suara itu terdengar oleh chelsea. ia terdiam, mencoba mendengarkan lebih jelas. sepertinya ada yang masuk ke kamarnya. setelah berpakaian lengkap di kamar mandi, chelsea membuka pintu kamar mandi perlahan, ia mengintip dari sela-sela pintu. tak ada siapapun di dalam kamar yang ia tempati.
Setelah kejadian yang sedikit menakutkan di kamar tadi, gadis itu keluar dan duduk di sofa bersama Eyang yang tersenyum dengannya. Chelsea hanya diam dan menatap ayahnya yang kini menatapnya juga.
"aku ingin ke tempat Mama." Gadis itu berkata dengan wajah datar. Reno, sang papa menghembuskan nafas kesal sambil melihat Eyang, namun Eyang masih dengan wajah tersenyumnya menonton televisi di hadapannya.
Chelsea menguatkan dirinya, mencoba mengulang ucapannya dengan keberanian yang sudah semakin menipis karena melihat wajah tenang Eyang. "aku mau ketemu Mama." Ucapnya lagi bersamaan dengan pecahnya kaca televisi karena dilemparkan remote.
Chelsea menutup matanya, bersiap menerima kemarahan Eyang. "nanti di pengadilan kamu bias bertemu Mamamu Chels." Ucap Eyang dan beranjak pergi dari tempatnya.
Gadis itu menatap punggung sang Eyang. Kakeknya itu tampak tenang, namun bisa meledak sesaat tanpa ia ketahui dan kiini televisi menjadi korbannya. Reno tampak tak ingin berbicara banyak pagi ini, pria yang berstatus sebagai ayahnya itu meninggalkan Chelsea di tempat yang sama.
Kaki Chelsea melemah, ia terduduk di lantai sembari memegang dada bagian sebelah kiri tempat jantungnya berada dan mengambil nafas dalam-dalam. Ia merasakan dadanya bergerumuh, jantungnya berkerja dua kali lipat dari detak normalnya dan sekarang mual menyerangnya.
Perutnya sangat tidak baik saat ini dikarenakan jantung yang bekerja lebih ekstrem dari biasanya. Chelsea mulai menenangkan dirinya, mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Tanpa sadar, air mata Chelsea jatuh dan menyisakan jejak walau sudah dihapus.
Saat ini, Eyang, Reno, dan Chelsea berada di halaman pengadilan agama. Chelsea tampak mencari keberadaan ibunya sedangkan Eyang dan Papanya sudah memasuki pengadilan agama itu. Chelsea menemukan ibunya bersama seorang pengacara, gadis itu menghampiri ibunya.
Evelin tampak tak memerdulikan Chelsea walau wanita itu tahu bahwa Chelsea sang anak menghampirinya. "Ma, hina banget aku ya sampe Mama gak mau lihat aku?" ucap Chelsea akhirnya karena tak mendapat tanggapan dari Ibunya sedari tadi.
"apa lagi Chelsea? Kamu milik Papamu sekarang, hidupmu akan terjamin bersama keluarga kaya itu, jangan pernah ingat aku Chelsea." Ucap sang Mama tanpa melihat kea rah Chelsea dan pergi meninggalkan gadis itu.
Gadis itu menunduk, memang benar bahwa Evelin tak menyayanginya, ia hanya alat pewaris di keluarganya. Chelsea berjalan menyusuri jalan, ia engan dating ke pengadilan perceraian orang tuanya. Ia ingin tak peduli, gadis itu berjalan sembari menatap jalanan yang ia pijaki.
Mengapa tuhan begitu tak adil dengan hidupnya?
Apakah ia memang tak pernah ditakdirkan bahagia?
Tinnn!
Klakson mobil menyadarkan Chelsea membuat ia langsung meminggir, dan melihat Ikhsan si pengendara mobil itu sambil tersenyum, senyum khas yang hanya dimiliki oleh Ikhsan seorang.
"sendirian? Yuk bareng yuk!" ajak pria itu, Chelsea tak menanggapinya, gadis itu masuk dan diam menatap jalanan yang ia lewati.
"mau kemana mbak?" Tanya ikhsan membuka percakapan dengan nada bicara guyonan yang biasa ia lontarkan dengan Chelsea.
Chelsea tak menjawab, pandangan gadi itu kosong. Ia masih menguang ucapan Evelin di pikirannya, apa begitu tak berharganya Chelsea di mata ibunya itu hingga ia tak boleh menganggap ibu kandungnya sendiri sebagai ibu?
Mobil berhenti membuat Chelsea tersadar dan melihat sekitarnya. Ikhsan menatap Chelsea menunggu reaksi gadis itu, sadar akan ditatap Chelsea melirik Ikhsan sinis.
"kalau kamu berani apa-apain aku, kamu akan menyesal seumur hidup." Ancam Chelsea dengan nada suara tenang.
Ikhsan mendengus, kenapa ia malah dituduh mesum sih? Pria itu keluar dari mobil dan duduk di pasir pantai, sengaja duduk kepinggir agar ombak mengenai ujung-ujung kakinya.
