Saat ini, Chelsea sedang duduk di dalam ruangan yang di sinari lampu dengan cahaya redup.
Di hadapannya, seorang detektif memperhatikan gadis itu. Chelsea, wajahnya tampak takut, ia berulang kali menggigit kuku jarinya seolah menyalurkan rasa takutnya.
"Apa yang terjadi sebelumnya Chelsea?" tanya detektif itu.
Chelsea melirik pria dengan seragam itu takut. "Apa Alfian mati?" Tanya Chelsea yang kesekian kalinya.
Pria ber-jaket hitam itu enggan menjawab. Masih menatap Chelsea dengan sorot mata tajam.
"Alfian mati?"
Lagi, Chelsea bertanya lagi.
Pria itu menghela nafas. "Kamu yang menikamnya, mengapa kamu bertanya pada saya?"
Chelsea menggeleng kuat. Ia menjambak rambutnya sendiri, masih menggeleng kuat.
Tiba-tiba seorang pria berjas putih masuk ke ruang introgasi dan membisikkan sesuatu kepada Pria itu tersebut.
Sang Pria mengangguk dan keluar dari ruangan itu.
Pria ber jas putih itu menghampiri Chelsea yang masih gemetaran tak karuan. Pria itu mengelus bahu Chelsea, dan menenangkannya.
"Mari, saya antar pulang." ujar Pria itu.
Chelsea perlahan bangkit dari duduknya dan mengikuti arah langkah pria itu yang menuju sebuah mobil sedan berwarna hitam.
Chelsea duduk di kursi belakang dengan kepala yang tersender ke kaca mobil.
Ingatannya kembali saat ia melihat darah di tangannya.
Gadis itu memejamkan matanya, mencoba mengingat kejadian sebelumnya.
"Istirahatlah dulu Nona, perjalanan kita akan panjang." ujar si Pria ber jas putih yang membawanya tadi.
Chelsea menegakkan kepalanya, melihat ke jalanan yang dilalui. Ini jalanan menuju rumah Eyang, lantas apa maksud pria itu? pikir Chelsea.
Si pria diam, begitupun sang supir yang menyetir di sampingnya.
Mobil sedan itu berhenti tepat di depan rumah Eyang. Chelsea turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah.
"Kamu pindah ke luar kota ya Chels, kota ini tidak aman untuk penerusku."
Chelsea hanya diam menunduk, tak berminat menjawab ucapan pria tua yang berstatus kakeknya itu.
***
Chelsea kini duduk di kasurnya, bingung atas keinginannya.
"Alfian mati, atau hidup?" ujarnya.
Chelsea menggeleng kuat. Ia tersenyum, namun ia juga menangis.
"Alfian harus hidup atau---" ucapan gadis itu berhenti sejenak. "mati." lanjutnya. ia tertawa, suaranya jelas-jelas terdengar jelas. Namun hatinya benar-benar sesak, ingin menangis namun tawanya semakin besar, dan kini tawanya terdengar menyeramkan, semacam campuran tangisan dan tawa yang menjadi satu.
***
Makan malam yang selalu Chelsea impikan. Duduk dengan keluarganya menyantap makanan di meja. Sayangnya, suasananya tak seperti yang ada di pikiran Chelsea.
Mencekam, mengerikan.
Suara dentingan sendok dan garpu berbunyi seirama. Chelsea memasukkan nasi ke mulutnya, mengunyah perlahan, menahan gejolak di perutnya yang sedari tadi mual tak beralasan.
Eyang melirik Chelsea, tahu ada yang aneh dari mimik wajah cucunya itu.
"Chelsea--" Suara Eyang melembut, membuat orang yang duduk di ruang makan menghentikan kegiatan makan mereka, sembari kini menoleh pada Eyang.
Chelsea menggantung alat makannya tepat di atas nasi dan lauknya. Menatap Eyang yang kini menatapnya juga.
"Masuk kamar." Ujar Eyang, masih melanjutkan kegiatan makanannya.
Chelsea dan seluruh keluarga yang ada di ruang makan masih menatap Eyang bingung.
Eyang melirik Chelsea yang masih diam di bangkunya. Pria tua itu menjatuhkan alat makannya dengan kasar sehingga terdengar suara nyaring dari piring yang beradu dengan sendok dan garpu.
Satu ruangan termasuk Chelsea kaget dengan suara tiba-tiba itu. Chelsea meletakkan garpu dan sendok makannya dengan perlahan dan bangkit dari duduknya.
Gadis itu melangkah menjauhi ruang makan dan naik ke lantai dua menuju kamarnya.
