Sakhi benar-benar lengah. Ia lupa kalau penjahat lebih sering muncul dari belakang untuk menangkap targetnya.
Paling tidak adegan itu yang sering Sakhi lihat dalam film. Karena sering dimunculkan dalam film, harusnya ia lebih memfokuskan pertahanan bagian belakang, bukannya justru kecolongan.
Pengintaian hari ini gagal total. Lebih dari itu, Sakhi tertangkap.
"Seharusnya aku menurut saat diriku yang lain menyuruh kembali. Itu artinya memang ada hal buruk akan terjadi. Firasat." Sakhi berbicara pada dirinya sendiri.
Tidak ada gunanya menyesal sekarang. Kabar baiknya Sakhi telah meninggalkan jejak. Jadi, kalau pun ia menghilang untuk selamanya, kalau pun ini hari terakhinya –walau tidak ingin berpikir seperti itu, pikiran itu muncul dengan sendirinya– ia bisa langsung ditemukan.
Sakhi menghela nafas. Berharap orang yang tadi ia hubungi segera memeriksa pesannya.
"Tolong segera sadarkan orang itu. Kirim dia kemari untuk menolongku." Sakhi memohon dalam hati. Memelas dengan segala kerendahan dirinya.
Orang itu?
Sakhi menggeleng. Sebenarnya tidak peduli siapa pun asal bisa segera bebas dari situasi tidak diinginkan ini. Asal ia bisa segera pulang dan memeluk Kak Hania, meminta maaf atas tingkah-tingkahnya yang sering tidak menurut.
Sakhi diikat mengunakan kabel ties di kedua tangan dan kakinya. Ia duduk di lantai. Sakhi tidak sendiri, ada target lain yang tengah berbaring tidak sadarkan diri. Seorang pria tengah baya. Tuan rumah. Tangan dan kakinya diikat sama sepertinya, bedanya mulutnya disumpal. Bedanya lagi, ada darah yang keluar dari kepalanya.
Darah! Sakhi merasa ngeri.
Mereka berada di ruang tamu. Ada banyak lukisan yang mengantung di dinding. Asbak rokok yang memiliki noda darah tergeletak begitu saja di lantai. Abunya berhambur kemana-mana.
Ponsel yang tidak sempat Sakhi sembunyikan sudah berpindah ke tangan Yuda. Baru diletakkan di atas meja, sebuah panggilan masuk. Yuda mengabaikannya, sibuk dengan si target pria yang sudah mulai sadar.
Yuda mengeluarkan tang dan kater kecil yang ia simpan di balik baju bagian belakang, siap dengan aksinya.
Mendengar ponselnya terus bergetar, Sakhi ingin sekali bergerak nekat, mengambil, dan mengangkat pangilan yang ia yakin dari Iwata kemudian meneriakkan satu kata, 'tolong.'
Seandainya, seandainya saja tangan dan kakinya tidak diikat. Seandainya ia memiliki keberanian lebih.
Sayangnya selama apa pun Sakhi mencoba mengumpulkan semua keberanian yang dimilikinya, ia tetap dipenuhi keragu-raguan. Apa lagi saat matanya tertuju pada kater dan tang yang ada di tangan Yuda. Bayangan mengerikan mengenai bagaimana Yuda akan membareti kulitnya, mencabut semua kuku dan giginya dengan kasar langsung terlintas dalam benaknya. Membuatnya bergidik ngeri.
Meski tidak bisa merasakan sakit, tetap saja semua yang Sakhi bayangkan terasa menakutkan.
Nyalinya menciut seketika.
"Apa sebelumnya kamu tahu..." Sakhi bertanya ragu.
Yuda yang sibuk menggesek tang dan kater satu sama lain, membuat suara terdengar ngilu, berhenti.
"Iya aku tahu."
"Tahu?! Jadi kamu benar-benar sudah tahu selama beberapa hari ini kubuntuti, kumata-matai, dan hari ini kamu sengaja ingin menjebakku se..." Sakhi membungkam mulutnya seketika.
Ada yang salah. Ekspresi yang Yuda tunjukkan bukan seperti ia sudah tahu. Seharusnya kalau benar tahu, ia tidak akan terkejut mendengar kalimat Sakhi. Tidak akan mengangkat alisnya.
Merasa sudah terlalu banyak bicara, tenggorokan Sakhi mengering tiba-tiba. Ia menelan ludah, ketakutan.
