Tertera nama Evelin di layar ponselnya, Chelsea cukup kaget dengan itu. Seumur hidup, sepertinya baru ini ibunya menghubunginya.
Chelsea mengangkat sambungan telepon itu.
"hebat kamu ya gak pulang-pulang." Sindir Mama Chelsea, siapa lagi jika bukan wanita karir itu.
Chelsea terkekeh kecil. "udah sadar kalau aku anak Mama?" sinis Chelsea.
Evelin tertawa mengejek. "wahhh hebat kamu sekarang ya berani lawan Mama! Ke kantor Mama kamu sekarang! Ada hal penting!"
Sambungan telpon terputus. Chelsea melihat jam di pergelangan tangannya sekali lagi. Pukul 4.30 wib, ada apa Mamanya memintanya ke kantor sepagi ini.
Chelsea bangkit dari duduknya dan kembali ke kamar yang ia tempati. Mandi, beres-beres dan pamit. Itu rencananya saat ini. Ia keluar dari kamarnya, dan melihat Zeneta sedang membereskan sofa beserta anak-anak yang sudah antri kamar mandi sepagi ini.
Chelsea menghampiri Zeneta, dan mengambil tangan Zeneta untuk ia cium. Zeneta yang kaget hanya bisa membiarkan gadis ini mencium tangannya lama.
"kamu mau kemana Chels? Masih pagi loh." Ucap Zeneta melihat Chelsea membawa tasnya.
"aku di panggil Mama, Bun." Jawabnya.
Zeneta mengangguk paham. "Ikhsan, anter Chelsea nak." Suruh Zeneta pada Ikhsan yang kini duduk di lantai yang dilapisi karpet.
Ikhsan mengangguk sembari bangkit dari duduknya.
Kini Chelsea menunggu Ikhsan yang sedang mencuci muka di teras rumah. Ia melihat layar ponselnya dan mengingat saat Papanya menghinanya di depan Ikhsan.
Ponselnya kembali berbunyi, tertera nama Rino di layar ponselnya. Chelsea mengangkat ponselnya.
"pulang kamu anak gak berguna! Buat semua orang kerepotan saja!"
***
Pukul 6.00, Chelsea sudah sampai di kntor Mamanya. Ia kini menunggu mamanya menyelesaikan rapat yang sedang berjalan.
Tak lama pintu ruangan ibunya terbuka, muncul Evelin dengan wajah kusut masuk dan duduk di bangku kebanggaannya dengan namanya yang terpampang di meja itu.
Evelin Rega Adreena
Chelsea masih menunggu Evelin untuk membuka suara.
Masih sibuk dengan ponselnya sembari sesekali melirik Evelin yang masih menandatangani beberapa berkas.
"dari mana saja kamu semalaman gak pulang?" tanya Evelin tanpa melirik ke arah Chelsea.
Chelsea mengalihkan pandangannya. "tempat temen." Ujarnya singkat.
Evelin menghela nafas dan menghampiri putrinya yang tengah duduk di sofa ruangannya.
"Mama dan Papa akan berpisah." Ucap Evelin membuat Chelsea berhentii memainkan ponselnya. Gadis itu masih menunduk dengan air mata yang kini tergenang di pelupuk matanya.
Chelsea tertawa hambar. "terserah kalian ingin melakukan apa. Tapi—tapi---" ucapan Chelsea tersendat dengan air mata yang sudah tak dapat di tahan lagi. "tapi apa bisa kalian tidak menyakiti mentalku sehari saja!" tangis Chelsea pecah dengan wajah yang kini menatap wanita di hadapannya dengan tatapan terluka. "apa bisa kalian peduli aku untuk kali ini saja?" nada bicara Chelsea turun rendah.
Ia menutup wajahnya dengan air mata mengalir. "aku selama ini diam, karena aku paham kalian orang sibuk, tapi apa pernah kalian khawatirkan aku?" tanya Chelsea lagi, perasaannya benar-benar hancur. "kalau tak ingin mempunyaiku sebagai putri kalian." Chelsea menatap Ibunya dengan tatapan marah. "KENAPA TIDAK KAU BUNUH SAJA AKU DARI DULU EVELIN!"
"CUKUP CHELSEA! CUKUP!" Evelin ikut berteriak. "kau kelewatan Chelsea, kau sudah melewati batasanmu!" lanjutnya.
Chelsea masih menangis. "setuju atau tidaknya kau, perceraian akan tetap di laksanakan!" tegas Evelin. "pulang dan bicara lah pada Papamu untuk mengurus hak asuhmu." Lanjut Evelin.
Chelsea menghentikan tangisnya. "dengan siapa aku akan tinggal?" tanya Chelsea.
