Hari yang lain namun masih di bawah langit yang sama, musim yang sama, dan kepadatan kota yang sama.
Hari-hari yang menggemparkan mengenai pembunuhan berantai dengan menggunakan racun lambat-laun mulai reda. Tepat ketika keempat pelakunya telah tertangkap dan sedang menjalani proses peradilan.
Setelah kasus pembunuhan dengan menggunakan racun dari tanaman Wolfsbane diserahkan ke jaksa penuntut umum, tim khusus dibubarkan dan semua kembali ke satuan masing-masing.
Suksesnya pembentukan tim khusus tahap pertama memunculkan wacana akan diberlakuan di seluruh wilayah dengan angka kejahatan tinggi. Dengan persentase terbanyak kasus rumit belum terpecahkan.
'Hari-hari yang tenang kembali dimulai' kalimat itu tidak seutuhnya tepat. Kenyataannya, ketika sesuatu telah selesai, sesuatu yang lain akan dimulai.
Korban meninggal ditemukan di sebuah rumah makan. Seseorang tanpa identitas. Korban meninggal setelah terlibat perkelahian dengan pemilik rumah makan. Meninggal di tempat.
Menurut keterangan para saksi, saat baru datang, korban yang sempoyongan tiba-tiba membuat kekacauan. Diduga mabuk, pemilik rumah makan pun berusaha mengusirnya.
Tidak terima diusir, membuat keduanya terlibat perkelahian. Baru dihatam dua pukulan, korban ambruk. Tidak lagi bangun.
Beberapa petugas Reserse unit Jatanras bersama dengan unit Inafis mengadakan olah TKP. Hasilnya, satu-satunya terduga adalah pemilik rumah makan.
Iwata yakin ada sesuatu lain yang telah terjadi. Tidak ada aroma alkohol yang menandakan korban baru saja meneguk minuman keras atau obat-obatan, tapi semua saksi mata mengatakan saat baru datang korban sudah sempoyongan. Apa penyebabnya?
"Lapor Pak, ada luka di belakang kepala korban." Seorang pemuda dari unit Inafis memperlihatkan temuannya.
"Apa luka seperti itu bisa menyebabkan kematian?" rekan Iwata bertanya.
"Kalau terjadi pendarahan di bawah selaput keras otak, iya bisa. Pendarahan karena putus atau robeknya pembuluh balik. Tapi untuk membuktikan itu harus dilakukan otopsi lebih dulu."
"Jadi?" Rekan Iwata menyilangkan tangan di depan dadanya. Harga dirinya terusik mendengar seorang bocah bau kencur membuat asumsi yang dianggapnya terlalu berani. Tanpa melakukan otopsi lebih dulu.
"Menurut keterangan saksi, waktu korban masuk jalannya sudah sempoyongan. Anehnya tidak ada aroma alkohol atau bekas jarum suntik. Bisa jadi saat korban datang dia sudah sekarat karena luka di kepalanya."
"Luka di kepala mungkin karena terpleset di suatu tempat atau apa pun itu. Tapi bukannya pemilik rumah makan melakukan kekerasan pada korban. Dia menghantamkan tinjunya dua kali ke rahang korban. Kalau memang korban meninggal karena pendarahan di bawah selaput keras otak, bukannya pemilik rumah makan juga bisa jadi penyebabnya."
Adu argumen berlanjut. Rekan seangkatan Iwata bersikeras bahwa pelakunya adalah pemilik rumah makan karena semua saksi menunjuk ke arahnya. Sementara seorang pemula dari unit Inafis percaya bahwa yang terjadi tidak sesederhana yang tampak di depan mata.
Pemula itu mengatakan dugaan-dugaannya. Bahwa kemungkinan korban telah bertemu dengan seorang pencopet. Dibuktikan dengan tidak ditemukannya dompet korban di mana pun.
Pencopet kemungkinan menyerang korban karena aksinya tertangkap basah. Korban yang masih berusaha mengejar meski terluka, melihat pelaku memasuki rumah makan dan mengikutinya.
Seperti keterangan bocah dari unit Inafis, tidak lama kemudian seorang petugas menemukan dompet korban di tempat sampah tidak jauh dari rumah makan.
Setelah Komandan yang bertugas memimpin penyelidikan datang, mayat korban dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan otopsi dan menemukan penyebab kematian yang sebenarnya.
"Kamu," panggil Iwata ke pemuda itu. "Namamu siapa, sepertinya saya baru lihat kamu?"
"Saya Atmaja, Pak. Penyidik pembantu dari unit Inafis," jawabnya.
"Dia masih di Akpol. Salah satu pelajar berprestasi, makanya pimpinan khusus merekomendasikan dia," seorang senior dari unit Inafis menambahkan.
