Ucapan yang sekali lagi membuat Alfian terdiam. Entah apa maksud dari omongan Chelsea yang bahkan Alfian tidak mengerti. Namun, ucapan itu benar-benar mengguncang pikiran Alfian.
Chelsea melepaskan segala ikatan yang tersisa di pergelangan tangan dan kakinya. Setelah melepas semua ikatan, mata gadis itu kembali melirik Alfian.
"Keluarlah, aku harus mandi." Ujar Chelsea dan berlalu begitu saja meninggalkan Alfian memasuki kamar mandi.
Alfian masih bergeming, mencoba mencerna ucapan Chelsea sebelumnya sampai akhirnya, dirinya disadarkan oleh suara air shower yang membuatnya langsung gelagapan dan keluar.
***
Selesai mandi, Chelsea menatap dirinya di hadapan cermin besar. Tubuhnya seperti tak bernyawa. Wajah pucat, tubuh kurus, dengan lebam dan kantung mata yang mengerikan.
Chelsea terduduk di kasurnya, masih menatap pantulan cermin di hadapannya.
Tak berapa lama, ketukan pintu kamar membuatnya tersadar. Ia menatap pintu kamar, masih enggan bangkit untuk membuka pintu tersebut.
Pintu itu terbuka setelah berapa lama belum ada sambutan dari dalam. Terbukanya pintu kamar Chelsea, memperlihatkan Alfian yang masuk perlahan dengan gerakan mata seakan meminta izin pada si penghuni kamar.
Chelsea menghela nafas dan membuang mukanya, enggan melihat Alfian.
Alfian, pria itu mengambil tempat duduk di dekat meja rias sembari masih menatap Chelsea.
"Kuat Chelsea, lawan dirimu!" ujar Alfian.
Chelsea terkekeh. "Kuat itu apasih Alfian?"
Alfian diam beberapa saat. Menunduk, mencari kalimat tepat untuk menyampaikan pertanyaan Chelsea.
"Kuat itu kata yang harusnya kamu tanamkan di dirimu. Takkan goyah, kokoh semacam pohon dengan harapan yang tak putus."
Chelsea menatap Alfian lama. "Kuat itu seperti kiasan ya. Kalau kuat adalah alasan aku berdiri, mengapa lemah bukan menjadi alasan aku terjatuh?" Chelsea menatap pantulan dirinya di cermin. "Ringkih... Tubuhku sudah tidak kuat lagi, sudah lemah. Gimana? aku harus terjatuh?" lanjut Chelsea.
Alfian menggeleng. "Jangan Chels, kamu harus kuat. Jangan goyah atau kepribadian lain bisa muncul." Ujar Alfian.
Chelsea tertawa. "Apakah lemah itu salahku? apakah kuat itu kelebihanku yang kini menjadi alasan aku berdiri kokoh semacam "pohon" di sana?"
Chelsea bangkit dari duduknya dan duduk tepat berhadapan dengan Alfian. "Kamu gak bisa jadi seorang psikolog, turun gih! Lagian aku gak butuh seorang psikolog." ujar Chelsea.
Alfian memperhatikan pergerakan Chelsea. "Kepribadian di dalammu harus dileburkan Chelsea, atau kondisimu akan semakin parah."
"Aku tidak punya kepribadian ganda, aku sudah usaha menyingkirkanmu karena kupikir kamu begitu pintar." ujar Chelsea yang kini berdiri tepat di balkon dengan Alfian yang mengikutinya. "Namun, aku salah. kamu tak sepintar itu ternyata." Lanjut Chelsea sambil menoleh ke arah Alfian sembari tersenyum.
Alfian berjalan menghampiri Chelsea dan berhenti tepat di samping gadis itu. "Selama ini kamu permainkan kami semua?" ujar Alfian, entahlah. Alfian serasa dibodohi oleh pasiennya sendiri dan ia merasa sangat malu saat ini.
"Aku berani bersikap seenaknya saat aku menjadi kepribadian-kepribadian itu. Aku punya rencana besar di ujung sana, dan aku tidak ingin kamu ikut campur." Ujar Chelsea, menoleh dan menatap Alfian yang masih terdiam menatap raut wajah Chelsea. Mencari celah atas ucapan yang barusan dilontarkan gadis itu, dan Chelsea masih enggan melepaskan manik mata yang kini ikut menatap matanya sendiri.
"Pergilah, aku tak ingin kamu terlibat." ujar Chelsea dengan senyum yang menghias di wajahnya sebelum pergi meninggalkan Alfian.
