Ivy itu adalah keluarga dengan nama yang harum.
Indah. Anggun. Dikenal.
Tapi semua orang mengakui bahwa nama keluarga itu nama yang begitu sunyi.
Begitu sunyi sampai-sampai tidak ada yang menyadari sebesar dan sehebat apa seorang keturunan dengan nama Ivy.
Berbeda dengan nama keluarga Henson, Hilton atau keluarga lainnya, Ivy adalah keluarga old money. Ivy adalah pemeran sebenarnya dibalik sekian banyak proyek pembangunan kota yang telah berjalan maupun telah sukses. Antara menjadi perusahaan utama yang mengadakan atau menjadi donatur terbesar dalam sebuah proyek.
Keluarga Ivy juga membuka banyak rumah dukungan atau pun yayasan untuk membantu yang kekurangan. Penggalangan dana serta kegiatan amal berjalan terus menerus dan didistribusikan ke berbagai jenis donasi yang tersedia.
Selain penggalangan dana dan bantuan pada kota, Ivy juga memeligara hubungan dengan kalangannua sendiri dengan rutin. Hal seperti ini mudah untuk Keluarga Ivy. Mereka hanya perlu menentukan tempat, waktu dan tema lalu semua orang yang mereka undang akan datang tanpa perlu bertanya dua kali.
Semua orang menyukai nama Ivy. Semua orang manyayangi nama Ivy.
Semua orang percaya nama Ivy adalah nama yang indah. Semua orang percaya keluarga Ivy tidak akan pernah mengecewakan mereka dengan pesta dan jumlah donasinya.
Hanya saja ada satu hal yang satu hal yang selalu disadari dan disayangkan dari Keluar Ivy. Hal itu sederhana. Tapi untuk masyarakat rasanya kenyataan itu adalah kutukan. Selama Ivy debut sebagai kalangan atas, nama keluarga Ivy tidak pernah tersemat pada seorang anak laki-laki.
Seperti sebuah kutukan dari masa lampau rasanya. Tapi keluarga Ivy selalu dikaruniai oleh anak perempuan mau berapa kalipun kelahiran dicoba. Hal itu terjadi selama tiga, empat ratus tahun dan pada dasarnya tidak ada yang berani bertanya mengapa hal bagai kutukan itu bisa terjadi dan kapan tragedi itu dapat patah.
Kesulitan ini sebenarnya telah selesai dengan memberikan tugas untuk meneruskan nama Ivy kepada keturunan perempuan. Tapi tentu saja semua orang membicarakannya.
Banyak spekulasi yang teredam hadir. Sebuah kutukan sebagai pengorbanan dari kekayaan yang mereka miliki, katanya. Sebuah siksaan karena pernah melanggar kontrak dengan setan, katanya. Sebuah kiriman dari saingan yang cemburu, katanya.
Bagai spiral yang terasa seperti maut untuk nama Ivy yang bersinar, ibu dari Agatha pun merasakannya kala ia mengandung lalu melahirkan Agatha. Tekanan itu jadi spiral yang membawakan maut ke hidangan pembuka wanita itu. Lalu kematiannya jadi spiral yang lebih besar lagi untuk suaminya. Si pria yang membawa nama asing ke keluarga Ivy dan mewariskan seluruh harta yang dimiliki nama Ivy selama tiga ratus, empat ratus tahun nama itu hadir.
Agatha yang menjadi penerus selanjutnya pun memegang beban yang sama dengan ibunya dulu. Gadis itu dididik dengan baik oleh bibi dari ayahnya, tentang arti dari nama Ivy itu.
Tapi Agatha mengambil lebih banyak kemampuan ayahnya ketimbang kelemahan ibunya. Gadis itu berpikiran keras dan tak rapuh. Ia memang tidak selalu berpikir optimis, tapi ia berusaha untuk jatuh cinta pada gelombang hidupnya yang jauh lebih aneh dari anak gadis lainnya.