"Kubuntuti, kumata-matai," Yuda menyebut dua kata terpenting dari kalimat yang baru Sakhi ucapkan "Beberapa hari ini?"
"Ka-tamu... tadi-kamu-ta-hu." Sakhi mendadak tergagap. Pucat. Ingin sekali menangis.
"Aku tahu. Aku tahu namamu Sakhi Fitriya. Aku tahu kamu tinggal di panti Rumah Kami. Aku tahu sebelumnya polisi menangkapmu karena berpikir kamu adalah pelaku pembunuhan yang mereka cari. Aku tahu itu, tapi aku tidak tahu kalau selama beberapa hari ini dibuntuti, dimata-matai."
Merasa tertarik dengan apa yang baru didengarnya, Yuda beralih pada target barunya. Ia berjalan perlahan, mendekati Sakhi.
Semakin dekat Yuda ke arahnya, semakin jantung Sakhi berdetak cepat. Terlalu cepat sampai-sampai ia yakin tidak lama lagi nafasnya akan terputus. Bukan karena Yuda membunuhnya, melainkan karena jantungnya yang mendadak melompat ke luar.
Yuda berjongkok untuk menyejajari Sakhi, membuatnya lebih mudah menjangkau targetnya. Ia mendekatkan kater yang ada di tangan kanannya ke wajah Sakhi.
"Mau... mau apa?!" Sakhi menarik wajahnya menjauh, memejamkan wajahnya.
"Hebat! Kamu bisa lebih cepat menyadari keberadaanku dibanding polisi-polisi itu. Bisa memata-mataiku, bisa sampai ke sini," kata Yuda sembari membelai wajah Sakhi dengan katernya.
Sakhi menelan ludah lagi. Ia memejamkan matanya semakin erat. Wajahnya semakin pucat seolah tidak dialiri darah. Meski kalimat Yuda terdengar sebagai pujian, ia tidak merasa patut berbangga diri. Waktunya mungkin sudah dekat. Tapi Sakhi sungguh berharap Iwata bisa segera datang dan menemukannya.
Kalau pun bukan Iwata tidak apa-apa. Siapa pun, siapa pun tolong...
Dalam hati, doa semakin kencang Sakhi panjatkan.
Suara teriakan dari mulut terbekap target pertama membuat perhatian Yuda teralihkan dari Sakhi. Pria itu sudah sadar sepenuhnya sekarang. Ia meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari ikatan yang mejeratnya. Percuma. Bergerak sebanyak apa pun ikatannya tidak akan melonggar.
Yuda mengisi mulutnya dengan udara dan menekannya ke kiri, membuat sebelah pipinya menggembung. Ia berpikir sesaat.
Sebenarnya Yuda ingin berbicara dengan Sakhi sedikit lebih lama, sayangnya ini bukan waktu yang tepat. Beralih lagi. Yuda berjongkok, kali ini menyejajari target pertamanya.
"Sebagai tersangka pelaku pedofil, aku putuskan kamu bersalah. Aku akan mulai melakukan penghukuman, membuatmu membayar seluruh luka orang lain, yang diakibatkan oleh tindakanmu."
Tang yang ada di tangan kiri Yuda digunakan untuk mencabut kuku ibu jari sebelah kiri. Seketika, tanpa ragu.
Pria itu berteriak dengan mulutnya yang terbekap, lagi. Kali ini bukan karena marah melainkan sakit. Air matanya bahkan sampai menitik. Sakhi yang tidak tega, memejamkan mata dan membuang muka. Suara pria yang terbekap itu berubah lagi. Kali ini terdengar seperti tangis yang diisak-isakkan. Rintihan sakit. Memohon ampun.
"Pria ini melakukan kekerasan seksual pada anak di bawah umur, berkali-kali, dan bukan hanya pada satu anak." Yuda bicara pada Sakhi.
Sakhi masih memalingkan wajahnya, masih tidak tega.
"Dia menawarkan pada anak-anak yang ditemuinya di jalan untuk bermain game di rumahnya. Anak-anak yang masa depannya dirusak, yang diperlakukan seenaknya, yang menangis ketakutan sepanjang malam. Sementara dia, bisa tetap makan dan tidur dengan nyenyak, tanpa perasaan bersalah sedikit pun. Bukankah dia menjijikan? Tidakkah menurutmu dia pantas mati?" tanya Yuda.