"papamu." Jawaban Evelin membuat Chelsea semakin yakin bahwa Evelin benar-benar tak pernah menyukainya.
Chelsea mengambil barangnya dan pergi keluar dari kantor Evelin.
"biar saya anter mbak." Ucap seorang paruh baya saat Chelsea baru saja keluar dari kantor milik Evelin. Chelsea tahu siapa bapak ini, ia supir kantor Evelin.
Chelsea berhenti berjalan dan menatap pria paruh baya itu. Ia menggeleng, namun mata dari pria di hadapannya menatap ke arah belakang Chelsea.
Chelsea menoleh ke belakang dan mendapati Evelin menatapnya. Chelsea mendengus kesal dan mulai mengikuti jalan si pria paruh baya itu memasuki mobil.
Di dalam mobil, masih dengan air mata mengalir ia menyumpal telinganya dengan earphone miliknya yang bersenandung lagu My Way milik Frank Sinatra.
"sudah sampai mbak." Ucap sang supir.
Chelsea membuka matanya dan menatap sekelilingnya, ini rumah milik keluarga Ayahnya, ia menghela nafas. Ia sudah tahu ia akan di bawa ke sini, namun mengapa dadanya sesak saat tahu ia di bawa ke rumah ini?
Chelsea turun dan masuk ke dalam rumah milik keluarga Reno yang tak lain adalah Papanya. Chelsea melihat ada Eyangnya, Aunty Ayu, dan saudara Papanya lagi.
Chelsea pun menyalami mereka semua dan duduk di sofa paling sudut.
Eyang melirik Chelsea, wajah pria tua itu masih terlihat gagah walaupun umurnya sudah memasuki kepala tujuh. "chelsea, duduk sini dekat Eyang sayang." Ucap Eyang.
Chelsea menurut, ia duduk di samping Eyangnya.
Eyang mengelus kepala Chelsea dengan lembut, Chelsea menunduk takut apa yang akan dibicarakan Papanya. "kamu sudah besar nak, sebentar lagi kamu juga akan mewarisi perusahaan Eyang ." Ucap Eyang.
Reno, papa Chelsea membulatkan matanya sempurna. "maksud Papa gimana?"
Eyang mengangguk dengan senyum menghiasi wajahnya. "perusahaanku akan di wariskan pada Chelsea saat umur cucuku ini mencapai 17 tahun." Ucap eyang.
Chelsea menoleh menatap eyangnya. Ia benar-benar kaget dengan pernyataan Kakeknya ini.
Mereka semua mulai berbincang masalah hak waris dan lain sebagainya, sedangkan Chelsea hanya diam dan menunduk tanpa berniat mendengar pembicaraan keluarga ayahnya ini.
Saat semuanya pulang, Papa Chelsea menghampiri gadis itu. "bersyukurlah karena aku akan mengurus hak asuhmu, kalau bukan karena aku mungkin kau sudah menggelandang bersama ibumu." Ucap Reno.
Chelsea masih diam tak ingin menatap Papanya. "Ibumu akan mengundurkan diri dari direktur utama dan akan menjadi gelandangan di jalanan." Lanjut Reno. "keluargaku kaya raya Chelsea, kamu tidak akan pernah menyesal hidup bersamaku." Ujar Reno dan pergi meninggalkan Chelsea dengan wajah merah padam menahan amarah.
Malam ini, seluruh keluarga menginap di rumah Eyang dan Chelsea menempati ruangan istimewa. Di dalam kamar terdapat tempat belajar, kulkas, tv, sofa, balkon dan karpet berbulu. Chelsea mengamati ruangannya, ia menidurkan tubuhnya di kasur tanpa menyalakan AC. Tempat tidurnya benar-benar dingin padahal ia belum menyalakan pendingin ruangan.
Chelsea naik dan merebahkan tubuhnya, ia perlu istirahat, hati dan pikirannya perlu space untuk bersantai.
Namun menit berlalu namun rasanya pikirannya masih tertuju pada kedua orang tuanya. ketukan di pintu membuat Chelsea menoleh, ia bangkit dari kasurnya dan membuka pintu kamar. Seorang Asisten Rumah Tangga tersenyum dan memberikan makan siang. Chelsea mengambil makanannya dan sebuah surat terselip di bawah air minumnya.
Chelsea buru-buru masuk dan membuka potongan kertas yang diselipkan di bawah air minumnya.
"ini nomor ponselku, maaf ya aku mengikutimu dan memberikan ini pada asisten rumah tangga, hubungi aku Chelsea, aku ingin tahu kabarmu." Tulisan di surat itu membuat pikiran Chelsea langsung mengarah pada Ikhsan.