Chelsea ikut turun dan berdiri di belakang Ikhsan, ia menatap cakrawala yang seperti bersatu dengan pantai di hadapannya, tanpa batas, tanpa ujung.
"kenapa setiap pergi bersamamu, aku selalu di ajak ke tempat aneh?" cetus Chelsea sembari duduk di samping Ikhsan.
Ikhsan menoleh dan tertawa. "aneh? Kamu anggap pantai dan rumahku aneh?"
"rumahku tak seramai rumahmu, karena itu aneh, dan aku belum pernah ke pantai." Jawab Chelsea.
Ikhsan terdiam meghentikan tawanya. "serius? Tak pernah ke pantai?" ikhsan memastikan dengan bertanya ulang.
Chelsea mengangguk, masih menatap kedepan, mencari ujung dan batasan cakrawala.
Ikhsan ikut menatap hadapannya. "menurut kamu, pantai itu ujunnya ada di mana?" Tanya ikhsan memecah keheningan. Chelsea tetap diam tanpa berminat menjawab pertanyaan Ikhsan. "bagaimana dengan langit, di mana ujungnya?" Tanya Ikhsan lagi.
"di ujung sana, apakah pantai dan cakrawala bersatu?" Tanya Chelsea dengan tangan menunjuk ke depan.
Ikhsan mengikuti arah telunjuk Chelsea mengarah. "cakrawala dan pantai tak pernah bersatu." Jawab Ikhsan. "kalau kamu lihat dari sini, mereka seperti terhubung, namun sebenarnya mereka tak pernah terhubung" lanjutnya. "tahu kenapa saat kita lihat dari sini, mereka seperti tampak terhubung?"
Chelsea menggeleng tanpa berminat membuka suara. "itu menandakan bahwa cakrawala dan pantai tak mempunyai ujung atau batasan." Ikhsan berkata sambil berdiri dan berjalan mendekati ombak pantai yang akan tiba di tepi pantai. "sama seperti mimpi, kita tak punya batas untuk bermimpi Chels." Lanjutnya. "menurutmu, mana yang lebih baik? Bermimpi tanpa berkerja keras atau berkerja keras tanpa bermimpi?"
Chelsea masih diam, ia masih enggan menjawab. Ikhsan masih berdiri menatap pantai di hadapannya. "tak ada yang lebih baik, kau harus berkerja keras dan tetaplah bermimpi setinggi langit, karena langit tak punya batasan. Menjalani dan menikmati adalah bagian dari hidup yang harus kamu lakukan." ujar Ikhsan.
"tak ada yang lebih baik, kau harus berkerja keras dan tetaplah bermimpi setinggi langit, karena langit tak punya batasan. Menjalani dan menikmati adalah bagian dari hidup yang harus kamu lakukan."
Chelsea menoleh ke arah Ikhsan. "apa gunanya? Hidup Cuma sekali, untuk apa menikmati? Kita gak pernah tahu kapan kita akan mati San, kita gak pernah tahu kesialan apa yang akan terjadi esok, apa gunanya menikmati? Kita hanya harus menjalani, terima atau tidak itu jadi urusan terbelakang. Apa kita harus menikmati kesialan kita? Atau musibah kita?" Ucap Chelsea.
Ikhsan menggeleng tak mengerti dengan pemikiran gadis di sampingnya ini. "menikmati, menjalani dan menerima. Kita mendapatkan musibah, kita harus terima dan harus menjalani dengan mencari jalan keluarnya." Jawab Pria bertubuh tinggi itu, ia menjulurkan telapak tangannya menghadap atas, dan menggenggamnya tepat di penampakan matahari. "lihat! Terlihat dekat sekali mentari itu, namun saat kucoba genggam, aku tak mendapatkannya dan mataku sangat sakit. Musibah, kesialan, itu datangnya dari kita sendiri Chelsea, kita harus menerima, menikmati dan menjalani." Lanjut Ikhsan.
Chelsea melihat penampakan matahari dari tempatnya, cahayanya menyilaukan, gadis itu menghalangi cahaya matahari agar tidak mengenai matanya lngsung dengan tangan. "hidup Cuma sekali, saat kamu mati, kamu tidak akan dapat kembali hidup di dunia lagi, maka bersyukurlah atas yang telah tuhan berikan kepadamu, terima dengan ikhlas dan nikmati dengan senyuman." Ujar Ikhsan lagi sambil menatap Chelsea yang kini menatap Ikhsan juga, tangannya masih di atas kepala menutupi sinar mentari yang kian terasa panas.
Cuaca tiba-tiba mendung, entah kemana cahaya matahari yang tadi menyilaukan, Chelsea menatap ke atas langit. "tuhan lebih berkuasa dari yang kamu pikirkan Chels." Ucap Ikhsan sambil mengulurkan telapak tangan ke Chelsea. Gadis itu menerima uluran tangan Ikhsan dan berdiri dari duduknya.
"aku menyukaimu San." Ucapan Chelsea membuat Ikhsan menampakkan raut wajah kaget.