"Setelah berpikir akhirnya ada titik terang, pembunuhan terjadi lagi. Alibinya sempurna. Kami harus mengulang penyelidikan lagi. Kembali ke titik awal. Apa ada yang terlewatkan, apa ada yang salah. Hahh... ini benar-benar membuat frustrasi." Iwata membenturkan keningnya ke meja.
"Pak polisi, kenapa setiap kali ke sini Bapak selalu mengeluh soal pekerjaan. Apa Bapak pikir saya cocok untuk dijadikan tempat curhat?" Sakhi menanggapi. Ia membawa mampan yang berisi pesanan Iwata. Duduk di kursi kosong depan Iwata dan bertopang dagu.
Terpaku. Untuk beberapa saat Iwata merasa wajah Sakhi terlihat begitu dekat, begitu jelas. Anehnya ekspresi Sakhi tiba-tiba menjadi begitu manis. Anehnya lagi jantung Iwata berdetak tidak karuan. Dalam drama-drama, situasi ini akan digambarkan dalam gerak lambat.
Beralih dari wajah Sakhi, Iwata melihat ke sekelilingnya. Memperhatikan beberapa pegawai kafe dan pelanggan lain yang masih tinggal. Tidak ada gerak lambat. Tidak ada suara tiba-tiba hening. Semua normal.
'Jelas ini pengaruh frustrasi.' Iwata yakin.
Kafe sudah hampir tutup. Hanya ada dua pelanggan yang tengah menghabiskan minumannya, dan seorang lagi yang menunggu bungkusan pesanannya selesai.
Iwata sengaja datang di jam-jam akhir agar saat dia melakukan konsultasi –istilah Iwata, sementara Sakhi menganggap dirinya sebagai tempat curhat– tidak mengganggu pekerjaan Sakhi.
"Pak polisi!"
"Eh?!" Iwata mengangkat kepalanya, tersadar.
"Bukannya ada hal-hal dari kasus yang seharusnya tidak boleh diceritakan begitu saja pada orang asing, ya. Kalau sampai tersebar bagaimana?"
"Akhh!" Iwata mengerang, menjatuhkan lagi kepalanya ke meja dan bunyi 'duk' keras terdengar. Semakin frustrasi.
Apa yang telah dilakukannya, Iwata mulai berpikir.
Beberapa hari ini ia datang menemui Sakhi untuk melakukan konsultasi jangan-jangan hanya alasan. Jangan-jangan ia hanya ingin melihat Sakhi, ingin bicara dengannya. Jangan-jangan perasaannya barusan tidak ada hubungannya dengan frustrasinya.
'Tidak, tidak.'
Kalau pun benar kenapa hal sepenting ini baru ia sadari sekarang. Kenapa sempat-sempatnya berpikir seperti itu padahal tim khusus bisa saja dibubarkan sewaktu-waktu. Padahal kasus yang tengah ditangani belum memperlihatkan kabarnya baik sedikit pun.
"Sepertinya saya benar-benar kacau sampai begini sembrono. Padahal sebelumya sudah diomeli Haikal. Kalau begitu setelah menyelesaikan makan..." Iwata mulai mengangkat sendoknya, merasa malu.
"Karena Bapak sudah telanjur cerita, lebih baik saya pikirkan dulu." Sakhi memutus sebelum Iwata menyelesaikan kalimatnya.
Kalimat Sakhi membuat Iwata yang sudah siap tancap gas menghabiskan makannya, kembali meletakkan sendoknya.
Lega, tidak jadi diusir.
"Hmm..." Sakhi mengerutkan keningnya, berpikir. "Bagaiamana kalau ada kaki tangan?"
"Tidak mungkin. Tidak ada bukti yang menunjukkan adanya orang ketiga di TKP. Cara membunuh, target, pola, tipe-tipenya, semua sama dilakukan seorang diri. Hanya untuk akhir-akhir ini saja polanya berantakan." Iwata menjelaskan alasannya menolak pemikiran Sakhi.
Kemungkinan mengenai adanya kaki tangan bukannya tidak pernah dikemukakan saat rapat. Hanya saja seperti yang Iwata katakan, tidak bukti yang menunjukkan adanya lebih dari satu orang pelaku di TKP.
"Bagaimana kalau ada pelaku lain?"
"Apa bedanya dengan memiliki kaki tangan?" Iwata menepis cepat, tapi secepat itu juga ia kembali memikirkan kalimat Sakhi. "Tunggu!"
