tamu dengan wajah menengadah ke langit-langit kamar. Ia belum bisa tidur, padahal ia sudah tahu persis bahwa kedua orang tuanya tidak akan mungkin mencarinya, namun ia masih berharap bahwa Mamanya menghubunginya dan bertanya keberadaannya sekarang, ia ingin sekali mendapyatkan telpon dari orang tuanya. Jika di ingat, ia belum pernah mendapatkan telpon dari keluarganya.

Dengan rasa bosan, akhirnya ia bangkit dari tidurnya, ia keluar dari kamar tamu dan melihat semuanya tidur di ruang utama, bahkan bunda Zeneta tidur di atas sofa. Chelsea berjalan menuju dapur dan duduk di kursi ruang makan dengan gelas berisi air putih di genggamannya.

Chelsea menegak air minum itu, tiba-tiba seorang gadis dengan wajah yang masih mengantuk berteriak setelah melihat Chelsea duduk di kursi ruang makan dengan rambut tergerai Panjang di sana.

Chelsea hanya diam menatap gadis itu hingga ia terdiam sendiri setelah sadar bahwa Chelsea lah yang sedang duduk di sana. Ia menghentakkan kakinya kesal dan mendekati Chelsea."kakak ngapain sih malam-malam duduk di sini, kayak hantu tau gak sih." Sebal gadis itu yang tak Chelsea ingat namanya.

Gadis itu melilitkan kakinya sembari menunjukkan wajah gelisah membuat Chelsea mengangkat alis matanya sebelah seolah bertanya. "aku pingin pipis." Jawabnya. Chelsea tersenyum, matanya mengarah pada kamar mandi di ujung ruangan.

Gadis itu mengerti bahwa Chelsea tak banyak bicara membuatnya mengikuti arah pandang Chelsea. "aaa ia aku tadi mau ke situ, tapi kakak gak apa nih aku tinggal?" tanyanya membuat garis dahinya mengerut.

Dari tadi dia sendiri, mengapa gadis ini malah mengkhawatirkan dirinya. Chelsea menggeleng mengisyaratkan bahwa ia tidak apa-apa.

Gadis itu mengangguk dan langsung berlari menunju kamar mandi yang sedari tadi menjadi tujuannya.

Chelsea menegak air putihnya sekali lagi sembari melihat jam di pergelangan tangannya. Sudah larut, pukul 03.00 wib. Namun matanya tak bisa tertutup.

Gadis itu keluar dari kamar mandi dengan wajah yang sudah lumayan segar.

Ia menyalakan lampu ruang makan, dapur dan mulai mencuci piring, membereskan segala perlengkapan untuk memasak.

Chelsea memperhatikan gadis itu. Gadis yang sangat telaten, pikirnya. Gadis itu memotong sayuran sembari menoleh ke arah Chelsea. "kak Chelsea kok cepat sekali bangunnya? Biasa bangun jam segini ya kak?" tanya gadis itu membuka percakapan.

Chelsea memperhatikan tangan gadis itu yang dengan lincah memotong sayuran, ia sangat terlatih dalam urusan pisau. "aku sih tiap hari bangun jam segini, jadi agak kaget tadi lihat kakak di dapur tiba-tiba." Lanjut gadis itu tanpa ditanya.

tiba-tiba, ponsel Chelsea berdering menandakan ada yang menghubunginya.