Alfian terdiam, sekaligus tertampar atas apa yang diucapkan oleh Chelsea. "Apa yang kamu rencanakan?"
Chelsea tertawa. "Kamu pikir aku sebodoh itu? Membocorkan rencana yang sudah aku susun sejak lama?" Ujar Chelsea. "Belajarlah lagi agar bisa menjadi psikolog yang baik, agar kamu tidak salah diagnosa lagi." lanjutnya.
Chelsea keluar dari kamar meninggalkan Alfian yang benar-benar tertampar atas ucapan Chelsea.
***
Chelsea berjalan meninggalkan Alfian dan entah apa yang terjadi, kakinya melangkah ke taman belakang rumah Eyang.
"Jika sudah pasrah, pasrahlah. Untuk apa terus kau tahan?"
Bisikan yang pelan, namun terdengar jelas. Chelsea menghiraukan bisikan itu, ia memilih duduk di bangku yang disediakan. Memanjakan tubuhnya sementara.
"HAH!"
Chelsea terbangun dari tidurnya, nafasnya naik turun, ia benar-benar terkejut. Gadis itu mencoba menormalkan pernapasannya sembari melirik ke sekelilingnya, mencari suara yang baru saja berteriak di telinganya.
Chelsea berdiri, nafasnya masih memburu. Ia kembali melihat sekeliling, ingin memastikan sekali lagi bahwa ia tak salah dengar.
"Chelsea!"
Nafas gadis itu kembali memburu hingga tubuhnya jatuh ke tanah. Alfian berlari, mencoba membantu gadis itu untuk berdiri.
Chelsea menatap tubuh Alfian yang kini sibuk membantunya berdiri. Ia menarik nafas dalam dan membuangnya perlahan.
"Apa?" ketus Chelsea.
Alfian duduk di samping Chelsea, menunduk menandakan bahwa ia kini malu berhadapan dengan gadis itu.
"Aku akan bersekolah lagi, mengulang pelajaran--"
"Ya ya ya! Pergilah! Aku tak ingin menahanmu!" Potong Chelsea saat Alfian bahkan belum menuntaskan ucapannya.
Chelsea bangkit dari duduknya, dan pergi begitu saja meninggalkan Alfian tanpa pamit.
Dan tiba-tiba dari dalam rumah, suara jeritan terdengar melengking membuat Alfian yang tadinya duduk langsung berlari menghampiri suara tersebut.
Di sana, di ujung tangga terlihat seseorang sedang berdiri, dan satu orangnya tergeletak dengan darah.
Tanpa melihat rupanya, Alfian jelas tahu yang berdiri adalah Chelsea.
Gadis itu menoleh menatap Alfian dengan senyum meringis. "Dia jatuh." ujarnya.
Alfian benar-benar lemas, ia tak kuat menghadapi masalah ini.
Chelsea membalikkan badannya dan berjalan menghampiri Alfian.
Pria itu mundur seiring langkah Chelsea. Takut sesuatu akan terjadi.
"Jika kau mati hari ini, itu bukan salahku." Ujar Chelsea sembari tertawa kecil.
Alfian masih berjalan mundur dan tanpa sadar kakinya sudah lemas tak berdaya. Enggan bergerak menjauhi Chelsea. Gadis itu tersenyum sembari melirik kaki Alfian yang kini tak bergerak lagi.
Alfian jatuh terduduk di tempatnya, kakinya seperti tak berfungsi.
Chelsea mengangkat pisau kecilnya, menusuk punggung Alfian membuat pria itu meringis menahan teriakan yang mungkin akan muncul dari mulutnya.
"Ayo berteriaklah!" Ujar Chelsea.
Alfian masih menahan teriakannya, namun Chelsea masih tak ingin menyerah. Gadis itu mencabut pisau dari punggung Alfian, memindahkannya ke leher pria itu.
Alfian menjerit, menjerit dengan kuat seakan tak ingin lagi menahan sakit. Tak berapa lama, pria itu tergeletak dengan pisau yg masih menancap.
Chelsea, gadis itu mundur. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya dan berlari meninggalkan tubuh Alfian yang sudah tergeletak dengan darah dimana-mana.
Gadis itu memasuki kamarnya, jantungnya bekerja dua kali lebih cepat. Ia menyentuh dadanya, tepat dimana jantungnya berdetak.
Ia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Senang atau takut?
"AAAAAAAAAAAAAAA-----"
Teriakan dari lantai satu mengagetkan gadis itu. Ia membulatkan matanya dengan senyum menyeramkan.