Chereads / Serial Killer (Initial K) / Chapter 17 - #Bagian 16 : Barang bukti.

Chapter 17 - #Bagian 16 : Barang bukti.

Hasil penggeledahan yang dilakukan tim khusus berhasil menemukan kater yang digunakan untuk membaret telapak korban, tang untuk mencabut kuku, kabel ties sebagai pengikat, dan jam tangan yang sama jenis dan mereknya yang digunakan untuk menyimpan racun saat pelaku melakukan aksinya.

Di rumah Arjun, di temukan kuku korban sebagai salah satu barang bukti penting. Penggeledahan berlangsung selama lebih dari tiga jam.

Kuku disembunyikan dalam sebuah pigura yang berukuran 7X5 cm. Pigura dipajang di atas meja bersama laptop dan tumpukan buku. Pigura yang digunakan adalah pigura modifikasi yang pembuatannya dipesan secara khusus.

Jika dibuka dari belakang seperti cara biasa membongkar pigura foto, tidak akan ditemukan keanehan. Tapi jika dibongkar dari depan, dan mengeluarkan foto dengan cara ditarik dari celah atas, akan terlihat sesuatu yang berbeda sana. Kuku-kuku yang dipajang, yang berjajar rapi.

Ada empat kuku yang dipisah dengan sekat-sekat. Tertulis nama lengkap korbannya dengan huruf-huruf kecil. Di beberapa kuku, bercak darah yang telah mengering masih bisa terlihat.

Membayangkan Arjuna Zeroun duduk di meja kerjanya, mencari inspirasi untuk menulis dengan memandangi kuku-kuku korban dengan ekspresi antusias layaknya melihat benda antik tak ternilai, sudah pasti membuat orang lain bergidik.

Psikopat.

Untuk seorang pembunuh yang mengatakan membenci korbannya, bagaimana bisa ia menyimpan sesuatu dan memandanginya dengan tatapan penuh kepuasan di hari lain. Benar-benar tidak masuk akal.

Barang bukti yang sama juga ditemukan di tempat Hazim tinggal. Penggeledahan yang dipimpin oleh Iwata tidak menghabiskan waktu lebih lama dari penggeledah di rumah Arjun.

Ditemukan tang, kater, jam, kabel ties, dan juga kuku. Sepatu yang jejaknya sama seperti yang ditemukan di TKP korban kedelapan juga diamankan sebagai barang bukti pelengkap.

Ada lima kuku. Kuku disamarkan dengan menjadikannya hiasan dinding. Hiasan dinding dari kesenian tempel. Terdiri dari potongan-potongan kecil kayu yang diberi warna dan perkamen. Bersama potongan kayu, kuku-kuku ditempel sehingga membaur, membentuk sebuah karakter.

Penggeledahan yang sama juga dilakukan di tempat Yuda tinggal, juga di Perusahaan tempatnya bekerja. Penggeledahan berlangsung lebih lama dengan mengerahkan petugas lebih banyak. Meski seperti itu, tetap tidak ditemukan kuku di mana pun. Tidak satu pun. Digeledah selama apa pun dan berapa kali pun hasilnya tetap sama, nihil.

Ketua tim yang memimpin penggeledahan di rumah Yuda kembali tanpa menemukan barang bukti penting yang dibutuhkan.

Untungnya polisi menangkap Yuda pada saat tepat. Dengan semua alat pembunuh ada padanya. Tang, kater, dan racun dalam jam. Selain itu Sakhi menjadi saksi aksi pembunuhan yang dilakukannya. (Ralat percobaan pembunuhan karena korban terakhir selamat). Jika tidak, Yuda pasti masih mengelak dan terlepas dari jerat hukum karena kurangnya bukti.

"Di mana, di mana kamu sembunyikan kukunya?!" tandas ketua tim geram.

"Bapak bicara apa, saya tidak tahu." Dengan sikap tak acuhnya yang menyebalkan, Yuda tetap mengelak, berpura-pura tidak mengerti.