"Kalau begitu selamat bergabung." Iwata menyalami Atmaja.
Meski malu-malu, Atmaja balas menjabat tangan Iwata. Hidungnya mengembang.
Setelah hasil otopsi ke luar, penyelidikan kembali dilanjutkan. Hasilnya sama seperti yang diungkapkan Atmaja. Penyebab kematian adalah pendarahan di bawah selaput keras otak. Sumber pendarahan berasal dari robeknya pembuluh balik otak yang berada di bagian tengah.
Pemilik rumah makan pun dibebaskan dari kecurigaan.
Robeknya pembuluh otak bagian tengah seharusnya disebabkan oleh kekerasan yang berasal dari depan atau belakang. Untuk kasus ini disebabkan oleh kekerasan yang berasal dari kepala bagian belakang dan bukannya dari tinju yang menghantam rahang kanan dan kiri korban.
Pelaku sebenarnya adalah keponakan yang tinggal bersama pemilik rumah makan. Pelaku ditangkap dua jam setelahnya. Sidik jari yang masih tertinggal di dompet korban, menjadi bukti mutlak yang tak terbantahkan.
Iwata yang akan pergi setelah berkeliling sebentar di sekitar TKP kasus yang baru terselesaikan, melihat Sakhi.
"Sakhi!" sapa Iwata setengah berteriak.
Sakhi berdiri di pinggir trotoar hendak menyeberang, mengurungkan niatnya. Ia tinggal untuk beberapa saat. Berbasa-basi singkat dengan Iwata.
"Kalau mengingat yang tempo hari saya jadi malu. Menangis sampai seperti itu. Benar-benar menyedihkan." Sakhi tersenyum malu-malu.
Melihat sakhi terisak sampai seperti itu sejujurnya Iwata memang terkejut. Tapi setelah mendengar cerita Kak Alan mengenai penyebabnya, Iwata mengerti. Salah satu cara meredakan kesedihan adalah dengan menangis. Bentuk perlindungan diri manusia dari tekanan emosional yang tidak mampu ditahannya. Cara manusia untuk bertahan dari rasa sakit.
"Manusiawi kok," Iwata menanggapi. "Kalau sedih, menangis. Kalau jengkel ya marah. Semua orang juga begitu."
"Omong-omong, kenapa malam itu Bapak mencari saya?"
"Ah, itu," Iwata berpikir sesaat "…untuk berterima kasih," dustanya. Padahal jelas ia merasa khawatir. "Sebenarnya saya dan yang lain ke kafe, tapi ada yang bilang Sakhi libur."
"Iya. Saya memang mengambil libur." Sakhi berucap sekenanya, tidak tahu harus menanggapi bagaimana.
"Hmm… apa malam ini Sakhi ada waktu?"
"Malam ini?" Sakhi mengulang. Ia terlihat terkejut. Tanpa persetujuan, imajinasi berkeliaran seenaknya.
"Ini bukan ajakan nge-date loh." Iwata cepat-cepat menjelaskan situasinya, tidak ingin ada kesalahpahaman. "Tim khusus dibubarkan sampai pemberitahuan selanjutnya dan Komandan Iryand meminta kami berkumpul untuk ucapan terima kasih."
Begitu mendengar penjelasan Iwata, Sakhi terkikik pelan. Ia merasa malu pada dirinya sendiri. Juga malu pada Iwata, entah pria itu tahu atau tidak apa yang ada di kepalanya.
Melihat ekspresi malu-malu yang tampak di wajah Sakhi, fenomena yang menimpa Iwata tempo hari saat kafe, terjadi lagi. Situasi yang menurutnya mendadak aneh. Wajah Sakhi yang terasa terlalu dekat, terlalu manis, dan jantungnya yang berdebar terlalu cepat.
"Kenapa?"
"Kenapa?" Iwata mengulang tidak mengerti.
Ketika sadar, tanpa sengaja Iwata telah meletakkan tangannya di depan dada. Memastikan bahwa yang berdebar benar-benar jantungnya. Ia menarik tangannya dengan ekspresi malu-malu yang sama, seperti yang sebelumnya Sakhi tunjukkan.
Sakhi tidak dapat menahan diri untuk kembali terkikik, membuat wata semakin salah tingkah.
"Kalau begitu di kafe jam 08.00 malam."
Sakhi mengangguk setuju. Mereka akan bertemu lagi malam ini di kafe dan bukan untuk nge-date. Setelah kesepakatan berhasil dibuat, keduanya berpisah jalan. Kembali ke kesibukan masing-masing.
"Hah... benar-benar bodoh," Iwata mendesis pada dirinya sendiri.