Tentu itu termasuk dengan pertemuannya pada masalah. Ia tahu sebenarnya ia bisa menyelesaikan semua masalahnya di kota itu hanya dengan menyebut nama Ivy. Tapi ia rasa itu sama saja dengan menggunakan kartu final pada orang-orang yang tidak akan hadir sampai akhir pertandingan. Ini rasanya mirip seperti bermain dengan api. Tapi Agatha diam-diam suka pada api. Dan bara. Dan asap.
Di kehidupannya yang dingin dan tak ada pergolakan, Agatha akhirnya menghadirkan masalah dan peperangannya sendiri. Ya, itu mudah untuk kita akui. Ia melilit dirinya sendiri pada leher, lengan, dan tubuh Lucas, pentolan SMA-nya yang membosankan itu. Meski pertemuan mereka tak lagi bisa diingat jelas oleh siapapun termasuk Agatha sendiri.
Dan itu sepenuhnya kesalahan Agatha. Kebiasaannya dengan membawa api kedalam hidupnya. Entah sebenarnya itu membuatnya akhirnya bisa bertemu dengan Isaac atau membuat Lucas yang penuh muslihat jadi sangat jujur dan bersimpuh pada kakinya.
Tetap saja kebiasaan itu membuat Agatha kesulitan sendiri.
Tapi setelah tahu semua kenyataan itu pelan-pelan pun Miracle tetap tidak menyangka Agatha akan mengatasinya sendiri sehebat ini. Gadis pendiam yang begitu misterius itu nyatanya adalah gadis paling liar dan paling merasakan hidup.
Semua itu tertulis di jurnal Agatha. Gadis itu punya semua catatan kecil berupa pengeluaran dan situasi masalahnya.
Jurnal itu judulnya Catatan Kriminal. Dan Miracle tidak bisa terpikirkan judul lain selain itu setelah membaca seperempat isi jurnal yang sudah penuh itu.
Semuanya bermula ketika Agatha masih berumur tiga belas dan duduk di bangku kelas akselerasi SMP-nya. Ia bosan dengan rutinitas hidup di strata sosial yang ia miliki itu. Harapan dan keinginannya mudah didapatkan, ayahnya tidak pernah berkata tidak untuknya yang menjadi garis keturunan utama keluarga Ivy, dan rasanya semuanya perlahan menjadi sangat hambar.
Lalu idenya untuk mengumpulkan enam ratus enam puluh enam dosa sebelum ia mati muncul. Enam ratus enam puluh enam dosa gila dari seorang gadis yang nama indahnya abadi tapi tubuhnya telah mati seratus kali dalam tidurnya. Itu adalah deskripsi dari jurnal itu.
Agatha melakukan semua masalah dan dosa yang Miracle tahu sampai tidak tahu. Ia mencoba semuanya setidaknya satu kali. Dari yang kecil sampai besar. Gadis berumur delapan belas mau sembilan belas itu telah melakukan empat ratus tujuh belas dosa.
Dan sebuah dosa gadis itu lakukan berpuluh bahkan beratus-ratus kali. Dosa dengan nama Lucas membingkai dua puluh halaman jurnal itu. Dan semua dosa itu kelihatan ditulis dengan kondisi frustasi dari banyak coretan. Dosa-dosa itu ditulis miring dan kelihatan ditulis dengan cepat agar yang menulisnya bisa dengan cepat menutup buku terkutuk itu lalu melanjutkan hidupnya.
Di halaman-halaman terakhir Agatha menuliskan masalah yang muncul setelah dosanya memudar. Kesakitan jiwanya. Pikirannya yang semakin berantakan. Keinginannya untuk meledak. Keinginannya untuk menghancurkan semua orang.
Entah dosa mana yang dibenci Miracle. Atau kenyataan mana yang membuat Miracle marah.
Tapi hal yang paling Miracle benci adalah Miracle menyadari semua kebiasaan dan kesengsaraan itu dari Lucas. Karena buku itu berada di tangan Lucas.