Tidak boleh ada yang terlewat, semua kemungkinan bisa terjadi selama sebuah kasus masih dalam zona abu-abu.
"Bisa jadi, 'kan?" Sakhi meminta Iwata untuk memikirkannya lagi.
Sakhi merobek selembar kertas yang biasanya digunakan untuk menulis pesanan. Kata pertama yang ditulis adalah Shinigami, kemudian membuat tanda panah miring ke bawah, tiga cabang. Di ujung tanda panah ditulisi Kira I, Kira II, Kira III. Kemudian dibawahnya ditulis tiga nama: Light, Misa, Mikami.
Ketiga nama yang Sakhi tulis adalah nama pemeran yang menggunakan Death Note untuk membunuh. Kira dan komplotannya.
"Karena dalam cerita Death Note ada lebih dari satu Kira. Tergantung Shinigami menjatuhkan bukunya pada siapa. Sisanya, Light yang menentukan ingin bekerja sama atau tidak." Sakhi menyerahkan coret-coretannya pada Iwata.
"Jadi, ini bukan kasus pembunuhan berantai bisa melainkan sekelompok pembunuh berantai?" Iwata bertanya.
Sakhi mengangkat bahunya, tidak berani berspekulasi. Tugas selanjutnya, Iwata yang harus melakukan penyelidikan.
"Hah, ini gila!" Iwata mengerang lagi, mengacak-acak rambutnya yang sudah semakin panjang.
"Sekelompok pembunuh…" Sakhi berujar pelan.
Semua pengunjung telah pergi dan papan yang bergantung di depan pintu masuk telah dibalik. Tutup. Dua karyawan telah pulang lebih dulu dan hanya bersisa beberapa dari mereka yang piket.
Sakhi akan memberi waktu 3 menit untuk Iwata memikirkan kata-katanya dan 3 menit untuk menghabiskan pesanannya. Setelah itu, kafe akan benar-benar ditutup. Disterilkan dari keberadaan manusia.
Dalam ceritanya, pemilik Death Note dengan sebutan Kira awalnya hanya Light Yagami, seorang pelajar jenius. Karena membunuh banyak penjahat akhirnya ia dipuja dan memiliki banyak pendukung.
Kemudian, seorang idol juga memiliki Death Note yang lain, Misa. Ia akhirnya bergabung dengan Kira. Menjadi Kira kedua.
Orang tua Misa dibunuh, namun penjahatnya berhasil bebas dari tuntutan hukum. Karena Kira membunuh penjahat yang membunuh orang tuanya, Misa pun menjadi pemuja Kira.
Terakhir Mikami, yang juga seorang pemuja Kira. Kira ketiga.
"Iwata, kamu tidak pulang?"
"Kamu sendiri?" Iwata balik bertanya. Ia baru saja sampai di kantor.
Haikal yang baru datang menyampirkan jaketnya di punggung kursi. Ia duduk di kursinya, yang membelakangi kursi Iwata.
"Saya pikir kamu sudah putus asa dan tidak mau muncul lagi di kantor," sindir Iwata.
Dua hari setelah tim khusus tidak bisa membuktikan Arjuna Zeroun adalah pelaku pembunuhan berantai yang sesungguhnya, dan setelah Haikal mendapat teguran karena kesewenang-sewenanggannya masuk rumah orang tanpa izin, ia jarang terlihat di kantor.
Haikal hanya akan datang untuk mengisi daftar absen, kemudian tidak terlihat lagi. Haikal juga tidak datang untuk rapat tim pagi tadi.
Saat Haikal tidak ada, ketua tim menyampaikan keputusan dari atasan mengenai tim yang akan segera dibubarkan. Dalam waktu dekat. Benar-benar bubar jika kasus tidak juga terpecahkan. Tidak ada tawar-menawar lagi. Kecepatan penanganan kasus menjadi penentu nasib tim khusus.
"Kapan saya putus asa, dan lagi saya selalu masuk." Haikal membeladiri, tidak terima dengan tuduhan rekannya.
"Hanya untuk mengisi absen kemudian menghilang." Iwata tidak percaya.
"Saya menyelidik."
"Huh!" Iwata mendengus sinis, masih tidak percaya.
Hening.
Haikal tidak ingin memperpanjang perdebatan. Toh apa pun yang akan ia katakan, Iwata hanya menganggapnya sebagai alasan. Haikal menghela nafas.