Iwata tidak langsung kembali ke kantor. Ada tempat lain yang sudah ia rencanakan untuk didatangi. Seseorang yang ingin dikunjunginya. Hazim.
Iwata memiliki kebiasaan memeriksa kembali kasus yang telah terselesaikan. Ia melakukannya agar tidak ada kesalahan dalam penangkapan, penemuan barang bukti, dan yang terpenting untuk meminimalisir risiko melewatkan sesuatu yang penting. Itu adalah caranya berhati-hati dalam melaksanakan tugas.
"Petunjuk yang kamu tinggalkan di TKP..."
"Pak Polisi..." Hazim memotong kalimat yang belum selesai Iwata ucapkan "Apa Bapak ke sini untuk menyampaikan keluhan? Apa Bapak merasa harga diri Bapak sebagai seorang polisi jatuh karena menerima petunjuk yang sengaja ditinggalkan penjahatnya?"
Hazim tidak berubah. Sifat menyebalkannya masih tetap sama.
Iwata berusaha tetap tenang, tidak ingin terpancing. "Kenapa sepatu?"
"Apa?" Kening Hazim berkerut. Ia tidak menanggapi untuk beberapa lama, kemudian menyeringai menyadari sesuatu.
Lagi-lagi.
Iwata merasa dipermainkan dengan perubahan ekspresi yang tiba-tiba. Tidak ada gunanya. Seperti prediksinya di awal, datang dan menemui Hazim hanya memiliki persentase keberhasilan sebanyak 0.2%.
Hazim masih mengenakan topeng menyebalkannya sebagai perlindungan dirinya. Tidak akan mudah menembus pertahanannya. Tidak akan mudah membuatnya bicara.
Iwata datang hanya untuk memastikan. Karena hal yang paling ingin ia tanyakan telah dikatakan, tidak ada alasan untuk tinggal lebih lama.
Hazim mengantar kepergian Iwata dengan tatapannya.
"Sepatu, ya," Hazim bergumam. "Orang itu benar-benar sesuatu. Prediksi-prediksinya selalu membuatku kagum," tambahnya berbicara pada dirinya sendiri.
***
Di kafe tepat pukul 08.00 malam. Semua datang tepat waktu. Kali ini ketua tim sengaja mengumpulkan anggotanya. Secara pribadi ia juga meminta maaf dan berterima kasih pada Sakhi.
Diperlakukan dengan sangat formal oleh ketua tim, membuat Sakhi canggung dan serba salah. Untungnya Haikal seorang pakar pencair suasana. Ia sangat peka dengan ketidak nyamanan yang terjadi di sekitarnya.
Haikal menceritakan guyonan singkat dan dengan bantuan Huda, semua orang ikut terbahak.
Makanan datang. Mereka bisa kembali tenang untuk beberapa saat. Berbicara hanya beberapa patah kata. Fokus menghabiskan menu yang sudah dipesan.
Huda menyebutkan kekagumannya pada Sakhi karena rekomendasi minuman yang pernah ditawarkan beberapa waktu lalu. Pemilihan rasa yang sangat hebat. Kombinasi antara buah yang satu dengan buah yang lain menghasilkan rasa yang unik.
Menyinggung masalah rasa secara tidak langsung menyinggung penyakit Sakhi. Serempak Iwata dan Haikal menyenggol Huda. Sendok penuh nasi dengan potongan ayam pedas yang akan ia suap mendarat di hidungnya. Semua orang kembali terbahak.
"Enggak apa-apa." Sakhi sama sekali tidak terganggu. "Manusiawi kok. Di balik kekurangan pasti ada kelebihan," tambah Sakhi meniru gaya bicara Iwata siang tadi.
"Wah bijaksana sekali," seru Haikal menggoda.
"Itu juga termasuk kelebihan saya," bangga Sakhi. Yang lain tersenyum, Huda mengacungkan dua jempolnya.
"Kasus sudah selesai, pelaku sudah tertangkap," Huda membuka pembahasan lain. Terdengar jelas luapan kelegaan dari nada bicaranya. "Ternyata dari awal Bagas memang tidak ada hubungannya dengan kasus."
"Itu patut disyukuri," ketua tim menimpali "Atau kita akan semakin tidak habis pikir karena ada begitu banyak orang yang terlibat."
Benar. Tidak ditemukan titik keterlibatan Bagas dalam kasus pembunuhan secuil pun. Firasat yang Iwata rasakan sebelumnya mungkin salah. Mungkin juga firasat Iwata tidak lagi setajam dulu.
Bagas. Tapi tetap saja mendengar nama itu membuat Iwata tidak tenang.