Chereads / Frieden / Chapter 9 - BAB 9

Chapter 9 - BAB 9

Chelsea terduduk dan menatap ruangan serba putih, pandangannya jatuh pada seorang pria dengan buku di tangannya sembari duduk menghadap gadis itu.

sang pria tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk membantu Chelsea. gadis itu menepis tangan sang pria dan duduk dengan sendirinya.

"aku Alfian, psikiater yang akan merawatmu." ucap pria itu memperkenalkan diri.

Chelsea masih diam, terpaku dengan lengannya yang kini dibalut perban. Matanya kini beralih pada wajah pria di sampingnya yang baru saja memperkenalkan diri itu.

"Gue dimana ya?"

Alfian membelalakkan matanya mendengar suara Chelsea berbeda dengan teriakan yang terakhir kali ia dengar.

Gadis itu menyibakkan rambutnya, meraba dan melihat rambutnya yang berwarna hitam. "boseni banget sih warna rambutnya." ujarnya.

Gadis itu dengan gusar melepas infus dan berjalan menuju cermin memperhatikan wajahnya sendiri.

Alfian menghampirinya. "Chelsea, pergelanganmu berdarah." ujar Alfian.

Chelsea itu melirik Alfian sinis. "Duh apaan sih, nama gue tuh Adreena. Chelsea apaan coba." sebalnya.

Alfian mengerutkan dahinya. "Adreena?"

Chelsea menyebut namanya Adreena, dengan sigap pria itu meninggalkan Chelsea dan berjalan cepat ke arah ruang keluarga tempat di mana semua keluarga berkumpul.

"Siapa bernama Adreena?" Tanya Alfian tiba-tiba.

Seluruh keluarga menatap Alfian. Pria itu masih menunggu jawaban keluarga Chelsea.

"Adreena, nama adik Ipar saya. Adelia Adreena Husein." ujar Reno, Papa Chelsea.

"Ada di mana tante Adreena sekarang?" Pertanyaan Alfian jelas membuat seluruh keluarga menatap Alfian heran. "tolong jawab saya." Ujar Alfian lagi.

"sudah meninggal dia, bersama suaminya yang kecelakaan kapal." Reno kembali memberi jawaban.

Setelah mendapat jawaban, Alfian kembali berlari ke kamar Chelsea dan melihat gadis itu kini duduk di sudut kamar dengan kaki ditekuk.

Alfian menghampiri Chelsea. "Chelsea?"

Chelsea mendongakkan kepalanya menatap wajah pria itu. "siapa kamu?"

Alfian kembali terkejut, suara Chelsea berubah lagi. "Aku Alfian Chelsea, psikiatermu."

Chelsea mendengus. "apa gunanya psikiater?" tanya Chelsea dengan suara datar. Gadis itu menatap Alfian dengan tatapan luka menyerah. "bisakah kamu membuat Mama mengakuiku? Bisakah kamu membuat Papa menganggapku sebagai putrinya? atau bisakah kamu membuatku menjadi orang yang disayang orang banyak?"

Alfian masih diam mendengarkan. "kamu tidak bisa kan?" ujar Chelsea dengan tawa sumbangnya. "tak ada gunanya kamu di hidupku, pergilah. Kerjakan hal berguna lainnya." Lanjut Chelsea.

Alfian mengelus pucuk kepala Chelsea berharap memberikan rasa sayang kepadanya. Sayangnya, bukan memberikan Chelsea ketenangan malah membuat Chelsea menangis terisak.

"aku minta maaf Chelsea karena tak bisa menghapus rasa sedih dan kecewamu." ujar Alfian.

Chelsea semakin terisak menahan sesak yang kini bersarang di dadanya.

***

Gadis itu kini sendirian di kamarnya. Matanya menatap langit-langit kamar berharap ada cahaya putih yang datang dari langit dan bersedia menariknya untuk ikut ke luar angkasa.

Mata Chelsea masih terlihat sendu, ia bahkan tidak mau makan sejak sadar sehari lalu.

Pagi ini, lagi dan lagi Alfian berkunjung sembari menggantikan makanan yang tadi malam dibawakannya.

"makan Chels, kamu butuh tenaga." Ujar Alfian yang sudah kesekian kalinya semenjak semalam.