"Masih pura-pura!" Ketua tim menarik kerah kemeja Yuda. Kesal.

Ketua tim sedang berpikir untuk menonjok orang di depannya sekali saja. Toh sudah pasti ia pelaku. Toh satu pukulan saja tidak akan menggugurkan semua dosa-dosanya. Toh ia pantas untuk itu.

Tapi kemudian, ketua tim mengurungkan niatnya. Ia melepaskan kerah kemeja Yuda dan kembali pada karismanya yang penuh wibawa.

"Sekali lagi saya tanya dimana kamu sembunyikan kukunya?!" tanya ketua tim untuk kesekian kalinya.

"Komandan, kalau saya bilang tidak tahu itu artinya saya tidak punya," jawab Yuda untuk kesekian kalinya juga.

Yuda masih tidak menghilangkan ekspresinya yang menyebalkan barang sebentar saja.

"Saya tidak butuh sesuatu seperti itu," tambah Yuda tajam, kemudian tersenyum. Senyum yang terlihat tidak kalah menyebalkan.

Proses introgasi berlangsung tidak mudah. Masing-masing pelaku teguh pada kepura-puraannya. Sikap-sikap menyebalkan yang ditunjukkan seperti berkata, 'meski tertangkap kami masih mendominasi.' Artinya, dalam proses introgasi pun mereka masih memberikan perlawanan, menyebabkan banyak perkara.

Di ruangan lain, introgasi juga sedang berlangsung. Iwata dengan Hazim.

Iwata berusaha memancing, mendesak, bahkan memaksa Hazim agar memberi tahu di mana mereka menyembunyikan sisa racun Wolfsbane atau dari mana mereka mendapatkan racun.

Tidak ada jawaban. Tidak ada pengakuan.

Iwata bahkan dipermainkan. Lagi-lagi dengan perubahan ekspresi yang tiba-tiba. Kadang-kadang sedih, terlihat seolah mau mengaku, berwajah polos, kemudian menyeringai mengejek. Dibanding Yuda Saputra, ekspresi Hazim juga menyebalkan.

"Pak polisi, kalau kalian mau mendapat jawabannya seharusnya kalian berusaha lebih keras. Kalau dengan terus bertanya bisa selalu mendapat pengakuan dan petunjuk, kalian pasti akan jadi lebih malas nantinya," ejek Hazim.

"Terima kasih nasihatnya," ketus Iwata, tidak bermaksud benar-benar berterima kasih.

"Sama-sama. Jangan segan," jawab Hazim tanpa tahu malu.

Selama proses tanya-jawab, Iwata tahu semua yang Hazim katakan bohong, dan banyak yang ditutup-tutupi. Iwata bisa melihatnya dengan jelas walau tanpa alat pendeteksi kebohongan. Bahasa tubuh dan gerakan mata, Iwata menyadari semuanya.

Jika ketua tim ingin menonjok Yuda karena kesal, Iwata ingin sekali melempar kursi yang didudukinya. Sungguh. Seketika itu juga, tepat saat Hazim mulai menyeringai.

Iwata kembali merasa kesal. Kembali ingin melemparkan kursi yang didudukinya. Ia kemudian menarik nafas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan. Mencoba menenangkan diri. Mengumpulkan kembali sisa-sisa kesabarannya.

Dalam hati Iwata sangat kagum dengan kemampuan Hazim yang membuat orang lain begitu ingin menghajarnya.

Di balik wajah ramah yang selalu ditunjukkan selama ini, ternyata Hazim sedang mencari seseorang yang mau membunuhnya dengan senang hati.

Kesabaran Iwata benar-benar terkuras dalam jumlah besar. Ia tahu menghadapi orang sejenis ini tidak akan mudah. Tapi tidak menyangkan jadinya akan sesulit ini.

Sebenarnya sangat jarang ada polisi yang begitu penyabar seperti Iwata. Yang setelah menghadapi Hazim masih bisa kembali berpikir dingin. Memulai lagi tanya-jawab tanpa berteriak atau membentak.