Sungguh, Sakhi ingin segera menjawab dengan kata 'iya.' Tapi kata yang hanya terdiri dari tiga huruf itu tidak kunjung terucap meski sudah berada di ujung lidahnya.
Sakhi sering ikut menonton saat Kak Alan dan Kak Hania duduk di depan televisi. Berita mengenai kekerasan seksual pada anak di bawah umur yang semakin marak, banyak menjadi pemberitaan. Setelah ditindak akan mereda, tapi tahun depan akan terjadi lagi dan semakin merajalela. Miris. Bagaimana seseorang masih bisa dikatakan manusia setelah melakukan hal mengerikan seperti itu.
Sakhi memiliki banyak adik di panti. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika salah satu dari adiknya disakiti. Sakhi tahu ia juga akan membenci, memiliki keinginan untuk membunuh. Tapi…
Jawaban masih belum bisa Sakhi ucapkan meski ia sangat ingin mengatakan 'iya.' Masa kecilnya juga termasuk buruk meski dalam hal berbeda. Tapi sama seperti anak-anak yang baru saja Yuda ceritakan, ia juga korban dari kelakar orang dewasa.
Berkata 'iya' hanya akan memprovokasi Yuda. Membuatnya menghabisi nyawa korbannya lebih cepat.
Tidak boleh. Sakhi yakin pencarian terhadap dirinya sudah mulai dilakukan. Yang perlu ia pikirkan bagaimana caranya mengulur waktu.
"Aku..." Sakhi memelankan suaranya "Tidak berhak menghakimi." Suara Sakhi nyaris tidak terdengar, tenggelam di akhir kalimatnya.
"Bukankah sudah aku bilang, aku tahu!" Yuda menegaskan suaranya, tersirat nada marah di dalamnya. "Aku tahu kamu juga korban. Aku tahu kamu nyaris mati saat ditemukan, aku tahu kamu tidak akan pernah lagi mengenal rasa. Aku tahu! Jadi kenapa, kenapa bersikap sok naif seperti ini?!"
Sakhi terbelalak, tidak menyangka Yuda mengetahui begitu banyak hal tentang dirinya. Tentang penyakitnya, tentang masa kecilnya yang menyedihkan.
Seketika itu juga muncul begitu banyak pertanyaan dalam benak Sakhi. Dari mana Yuda bisa tahu, kenapa Yuda bisa tahu, dan siapa sebenarnya Yuda. Kenapa Yuda memperlihatkan seolah ia mengerti mengenai lukanya. Seolah merasakan luka yang sama.
Yuda mulai membuat baretan inisial K. Ia menahan tangan korban yang meronta dengan tangan dan kakinya.
Sakhi ingin bertanya 'kenapa, tahu dari mana,' tapi kata yang keluar dari mulutnya berbeda.
"Kalau dia pantas mati bagaimana dengan kamu yang membunuh karena obsesi gila. Membunuh karena terobsesi, bukannya kalian sama-sama menjijikan?" Suara Sakhi bergetar.
Yuda berhenti membaret." Obsesi?"
"K itu Kira, 'kan? Membunuh orang-orang yang pernah melakukan kejahatan, bertindak seolah melakukan hal yang benar…"
"Kira? Aku memang pembunuh. Tapi bukan karena terobsesi seperti katamu. Bukan mencari pengakuan karena aku menghabisi orang-orang yang memang pantas mati. Apa untungnya membunuh untuk obsesi? Apa perlunya mencari pengakuan?" Yuda berbicara dengan memunggungi orang yang ia ajak bicara. Tatapannya jatuh, tertuju pada noda darah di ujung sepatunya.
Obsesi dan mencari pengakuan, tidak satu pun?
"Aku membunuh karena aku membenci orang-orang seperti dia. Aku membencinya sampai ubun-ubunku selalu mendidih. Bukannya orang dewasa harusnya melindungi, mengayomi. Bukan kasar, egois, dan berengsek. Aku membunuh karena mereka begitu menjijikan," ucap Yuda. "Tidak ada hubungannya dengan obsesi dan pengakuan."
Sakhi membaca ekspresi Yuda ketika pria itu menatapnya. Ada kesedihan yang bercampur dengan amarah yang menggebu-gebu. Sakhi tidak tahu alasannya. Ia hanya bisa menduga-duga, mungkin ikut bersimpati jika dibutuhkan.
