Kota Matahari dulunya bukan kota yang penuh hiruk pikuk dan ramai penduduk. Kota itu banyak berubah sejak tiga ratus, empat ratus tahun yang lalu.
Pembukaan pelabuhan yang memungkinkan banyak kapal migrasi untuk berkunjung, memungkinkan kota itu untuk kedatangan keluarga-keluarga bangsawan yang menginginkan kesempatan untuk membangun rumah mereka di tanah yang baru.
Keluarga Ivy, seperti banyak keluarga lainnya merupakan keluarga yang datang dan membangun kota itu bersama sekian banyak keluarga konglomerat lainnya. Kekayaan mereka yang berasal dari pertambangan dan minyak memungkinkan keluarga Ivy untuk mendorong pembangunan infrastruktur kota dengan cepat.
Dalam waktu lima puluh tahun, kota yang awalnya terdiri dari keluarga nelayan, berubah menjadi kota perdagangan dan jantung ekonomi negara. Tujuh puluh persen dari pembangunan kota itu dapat dilakukan karena kontribusi keluarga Ivy yang signifikan.
Selama dua ratus tahun awal, keluarga Ivy merupakan keluarga termakmur dan tersohor di kota itu. Mereka membangun banyak lapangan kerja dan dikenal baik sebagai keluarga imigran paling dermawan pada masa itu.
Tapi seiring terbitnya kota baru, keluarga konglomerat lain yang mampu bersaing bersama keluarga Ivy mulai bermunculan. Nama Ivy tidak lagi menjadi nama utama yang muncul di benak orang apabila Kota Matahari disebutkan. Dengan persaingan yang semakin sengit, nama Ivy tidak lagi ikut terbit bersama matahari pagi di cakrawala.
Tapi keluarga Ivy tidak pernah turun dari peringkat teratas dalam strata perekonomian masyarakat. Tidak ada yang berani mempertanyakan bakat seorang Ivy dalam mengelola bisnis.
Keluarga Ivy menggunakan garis keturunan ibu sebagai pembawa nama keluarga. Sulit bagi keluarga itu untuk menghadirkan anak laki-laki sejak dahulu. Oleh karena itu, para wanita di keluarga Ivy mengemban nama keluarga dan segenap bisnis dan usaha yang dimiliki nama Ivy.
Tapi pada garis keturunan Ivy yang ke tujuh belas, lahirlah anak perempuan yang lemah dan dihinggapi banyak penyakit. Ia adalah anak satu-satunya dari ibunya dan menjadi kutukan yang berat untuk nama cemerlang Ivy.
Dengan tubuhnya yang lemah, ia tidak disarankan untuk melakukan kegiatan berat dan banyak berpikir. Ia ditakdirlan untuk tidak merasakan tekanan dan sengsara dunia. Tapi sebagai anak perempuan di keluarga Ivy, gadis itu harus banyak belajar dan berpikir. Gadis itu harus banyak menghadiri konferensi dan rapat perusahaan.
Ketidaksanggupan anak itu dalam memenuhi tanggung jawabnya membuat dirinya tak dianggap oleh keluarganya sendiri. Ia gagal menjadi pemimpin perusahaan dan melimpahkan tanggung jawabnya pada ibu dan ajudan-ajudannya.
Pada akhirnya anak itu tumbuh dewasa. Ia mengikuti semua instruksi dari ibunya dan menjadi anak baik yang didambakan semua orangtua. Ia mengikuti keinginan ibunya ketika wanita itu memintanya untuk bersedia dijodohkan.
Meski ia tidak mengenal pria yang diberikan kepadanya. Meski ia tidak mencintainya sama sekali. Anak itu mengesampingkan semua perasaan-perasaan dangkal dan mengedepankan keberadaan nama keluarga dan kebaikan untuk perusahaan.
Pria itu berusaha. Sama seperti dirinya. Mereka berdua sama-sama berusaha untuk mengenal satu sama lain. Sama-sama berusaha untuk mencintai satu sama lain.
Tapi perasaan-perasaan dangkal itu tidak datang begitu saja. Harus ada usaha-usaha dangkal dan keingintahuan atas hal dangkal.
Dan mereka berdua sejatinya tidak punya waktu untuk hal-hal dangkal. Jadi pada akhirnya mereka menyerah dan bersama sebagai teman kerja yang melakukan permainan rumah-rumahan di hadapan aset berharga mereka. Seorang anak perempuan pada keluarga mereka. anak mereka. Agatha.
Agatha jadi pelangi setelah hujan bagi keluarganya. Ia terlahir sehat dan cantik. Ia tumbuh besar dan dalam waktu singkat keluarganya menyadari bahwa ia adalah anak yang berbakat dan cemerlang.
Ia dengan cepat mencuri lampu sorot keluarganya. Ia disayang dan dibanggakan oleh ayahnya. Pria yang lama tak merasakan cinta itu akhirnya merasakannya ketika Agatha hadir. Pria itu jadi ayah paling hebat dan paling baik untuk anak itu.
Kakek dan nenek Agatha memang tak selalu hadir di figura keluarga. Dan Agatha tak begitu mengenal mereka. Tapi kedua orang itu mencintai dan mengakui Agatha. Mereka selalu mengirimi Agatha baju indah dan barang-barang mahal setelah perjalanan liburan mereka usai.
Agatha disayang dan dicintai keluarganya. Ia memunculkan harapan yang sempat sirna dari keluarga itu.
Agatha menyadari hal itu juga. Kalau ia dibesarkan di keluarga yang tidak biasa. Ia adalah anak berbakat seperti yang diinginkan keluarganya. Ia pantas dicintai dan diakui. Ia memiliki segalanya. Ia dicintai semuanya.