"Kamu tahu," Iwata serius dengan sisa kesabaran terakhir yang ia punya. "Sifat menyebalkan yang selalu kamu tunjukkan itu terdengar seperti 'tolong aku, aku lelah,' atau 'bunuh aku, ini sangat menyakitkan'." Iwata berbisik, menyeringai. Kali ini tatapannya menjatuhkan, mengejek. Serangan terakhir.

Hazim tidak menanggapi, tapi Iwata tahu bukan berarti serangannya tidak berdampak sama sekali, justru cukup ampuh.

Hazim terlihat mulai meng-aktifkan benteng perlindungannya.

"Melakukan ini untuk bersenang-senang? Tidakkah caramu terlalu kekanak-kanakan? Seperti remaja baru puber yang sedang senang-senangnya mencari perhatian. Ingin orang lain menemukanmu, membantu mengakhiri semua yang kamu rasa terlalu berat kamu pikul. Melakukan hal yang tidak pernah bisa kamu lakukan sendiri, ya, 'kan?" tambah Iwata sinis.

Alis turun dan ditarik secara bersamaan. Muncul garis vertikal di antara alis. Kelopak mata atas terangkat, mata terbelalak dengan tatapan tajam. Cuping hidung melebar. Bibir mengatup, rahang bawah mengeras. Marah. Microexpression yang sebenarnya.

Tatapan mata Hazim bersinar marah. Ia benar-benar terprovokasi.

Dalam hati Iwata merasa bangga berhasil membuat Hazim menunjukkan ekspresi yang sebenarnya. Ini adalah kemajuan pertama yang berhasil dilakukan.

Otot pipi Iwata terangkat tanda merasa senang. Seakan ingin mengatakan, 'aku memegang kendali sekarang.'

Hazim menggebrak meja. "Jangan bicara sembarangan kalau Bapak tidak tahu apa-apa!" tandasnya meradang. "Pak polisi, kalian pikir karena siapa kalian bisa mendapat petunjuk pertama?"

"Petunjuk pertama?" ulang Iwata.

Iwata seharusnya tidak bisa langsung menangkap apa maksudnya, tapi pikirannya tertuju pada jejak sepatu di TKP korban kedelapan begitu saja. Tiba-tiba, tanpa persetujuan darinya.

Situasi berbalik dengan cepat.

"Kali ini kalian tidak berharap ada keberuntungan seperti itu lagi, 'kan." Hazim menatap tajam.

Dari berderet barang bukti yang ditemukan saat penggeledahan, keberadaan barang bukti yang paling penting justru tidak terlihat ujung rimbanya. Racun.

Di mana racun yang lain disimpan atau dari siapa. Pertanyaan yang masih belum juga terjawabkan.

Dari semua tempat yang didatangi, tidak terlihat tanda-tanda adanya tanaman Wolfsbane, atau racun semacamnya. Tidak di rumah, tempat kerja Arjuna Zeroun, Hazim, maupun Yuda Saputra.

Misteri masih berlanjut. Menemukan satu lagi keberadaan barang bukti penting.

"Tidak ada, benar-benar tidak ada di mana pun."

Haikal yang baru datang menjatuhkan diri di tempat duduknya. Lelah. Tenanganya sudah terkuras habis. Tim yang ia bawa juga sudah menyerah.

Sebanyak apa pun tenaga dikerahkan, tetap tidak ditemukan petunjuk. Dari mana mereka mendapatkan racun atau di mana mereka menyembunyikannya. Pencarian berakhir tanpa hasil.

"Komandan, mohon izin untuk mengintrogasi Yuda Saputra," Huda meminta izin.

"Kamu menemukan sesuatu?" Ketua tim bertanya sebelum memutuskan.

Huda memperlihat selembar kertas yang berisi daftar surat kematian yang didapatnya dari rumah sakit tempat kedua orang tua Yuda pernah dirawat.