"Kumohon... berhenti," Sakhi meminta dengan tulus.
Meski samar, suara sirine polisi terdengar berhenti di kejauhan. Kendaraan roda 4 tidak bisa menjangkau ke tempat Sakhi berada. Jalan masuk terlalu sempit dan pemukiman terlampau padat.
Pasukan mulai dikerahkan. Mereka bergerak cepat dengan langkah-langkah beraturan dan serentak. Sesuai komando. Siap menyergap. Keselamatan para korban adalah yang utama.
Yuda menyadari itu. Bahwa sebentar lagi polisi akan berkumpul dan mengepung ke tempat dimana ia berada. Jika tidak bergerak sekarang ia tidak akan lagi bisa kabur.
Yuda tidak panik. Tidak sedikit pun. Ia meneruskan rencananya tanpa merasa terganggu sedikit pun. Tetap tenang. Melakukan aksi seperti sebelum-sebelumnya, melewati tahap-tahap dengan teratur.
Seperti dugaan Sakhi, ada sesuatu di balik jam tangan yang dikenakan Yuda.
Jam berwarna silver dengan model seperti kebanyakan jam pria itu memiliki tebal yang sedikit berbeda dengan jam tangan sejenisnya. Jelas modifikasi karena memang dibuat untuk menyembunyikan sesuatu. Bagian terpenting dari serangkaian aksinya. Alat pembunuh. Racun.
Yuda yang sejak awal sudah mengenakan sarung tangan tetap berhati-hati saat mengeluarkan racun, menandakan zat mematikannya memang sangat berbahaya. Yuda membuka ikatan yang membekap mulut targetnya, siap menyelesaikan misi.
"Jangan..." larang Sakhi. Ia terisak. "Polisi sudah dekat, bukankah seharusnya kamu pergi. Biarkan dia kali ini. Mungkin dia sudah menyesal. Polisi pasti menghukum tindak kejahatannya. Aku akan menjadi saksinya. Jadi..."
Sakhi tidak sepenuhnya yakin dengan apa yang harus ia ucapkan. Ia hanya tidak ingin seseorang dibunuh di depannya dan ia hanya menonton. Satu-satunya kalimat yang terpikirkan hanya memberi saran bagi pelaku untuk melarikan diri. Bukankah seharusnya saran seperti itu menggiurkan di detik-detik seperti ini.
Bukannya tergiur, Yuda justru terbahak. Ia merasa kalimat yang Sakhi ucapkan lucu. Mendengar saran untuk melarikan diri itu menggelitik. Tapi menjadi menyebalkan karena diikuti dengan saran lain untuk membiarkan korban di depan matanya hidup.
Ditertawakan itu menyebalkan. Walau pun berada di situasi yang menegangkan, yang membuatnya ingin kabur sejauh-jauhnya, Sakhi tetap merasa kesal. Ia berjanji tidak akan berbicara lagi.
Sebelum memberikan sentuhan terakhir pada targetnya, bagian paling menarik dari semua tahapan, Yuda beralih menatap Sakhi. Awalnya itu masih tatapan manusia biasa, tapi sorot matanya kemudian berubah. Tatapan yang mengerikan karena seluruh kelakar jahat seperti tergambarkan di sana. Licik, keji, beringas, semua.
Tidak ada yang bisa Sakhi lakukan. Seluruh otot-otot menegang kaku, ngeri. Ia menggigit bibir bagian bawahnya, keringat dingin mulai menjalari punggungnya. Detik-detik yang tidak akan pernah Sakhi lupakan seumur hidupnya. Ia bersumpah.
Yuda meninggalkan pria yang akan dieksekusinya untuk sementara. Kembali beralih pada Sakhi. Cukup merepotkan memang menangkap dua mangsa sekaligus. Tapi bagian menariknya akan segera ia perlihatkan.
Tidak ingin diganggu lagi dengan suara berisik Sakhi, Yuda membekap mulut Sakhi dengan lakban yang ada di meja. Setelah selesai, ia bisa melanjutkan tahap eksekusinya dengan tenang.
"Lihatlah bagaimana orang seperti ini harus dihukum!" Yuda menegaskan suaranya.
Dengan mata kepalanya sendri, Sakhi melihat jelas bagaimana racun mematikan itu dengan paksa ditengukkan ke dalam mulut pria yang segera akan menjadi korban ketiga belas.