Chelsea menutup pintu kamarnya perlahan, gagang pintu yang ia genggam terasa dingin sekali.
Bukan! bukan karena ia takut, namun entah kenapa suasana di rumah itu membuat Chelsea kedinginan, gemetar.
Gadis itu duduk di balik pintu kamarnya, menyentuh dada bagian kirinya, di mana jantungnya terletak. Gadis itu menghirup oksigen dalam, seakan paru-parunya kekurangan oksigen.
Jantungnya berdetak semakin cepat, kepalanya pusing, perutnya mual, entahlah, Chelsea tidak tahu mengapa hal ini terjadi, ia bahkan tak dapat mendeskripsikannya.
Chelsea berdiri dari duduknya, dengan kaki gemetar, Ia berjalan menuju meja riasnya dengan kaca besar di sana.
Gadis itu menatap pantulan dirinya.
"Ahhh, kamu lemah sekali sih!" Gumamnya.
Chelsea, dadanya masih bergejolak dengan jantung yang berdetak tak karuan.
"Kamu sudah hampir membunuh Alfian, tapi kenapa kamu menjadi penakut seperti ini sih!" Ujarnya lagi.
Kini raut wajah Chelsea berubah, tampak dari sorot matanya yang menajam.
Mata gadis itu memutar sebal, jantungnya masih berdetak tak ber irama dengan keringat dingin masih membanjiri tubuhnya.
"Chelsea, sebaiknya aku saja yang menempati tempatmu, kamu terlalu lemah dan sudah terlalu banyak menghabiskan waktumu di tubuh ini." Gumamnya dengan senyum menyeringai.
***
Ya, di sinilah Chelsea sekarang, di gedung dengan nuansa warna putih dan biru beserta bau obat-obatan yang menyengat.
Chelsea tersenyum senang, dengan rambut yang dikuncir satu, Ia berjalan dengan sedikit melompat, mengarah ke arah dimana ruangan Alfian terletak.
Chelsea membuka pintu ruang inap Alfian, mengintip dari cela-cela pintu, melihat Alfian sedang mengupas apel merah dengan pisau.
Chelsea membuka pintunya perlahan, mencoba untuk tidak membuat Alfian sadar.
Namun, pintu yang baru dibuka setengah jalan itu membuat Alfian menoleh, pria itu menatap Chelsea yang kini tersenyum menatapnya.
"Hai Alfian!" Ujar gadis itu, menyapa dengan tangan terangkat mencoba bersikap ramah.
Gadis itu menghampiri Alfian di kasurnya, ia duduk di samping kasur Alfian dengan senyum merekah.
"Maaf soal kemarin Alfian, aku kelepasan." Ujar Chelsea dengan nada memelas.
Alfian memperhatikan Chelsea, tahu bahwa yang di depannya saat ini bukan Chelsea.
"Kamu siapa?" Tanya Alfian akhirnya.
Chelsea menegakkan kepalanya, memperhatikan Alfian lalu tersenyum.
"Aku Chelsea, kamu pikir aku siapa?" Jawab Chelsea. "Sepertinya aku menusuk perutmu, kenapa bisa amnesia?" Ujarnya lagi. "Apa kepalamu ikut terluka?" Lanjut Chelsea sembari berdiri, mencoba memeriksa kepala Alfian.
Alfian mundur, menghindari gerakan Chelsea, berjaga-jaga perihal tusukan yang masih belum pulih di perutnya.
Chelsea terperangah, lalu tersenyum melihat pria itu menghindarinya.
"Kamu takut?" Tanya Chelsea dengan seringai.
Alfian menggeleng, mengatur nafasnya yang tidak beraturan.
Chelsea memiringkan kepalanya, masih dengan seringai yang menghiasi wajahnya. "Aku tersinggung atas perlakuanmu, namun karena aku yang melukaimu, rasanya aku bisa memaafkanmu." Ujar Chelsea.
Alfian masih mengatur nafasnya. "Maaf Chelsea, aku tak bermaksud, namun lukaku belum pulih, aku tak ingin kejadian tak mengenakkan membuat lukaku terbuka lagi." Jelas Alfian.
Chelsea, masih dengan posisi serta raut yang sama memperhatikan Alfian. Pria itu, Alfian, nafasnya masih tak seirama. Sesak mulai menyerang paru-parunya. Tatapan Chelsea membuatnya kehilangan oksigen, seakan membunuhnya perlahan dari dalam. Chelsea memperhatikan perubahan mimik Alfian yang sangat tidak baik. Gadis itu tersenyum. "Sepertinya aku harus pergi, agar kamu bisa beristirahat." Ujar Chelsea. "Get well soon Alfian."