Ada tiga surat kematian yang pernah dikeluarkan. Pertama ayah Yuda, Ibu, dan Yuda sendiri. Namun tidak lama kemudian surat kematian atas nama Yuda diralat.

Dokter mengatakan memang ada tiga mayat pada hari itu. Dua orang dewasa dan satu anak-anak. Tapi karena kondisi mayat terbakar dan tidak lagi bisa dikenali, proses identifikasi dilakukan dengan tes DNA.

Begitu hasil tes keluar, keluarga menolaknya. Mereka –saudara ayah Yuda, bersikeras mengatakan anak yang meninggal bukan keponakan mereka. Bukan Yuda. Yuda ada di rumah, dalam keadaan baik-baik saja.

Tes DNA dilakukan dengan mengambil sampel rambut dari kamar Yuda Saputra untuk digunakan sebagai DNA pembanding pada jasad korban yang terbakar.

Karena keyakinan keluarga dan keterangan yang diberikan kepada tim identifikasi, surat kematian atas nama Yuda Saputra kemudian dibatalkan.

Mayat anak yang bersama orang tua Yuda pun diketahui sebagai anak yatim piatu, teman main Yuda. Anak yang rencananya akan diadopsi sebagai saudara Yuda.

Hari di mana ia seharusnya bisa memiliki keluarga pun, menjadi hari ia dikubur bersama kedua orang tua Yuda. Namanya tidak ada dalam daftar, tidak masuk kartu keluarga. Pada akhirnya anak itu tetap yatim piatu sampai akhir hayatnya.

"Kamu curiga dia bukan Yuda Saputra? Kenapa?" Ketua tim bertanya lagi.

"Seorang psikiater pernah menangani Yuda. Saat penggeledahan, di kamarnya ditemukan catatan kolsultasi yang kelihatannya disembunyikan dari keluarga." Huda memperlihatkan kertas yang lain lagi.

"Mythomania?" Iwata dan Haikal membaca bersamaan.

Mythomania adalah istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh psikiater bernama Ferdinand Dupre pada tahun 1905. Penderita gangguan ini percaya pada kebohongan yang dibuatnya dan menganggapnya nyata. Ia tidak tahu kalau sedang berbohong karena semua hal dilakukan di luar kesadarannya.

Setelah mendengar penjelasan singkat Huda, ketua tim mengangguk. Ia mempercayakan introgasi Yuda padanya. Berharap setidaknya akan ada sedikit petunjuk yang bisa mereka dapatkan.

"Anda, siapa Anda sebenarnya?" Huda bertanya tanpa basa-basi.

Yuda balas mengerutkan kening. Masih belum mengerti ke mana arah pertanyaan Huda.

"Yuda Saputra. Saat seseorang memanggil Anda dengan nama itu apa tidak ada apa pun yang Anda rasakan?" tambah Huda.

Yuda masih tidak menanggapi.

Huda memperlihatkan catatan konsultasi yang ada di tangannya. Huda membuka di lembar vonis, tepat di mana kata Mythomania ditulis.

Lama Yuda menatap kata itu. Tatapannya datar, tapi hatinya jelas bergejolak. Itu lukanya. Seseorang membuka lembar ingatannya, memperlihatkan seberapa besar dirinya pernah dikoyak.

"Paman Anda, 'kan... ah bukan," Huda meralat "Bapak Iwan, 'kan yang membuat Anda seperti ini? Orang yang mengatakan akan menjadi keluarga jika Anda mau membuang identitas Anda dan menjadi Yuda. Awalnya Anda percaya. Anda percaya Anda adalah Yuda Saputra."

Yuda menyimak. Tidak berencana mengintrupsi atau menghentikan Huda.

"Tapi kemudian terjadi pergolakan. Anda bahkan tidak bisa mengenali diri Anda lagi. Tidak tahu wajah siapa yang Anda lihat di depan cermin. 'Ini siapa? Saya sebenarnya siapa?' Kenapa? Apa itu perasaan bersalah? Membuang diri Anda dan mencuri identitas orang lain?" Huda sengaja menekan kata 'mencuri' untuk menyerang Yuda.