"Saat membunuh, seseorang tidak hanya mempertaruhkan semua sisi kemanusiaannya. Ia juga melompati batasan terbesar dalam dirinya yang sebenarnya tidak boleh dilakukan." Iwata mengutip.
"Akan ada ganjaran besar untuk itu. Untuk melewati batas yang tidak boleh dilakukan seorang manusia," Haikal melengkapi. "The Devil bab Percaya, halaman 89 paragraf ketiga."
Mereka telah menjadi penikmat karangan Arjuna Zeroun sekarang. Haikal sampai-sampai mengahafal beberapa bagian yang paling disukainya. Dari bab keberapa, halaman, paragraf, sampai barisnya.
Iwata mengeluarkan kertas coret-coret yang Sakhi berikan dari saku celananya. Ia sedang berpikir untuk menyampaikan pada Haikal apa yang didengarnya di kafe. Sebagai referensi, juga sebagai dugaan tambahan.
Bisa jadi semua yang Sakhi katakan masuk akal. Bisa jadi bukan hanya sekadar dugaan.
"Saya pikir... mungkin ada Kira lain," Haikal berbicara lebih dulu.
"Eh??" Iwata berbalik. Apa yang ingin ia sampaikan justru lebih dulu keluar dari mulut Haikal.
"Bisa jadi itu alasannya kenapa sulit untuk mematahkan alibi pelaku padahal di beberapa kasus lain tidak memiliki alibi," tambah Haikal.
"Saya pikir juga sama," Iwata menimpali cepat.
Kali ini Haikal yang berbalik. Iwata memberikan kertas coretan yang ada di tangannya sembari mengulang penjelasan yang Sakhi katakan padanya.
Mendengar nama Sakhi, kening Haikal berkerut. Haikal menatap Iwata penuh selidik. Tidak ingin pembahasan serius mereka teralihkan, Iwata tetap melanjutkan ceritanya, tanpa peduli apa pun yang Haikal pikirkan tentangnya.
'Memanfaatkan suasana dengan kata menyelidik.'
Keduanya membuka pembahasan, mendiskusikannya dengan serius dan tahu-tahu Iwata dan Haikal sudah duduk berdampingan, tidak lagi saling membelakangi.
Ternyata yang Haikal sebut sebagai menyelidik di dua hari jarang terlihat di kantor adalah mengenai jalan cerita Death Note. Haikal mencari tahu jalan cerita Death Note secara keseluruhan.
Meski disebut menyelidiki, Iwata masih tetap tidak sepenuhnya yakin. Itu hanya alasan. Titik.
Haikal mendesis, ia hendak menjitak kepala Iwata namun Iwata lebih dulu berdiri. Bukan sengaja menghindar, melainkan ia hendak mengambil kertas yang tertumpuk di meja Huda. Kertas yang akan digunakan untuk menyalin coretan.
"Kira pertama; pelajar, jenius." Iwata mulai mencoret-coret. "Kira kedua; perempuan, idol. Kira ketiga; jaksa, penegak hukum."
Haikal mengambil alih dengan pena miliknya. Ia melingkari satu kata di kolom Kira pertama. Pelajar. Kolom Kira kedua, idol, dan di kolom Kira ketiga, penegak hukum.
Dengan ketiga kata yang dilingkari, mereka membandingkan orang-orang yang pernah dicurigai untuk dicocokkan dengan ciri Kira pertama adalah seorang pelajar, Kira kedua adalah idol, dan Kira ketiga adalah penegak hukum.
"Meski bukan pelajar sungguhan dalam artian itu, tapi Hazim yang kesehariannya mengikuti banyak kursus bisa masuk kategori pelajar. Kursus berarti belajar," Iwata berujar.
"Meski bukan idol, kepopuleran Arjuna Zeroun juga sudah setingkat seleb tenar," Haikal menambahkan. "Kalau begitu sisa penegak hukum." Haikal menambahkan tanda tanya.
"Apa itu bisa berarti di kepolisian?" Iwata bertanya, merenung.
"Jika benar pelakunya salah satu dari anggota polisi, menurutmu siapa?" Haikal balik bertanya.
Iwata tidak langsung menjawab. Ia berpikir keras. Ini bukan hal mudah karena sesama polisi berarti harus mencurigai satu dari banyak rekannya.