Chelsea masih enggan berbicara, bahkan kini ia memunggungi Alfian tak ingin melihat Alfian.

"makan Chels, saya akan bawa kamu kemana saja asalkan kamu makan." Alfian kini kembali membujuk Chelsea.

Gadis itu bangkit dari tidurnya dan menghadap Alfian. Ia menghapus air matanya kasar dan memamerkan jari kelingkingnya.

Alfian tertawa kecil dan mengaitkan jarinya pada kelingking Chelsea. Tak sangka kini gadis itu makan dengan lahap disuapi oleh Alfian.

"Kak Alfian kan?"

Alfian berhenti menyendokkan nasi ke arah Chelsea. Suara Chelsea berubah lagi. "Kak Alfian bisa buat Mama di sini gak?"

Kini suara Chelsea terdengar seperti anak-anak. "Kamu Chelsea?"

Gadis dengan tatapan polos, dan Alfian bahkan baru menyadari tatapan gadis ini berubah. Chelsea menggeleng menjawab pertanyaan Alfian.

"semuanya manggil Chelsea, aku bukan Chelsea." Ujarnya sambil menggeleng.

Alfian masih bingung, ada apa dengan Chelsea?

"Kak, Aaaaaa." gadis itu membuka lebar mulutnya memberi isyarat agar Alfian menyendokkan makanan ke mulutnya.

Alfian kembali menyuapi Chelsea. "Kakak udah janji mau ajak aku kemana aja."

Alfian tersenyum sembari mengangguk. Pria itu memerhatikan gerak tubuh Chelsea.

"Kak Alfian gak kenal aku?"

Alfian menatap Chelsea bingung. apa maksudnya?

"Aku dulu sering main sama kakak." lanjut Chelsea. "Kakak dulu suka panggil aku Sea, artinya laut. padahal aku cowok tapi kakak panggil aku Sea."

Alfian semakin bingung. "Mungkin aku lupa, namamu siapa?"

Gadis itu tertawa dan kini meloncat di atas tempat tidur. "Dari R. ayo tebak."

Alfian tertawa kecil. "Rasya?"

Gadis itu masih meloncat dengan tawa kecil dan menggeleng setiap Alfian salah menebak.

Kini gadis itu duduk di atas kasur, mengatur nafas dan tersenyum. "Kamu tampan dan kamu hebat."

Alfian masih tak mengerti ucapan yang keluar dari mulut Chelsea.

Dengan kesal gadis itu turun dan menendang udara. "IHHH GAK INGET RAKA KAKAKNYAA."

Alfian menatap figur Chelsea. "Raka?"

Gadis itu tertawa dan mengangguk-angguk. "Aku Raka."

Nama yang keluar dari mulut Chelsea membuat Alfian shock.

Chelsea menunjuk Alfian dengan tawa kecil. "Kak Alfian kok kaget gitu?"

Alfian mengambil nafas dan membuangnya perlahan. Ia mendekati Chelsea dan mengelus kepala Chelsea. "Aku akan coba sembuhkan kamu." Ujar Alfian.

Chelsea mulai menunjukkan reaksi, matanya tertutup perlahan dengan tawa yang perlahan bertukar dengan teriakan menyakitkan.

Chelsea pingsan, Alfian membaringkan gadis itu di kasur dan langsung meninggalkan kamar Chelsea.

Pria itu berjalan memasuki ruangan Eyang.

Sang Eyang duduk di kursi kebanggaannya dengan tegap. "bagaimana Alfian?" Eyang membuka percakapan.

Alfian membungkuk memberi hormat dan menegakkan tubuhnya kembali.

"Saya sarankan agar Chelsea di rawat di Rumah Sakit saja." Ujar Alfian.

Eyang masih sibuk menulis sesuatu yang mungkin sangat penting. "seberapa buruk keadaannya?"

Alfian menggeleng. "Saya harus awasi dia dengan intens, saya tidak bisa memvonis hanya dengan melihat saja."

Eyang masih tersenyum. "jaga dia Alfian, saya tidak mau memasukkan dia ke Rumah Sakit." putus Eyang tuntas.

Alfian menunduk dan pergi dari ruangan Eyang, sedangkan Chelsea tertawa kecil dengan wajah yang kian membengkak akibat air mata terus jatuh.