Tapi kemudian kematian ibunya terjadi.
Lalu perlahan Agatha melihat cemerlang di sekitarnya itu pudar. Orang-orang yang mencintai dan mengakuinya itu, tidak pernah mencintai dan mengakui ibunya. Ayah, kakek, nenek; tidak ada dari mereka yang menangis dan menyesali kepergian ibunya.
Seakan ibunya itu pantas untuk pergi tanpa perlu perhatian penuh dari mereka. Seakan perhatian mereka itu mahal dan ibunya tidak punya uang untuk membeli segenggam perhatian mereka.
Ibunya yang punya hati paling murni dan senyum paling indah itu alhirnya menyerah melawan penyakitnya dan terlelap di peti mati. Memberikan orang-orang di rumah duka pertunjukan terakhirnya. Seperti seorang penari balet yang menarikan gerakan tarian sempurna dan membungkuk dalam untuk terakhir kalinya kepada penonton setianya, lega karena pada akhirnya ia akan pergi menjauh dari tatapan yang mendikte dan mencari kesalahannya itu.
Jadi begitu rupanya. Selama ini ia dijauhkan dari ibunya karena wanita itu adalah cacat keluarga. Ia tidak diinginkan, tapi Agatha diinginkan.
Jadi apa gunanya? Jadi sempurna itu apa gunanya? Pikir Agatha.
Untuk apa dia memenangkan semuanya dan mengikuti semua instruksi?
Untuk apa jadi cantik dan sehat dan sempurna?
Apa guna itu semua kalau orang yang paling ingin dia simpan selamanya di dalam lemari kaca kini sudah ada enam kaki di bawah tanah?
Untuk apa dia hidup kalau ibunya akhirnya kalah dari penyakitnya?
Untuk apa semua kesempurnaan ini kalau ternyata selama ini hidupnya ada karena ia menginjak dan menjadikan ibunya alas kaki?
Agatha tak melihat kehidupan darisana. Ia tidak pernah harus menguji dan memulai ulang hipotesis dari teorinya. Semuanya sudah disiapkan dengan rapi dan sempurna untuknya dari awal. Lalu dia harus mengikuti jejak yang sudah ada saja? Itu kan terlalu mudah?
Lalu bagaimana kalau Agatha melakukan kesalahan ya? Pikir gadis itu.
Ia menguji pertanyaan itu dengan benar-benar melakukan kesalahan di umur dua belas tahun. Ia sengaja kalah pada sebuah olimpiade bahasa yang ia ikuti, menghancurkan streak kemenangan yang ia miliki.
Dan untuk kedua kalinya ia melihat cemerlang di sekitarnya menghilang. Ayahnya begitu kecewa sampai pria itu harus memindahkan semua tugasnya ke tangan pesuruhnya untuk beberapa bulan. Neneknya begitu kecewa sampai ia jatuh sakit dan harus dirawat inap di rumah sakit. Kakeknya menadatangi Agatha dan mengatakan kata-kata yang membuat Agatha paham sebesar apa yang harus ditanggung punggung lemah ibunya selama ini.
"Agatha, nama Ivy adalah nama yang membangun angin dan tanah yang ada di kota ini. Kita punya banyak tanggung jawab untuk menjaga kota ini agar tetap cemerlang. Kalau kau gagal sekali, kau akan gagal dua kali dan tiga kali. Hari ini kau gagal menang olimpiade, besok kau bisa saja gagal jadi seorang Ivy."
Hati Agatha yang mungil runtuh mendengar itu. Begitu rupanya. Ia tidak boleh gagal. Berarti ia tidak boleh jadi seperti ibunya. Ia harus jadi seperti ayahnya. Selama pria itu tidak gagal, Agatha tidak akan gagal.
Tapi sampai kapan? Lelah. Sampai kapan? Agatha ingin istirahat. Lelah. Sampai mana pria itu berhasil?
"Sampai Hilton menjebak ayah, semuanya baik-baik saja." Gumam Agatha di akhir kereta pikirannya itu. "Sampai disitu pria itu berhasil."
Kegagalan ayahnya untuk melindunginya sebagai penerus nama Ivy adalah titik dimana Agatha akhirnya muak dengan beban nama itu.
"Kurasa aku harus berbicara dengan ayah." Kata Agatha kepada Kay yang merokok di sebelahnya.
"Isaac membutuhkanmu."
"Ia bisa menunggu." Kata Agatha.
Kay tak lagi berani mengatakan apa-apa.
Agatha rasanya berubah. Ia terlihat dan terdengar lebih percaya diri. Agatha kelihatan punya banyak pikiran yang merundungnya. Tapi alih-alih melarikan diri, ia kelihatan sedang mencari celah untuk memenangkan badai yang ini juga.
Begitu penilaian Kay.
"Kau perlu apa?" Tanya Kay. Agatha menoleh, kemudian berpikir. "Apa kau bisa menyiapkan uang?"
"Kalau itu kau harus memintanya pada Isaac." Agatha terdiam sejenak lalu mengangguk, menerima pernyataan itu.
Kay mengelola, tetapi Isaac pemilik. Tentu semua kekayaan ada pada Isaac.
"Memang kau butuh berapa?"
"Sepuluh."
"Juta?"
"Milyar."
"Buset. Mau apa kau dengan uang itu?"
"Investasi."
"Perusahaanmu?"
Agatha menggedikkan bahunya, "mungkin."
Agatha menoleh kepada Miracle yang tertidur di sebelahnya. "Baiklah ayo ke rumah sakit dulu." Katanya ketika lampu merah berubah hijau di perempatan jalan di hadapan mereka. "Lalu antarkan aku ke Isaac."