Huda mengatakan semua hal yang dibacanya dari catatan konsultasi dan pemeriksaan kejiwaan Yuda Saputra. Ia menambahkan beberapa dengan penalaran pribadinya.

Yuda menelan ludah. Tatapannya terlihat terluka tapi tidak ia alihkan. Tidak berpura baik-baik saja atau menutupi perasaannya. Ia menatap Huda lekat.

"Kenapa Anda membunuh? Anda berbeda dari mereka. Anda bukan seseorang yang terobsesi atau begitu ingin menghabisi nyawa orang lain." Huda beralih pada kasus. "Paling tidak, itu yang saya pikirkan tentang Anda."

Air mata Yuda tiba-tiba menetes. Sesuatu memenuhi benaknya. Memaksanya bernostalgia dengan masa lalu yang menyakitkan.

Yuda mengalihkan pandangannya sesaat sebelum mengusapnya. Ini adalah akhir dari kesedihannya. Setelah air matanya kering, ia akan kembali menjadi Yuda Saputra, salah satu dari tiga pembunuh racun Wolfsbane.

"Tapi itu bukan berarti aku tidak mau melakukannya," jawab Yuda.

Yuda tidak lagi memasang ekspresi yang menyebalkan. Tapi cara menjawab yang seenaknya tetap membuat orang geram.

Huda mengerutkan kening. Ia butuh penjelasan lebih lanjut.

"Aku membunuh karena mereka adalah orang yang memang pantas diberi hukuman. Jika menunggu kalian bergerak harus berapa lama? Menunggu terlalu lama akan membuat semakin banyak luka. Tidak langsung menangkap pelakunya akan menghasilkan korban lain."

Yuda membuat pengakuan, kalimat paling krausial yang kedua sekutunya saja belum mau buka mulut sekeras apa pun didesak.

"Luka yang kami alami, kalian tidak akan pernah tau seperti apa mengerikannya," Yuda mengakhiri kalimatnya.

"Bukankah orang yang Anda benci adalah paman Anda. Jika marah seharusnya Anda memukulnya. Menjadikan orang lain sebagai alasan, bukannya itu pengecut!" sengit Huda.

Yuda membuang muka. Waktu tanya-jawab sudah berakhir. Ia tidak akan membuang-buang tenaga lagi untuk meladeni semua pertanyaan yang diajukan padanya. Toh pengakuan yang diinginkan sudah keluar dari mulutnya.

Yuda Saputra seharusnya sudah meninggal dalam kecelakaan bersama kedua orang tuanya. Terpangang dalam mobil. Seharusnya sudah tertimbun tanah sejak lama. Ia menggunakan identitas orang lain. Menerima sesuatu yang seharusnya tidak boleh ia lakukan sejak awal.

Nama Yuda Saputra seharusnya hanya tinggal nama. Kebohongan yang orang sekelilingnya dokterinkan padanya, lambat-laun ia percaya. Ia adalah Yuda. Kemudian terbiasa dengan kebohongan itu, menjadikannya nyata.

Untuk menutupi satu kebohongan harus melahirkan kebohongan lain. Berulang kali. Akhirnya ia bertindak, berpikir, dan melakukan semua hal seperti Yuda melakukannya. Ia percaya Yuda adalah dirinya dan berhenti menganggap semua hanya kepura-puraan.

Hingga suatu hari pergolakan itu datang.

Ia tanpa sengaja melihat sebuah nisan atas namanya di samping nisan kedua orang tua Yuda. Hari-hari bagai neraka dimulai. Keragu-raguan akan dirinya. Ia terombang-ambing.

"Ini aku!"

"Tidak, ini bukan aku!"

Bahkan wajahnya sendiri tidak lagi bisa ia kenali. Tertekan, depresi, putus asa. Ia bahkan mencoba mengakhiri hidupnya. Dua kali, dan gagal.

Kematian belum menginginkannya. Penderitaan lebih menyayanginya.