***

Esok paginya, tamu tak diundang datang bersamaan anak remaja berseragam SMA, tak terkecuali ada Ikhsan yang turut hadir.

Eyang tersenyum menyambut tamu itu. "mari duduk."

Mereka duduk, memperkenalkan diri.

"apakah bisa kami melihat kondisi Chelsea pak?" Seorang guru dengan pakaian dinas rapi berbicara.

Eyang mengangguk mengizinkan, mereka semua masuk ke kamar Chelsea.

Gadis yang tadi terbaring, langsung duduk dan menatap guru beserta teman-teman SMA nya yang bahkan ia tidak kenal, terkecuali Ikhsan.

Ikhsan tersenyum tipis ke arah Chelsea.

Sang guru duduk di sebelah Chelsea. "kamu baik-baik saja kah?"

Chelsea tersenyum sinis. "Saya baik sampai kalian semua masuk ke kamar saya tanpa mengetuk pintu."

Guru dan teman sekelasnya terkejut mendengar ucapan Chelsea.

Pak guru tersenyum dan segera bangkit dari duduknya. "baiklah, maaf Chelsea kami mengganggu istirahatmu. Kami semua permisi, semoga kamu cepat sembuh dan bersekolah kembali."

Mereka semua keluar, kecuali Ikhsan. Pria itu tersenyum tipis. "Serius gak kenal aku sama kamu Chels." ujar Ikhsan dan pergi meninggalkan Chelsea.

Gadis itu kembali berbaring, menatap langit kamarnya dan mengangkat tangannya seolah berisyarat.

"selamat pagi Chelsea."

Chelsea menoleh mendapati Alfian baru saja masuk ke kamarnya. "tadi saya lihat teman sekolahmu menjenguk ya?"

Chelsea masih diam tak berniat menjawab ucapan Alfian. "kamu tidak bosan Chelsea?"

Gadis itu masih bermain bentuk dengan tangannya.

"hidup itu membosankan."

suara Chelsea menjadi sedikit berat dari sebelumnya. "dan cuma Ikhsan yang paham aku." kini suaranya kembali lagi.

Chelsea menurunkan tangannya dan menutup matanya perlahan. "Membayangkan banyaknya orang di tubuhku membuatku hampir gila." gadis itu membuka matanya perlahan.

Gadis itu bangkit dan duduk bersandar pada kasurnya, menatap Alfian yang masih memperhatikan Chelsea.

"pernah tidak mendengarkan banyak suara yang berbeda dengan suaramu di kepalamu sendiri? berdengung hebat." Chelsea berujar menatap Alfian serius.

Alfian menggeleng. "itu hanya halusinasimu." ucapan Alfian pada akhirnya.

Chelsea mendengus dan membuang mukanya. "siapa yang bisa percaya sama gue coba." ucap Chelsea. Logat gadis itu berubah lagi.

Alfian masih menerka-nerka. Bagaimana bisa Chelsea menjadi berubah-ubah dalam setiap menitnya?

Chelsea bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah meja rias.

ia mengelus rambutnya dan mulai mencaci penampilannya sendiri. "jelek banget sih."

Alfian masih memperhatikan sikap Chelsea. Sadar diperhatikan, Chelsea menatap Alfian kembali.

"dih ngapain Lo liatin gue?"

Alfian mengalihkan pandangannya. Mengapa Chelsea begitu bar-bar selama Adreena muncul.

Alfian mengambil kursi dan duduk tepat di samping Chelsea yang tengah sibuk memperhatikan wajahnya di cermin.

"Adreena, kamu ini arwah nyasar atau--"

"sembarangan Lo, masa gue dikatai arwah nyasar. Gue ini manusia." potong Chelsea.

Alfian semakin penasaran. Wajah Pria itu bertanya-tanya. "Tapi kamu bukan Chelsea."

Gadis itu menoleh dan menatap Alfian sinis. Chelsea bangkit dari duduknya dan menggebrak meja. "ya terus?"

Alfian masih menatap Chelsea yang dipenuhi amarah. Gadis itu mendekatkan wajahnya ke wajah Alfian.

"Semakin kamu berusaha, semakin aku menyulitkanmu."