"Agatha meninggalkannya di rumahku sebelumnya. Ia pernah mencari-carinya tapi aku tidak pernah mengaku aku menyimpannya selama ini.
Aku harus tahu apa yang membuatnya jadi separah ini."
Dahi Miracle berkerut. "Kamu." Katanya. "Kamu yang membuatnya separah ini."
Lucas mendelik kearah Miracle lalu berdecak. "Apa maksudmu?"
"Agatha mengantarmu ke klinik kan? Klinik jiwa atau psikolog atau apalah itu kau sebut. Agatha terpengaruh dari sakit jiwamu itu."
Lucas mengenyit. "Dia memulai jurnal ini bertahun-tahun sebelum dia mengenalku..-"
"Ya. Agatha mungkin memulainya sebelum mengenal kamu. Tapi kehadiranmu memperparah apapun yang ia rasakan. Aku tahu apa perbuatanmu. Dosa terbesarmu adalah menodai Agatha... dan membiarkan teman-temanmu ikut menodainya." Desis Miracle.
Lucas memukul dinding tripleks di sebelahnya dengan geram. Ia benci mendengar masa lalu itu. Masa lalu yang benar terjadi, tapi dalam diam selalu Lucas sesali.
Ia begitu cepat menganggap remeh Agatha. Ia begitu cepat melihat Agatha hanya sekadar mainan biasa seperti gadis lainnya. Lalu memaksanya untuk membuka kedua kakinya untuk siapa saja yang Lucas perbolehkan.
Pahit rasanya untuk kembali mengingat itu. Entah Agatha masih mengingatnya, tapi untuk Lucas kenangan itu yang membuatnya kini ingin melindungi Agatha sepuluh kali lipat.
Meski ia tahu ia sudah terlambat dan perannya itu telah diisi oleh pria lain. Lalu pria lain ini bagai ksatria dalam baju besi mengkilap dan mau bersumpah
"Karena itu aku memerlukanmu." Suara Lucas bergetar karena amarah yang masih membakar dadanya. "...dengan menculikku?" tanya Miracle sambil mengangkat kedua alis matanya. "Kau yakin Agatha akan mau bertekuk lutut padamu setelah tahu kamu masih membuat orang-orang sekitarnya menderita? Kau kira kau Tuhan, Lucas?"
"YA! AKU RASA AKU TUHAN." Suara Lucas menggelegar di dalam gudang sepi di tepi pantai, tempat markas geng yang telah ia bubarkan itu. "AKU RASA AKU TUHAN, MIRACLE."
Miracle mengatupkan mulutnya setelah mendengar pernyataan itu. Pria ini benar-benar sudah berada di luar akal pikirannya sendiri. "Kamu bukan Tuhan."
"OH YA?" Lucas mengangkat pistol yang dibawanya dan menodong kepala Miracle yang terlihat seperti kertas target di lapangan latihan tembak bagi Lucas. "KALAU OTAKMU MELEDAK APA AKU TIDAK TUHAN UNTUKMU?"
Miracle menahan napas sekaligus air matanya lalu memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya. Untuk terakhir kalinya memprovokasi Lucas dengan kenyataan yang sedang ia buyarkan di dalam kepalanya sendiri.
"Apa menurutmu Aggie mau aku mati di tanganmu?"
Kali ini Lucas yang menahan napasnya sampai bergetar. Apa Aggie mau dia membunuh Miracle?
Tidak. Sebenarnya tidak.
Ya! Dia mau Lucas untuk membunuhnya. Miracle merebut ayahnya.
Tapi tunggu, apa bahkan ayah Agatha pernah peduli pada Agatha.
Bunuh.
Jangan bunuh.
Bunuh!
Tidak. Agatha akan sedih.
Tidak! Agatha akan bahagia!
"Menurutku..-"
Miracle menengadah sambil menelan ludahnya. Sebuah tarikan napas yang bergetar keluar dari mulutnya ketika Lucas membuka pengaman pistol yang ada di tangannya itu.
"Menurutku aku yang mau kau mati di tanganku."