Iwata berpikir lebih lama. Setelah mendapat satu nama di kepalanya yang ia pikir cocok, Iwata menatap Haikal tajam.
"Kamu!" tunjuk Iwata menggunakan pena yang ada di tangannya.
"Saya?!" Haikal terperanjat.
"Kalau memang anggota kepolisian harusnya dia salah satu dari tim khusus. Dengan berada di tim khusus dia bisa membuat rencana baru jika ada salah satu temannya yang dicurigai, atau dia bisa mengacaukan penyelidikan. Kalau Huda tidak mungkin, dia terlalu manis. Kalau Komandan Iryand..." Iwata berandai-andai.
Memikirkan kemungkinan bahwa pemimpin timnya adalah seorang pembunuh. Iwata menggeleng kuat-kuat.
"Tidak mungkin. Kisaran usia pelaku antara 20-30 tahun." Iwata menyelesaikan dugaannya.
"Kalau Komandan Iryand memang mustahil." Haikal sama yakinnya dengan Iwata. "Tapi seseorang yang manis dan paling lemah biasanya berpotensi memiliki kepribadian psikopatik," tambahnya meniru gaya bicara Iwata. Iwata nyaris tergelak. "Kalau saya tidak akan mencurigaimu."
"Kenapa?" Iwara penasaran.
"Supaya kamu tersentuh dan berhenti mencurigai saya," kata Haikal penuh keyakinan. "Tapi... kalau benar ada Kira ketiga, bagaimana kalau dia bukan polisi, tidak ada hubungannya dengan penegak hukum. Pada akhirnya kita pasti bisa menebak inisial K. Bagaimana kalau pelaku menggunakan teori itu untuk membuat kita saling mencurigai. Sebenarnya tidak ada Kira ketiga. Jika pun benar ada, dia bukan bagian dari penegak hukum."
"Asumsi seperti itu, membuat saya semakin mencurigaimu." Iwata menyipitkan matanya. "Supaya tidak dicurigai biasanya seseorang akan memberi petunjuk yang berlawanan dengan dirinya. Itu ilmu psikologi sederhana. Kamu tidak tahu?"
"Kalau pelakunya adalah saya," Haikal menatap Iwata tajam, suaranya berbisik dingin. Ia melihat sekeliling. Tidak ada siapa pun karena malam memang telah larut. Petugas piket mungkin sedang berkeliling atau berada di tempat lain. "Saya akan membunuhmu di sini."
"Sayangnya saya petugas yang baik, sampai saat ini tidak memiliki catatan kejahatan. Jika pelakunya melakukan itu berarti dia melanggar prinsip aturannya." Iwata menantang.
"Kadang-kadang, pengorbanan dibutuhkan untuk tujuan yang lebih besar. Bukannya itu juga yang dipikirkan Kira dalam Death Note." Haikal menyeringai.
Tatapan keduanya bertemu. Lekat.
"Dalam laporanmu menyebutkan Arjuna Zeroun tidak akan melakukan pengorbanan bodoh seperti itu." Iwata masih berkeras pada pendapatnya.
Tidak langsung menjawab, Haikal masih berpikir. Mencari kalimat yang tepat. Dalam banyak hal sesusah sekali bagi Haikal mengalahkan Iwata. Bahkan untuk perdebatan omong kososng seperti ini.
"Sudah, berhenti main-main!" katanya.
Iwata tertawa. Dia tahu dia menang.
Haikal beranjak dari tempatnya, mengumpulkan berkas mengenai orang-orang yang sebelumnya sempat mereka curigai. Mencari kemungkinan adanya Kira ketiga, dan kemungkinan seorang penegak hukum.
Sementara Iwata menyalin coret-coretannya di papan putih, Huda dan ketua tim datang.
Huda yang tidak menyangka akan melihat Haikal, berseru penuh semangat. Tingkahnya mirip bocah pengidap ADHD. Begitu hiperaktif.
Kedatangan tepat waktu. Keempatnya kemudian segera berkumpul untuk membahas dugaan adanya Kira yang lain.
Malam semakin larut, kegelapan semakin pekat karena bulan yang bertugas sebagai penerang langit justru bersembunyi di balik awan yang menghitam. Cuaca tidak sedang buruk, tapi bintang hanya muncul satu, dua.
Semakin malam, semilir angin semakin membuat tengkuk bergidik. Dingin tidak hanya membuat bulu roma meremang, tapi sampai menyengat ke dalam tulang.