Sakhi meronta, berharap bisa melakukan sesuatu. Tapi yang ada justru membuat pergelangan tangannya terluka. Semakin ia berusaha keras, semakin gesekan pengikat melukai kulitnya.
Para polisi sudah berkumpul di luar. Bersiaga. Teriakan peringatan juga terdengar berkali-kali, memerintahkan Yuda untuk menyerah. Untuk membebaskan tawanannya.
Kesempatan terakhir untuk kabur telah hilang. Tidak ada jalan keluar lagi untuknya melarikan diri.
Yuda masih bergeming di tempatnya. Tidak merasa terintimidasi dengan semua peringatan-peringatan yang para polisi serukan padanya.
Setelah korban yang Yuda paksa menenguk racun melemas, baretan inisial K pun ia selesaikan dengan tenang. Semua tahapan eksekusi dilakukannya sesuai urutan yang seharusnya.
Tim yang ditugaskan menyelinap melalui pintu belakang telah sampai di ruang utama. Tempat penyekapan. Dimana korban dan pelaku berkumpul.
Senjata ditodongkan ke arah Yuda dengan perintah untuknya menyerah.
Yuda tidak mencoba kabur atau melawan. Ia mengikuti semua yang diperintahkan layaknya anak baik nan penurut. Membuang senjata, mengangkat tangannya ke kepala. Ia akhirnya diringkus. Misi penyelamatan berakhir dengan cepat tanpa kendala apa pun.
Tidak melakukan perlawanan, tidak mencoba untuk kabur. Keadaannya sama sekali bukan seperti tidak ada harapan untuk menyelamatkan diri. Yuda memiliki kesempatan, bahkan di saat-saat terakhir ia bisa memanfaatkan Sakhi sebagai sandera. Melakukan perundingan dengan para polisi, dengan imbalan kebebasannya. Tapi ia tidak melakukan itu. Jangankan mencoba, berpikir pun tidak.
Seharusnya ada banyak kesempatan untuk melarikan diri, untuk membuat pembunuhan yang dilakukannya berjalan bersih seperti sebelum-sebelumnya. Seharusnya ia menghancurkan ponsel Sakhi dan mematahkan kartunya untuk menghilangkan jejak. Agar lokasinya tidak terlacak. Agar kejahatannya berakhir tanpa masalah.
Seharusnya Yuda adalah profesional dan sangat mengetahui prosedur-prosedur itu. Seharusnya.
Sakhi benar-benar tidak mengerti apa yang Yuda pikirkan. Sakhi bahkan meragukan pengintaian yang dilakukan seorang amatir seperti dirinya benarkah sama sekali tidak disadari Yuda.
Mungkin saja Yuda sadar. Mungkin saja Yuda sengaja memilih hari ini untuk melakukan pembunuhan. Ingin ditemukan. Ingin seseorang menangkap dan menghentikannya.
Mungkin.
Sakhi menatap Yuda lekat saat polisi memborgol dan menggiringnya. Melewati keramaian yang mulai semakin padat oleh warga yang menonton.
Tandu yang membawa korban pria yang ditawan bersama Sakhi diangkut menuju ambulans yang ada di depan jalan. Pria itu masih bernafas, masih ada kemungkinan untuk menyelamatkan nyawanya.
Selagi tim medis yang datang bersama polisi mengobatai luka lecet di pergelangan tangan Sakhi, Huda mencatat semua pernyataan yang Sakhi berikan. Sesekali terdengar Iwata mengomel, mengungkapkan banyak kekhawatirannya. Mengutarakan pengandaian-pengandaian yang berulang. Membuat penjelasan Sakhi terhenti di tengah-tengah. Huda sangat ingin menggoda tapi Iwata sama sekali tidak memberi jeda saat bicara.
"Maaf, Mak maaf," ucap Sakhi dibarengi dengan ekspresi polos seorang bocah yang merasa bersalah.
Gelak tawa pecah. Huda dan beberapa petugas yang mendengar terpingkal-pingkal. Situasi berubah gaduh.
Haikal yang sejak tadi bergabung dengan tim identifikasi dari unit Inafis, sibuk melakukan olah TKP. Setelah menyelesaikan tugasnya, ia ikut bergabung dengan Iwata dan Huda. Siap kembali ke markas.
"Kurasa pelaku tidak benar-benar menikmati saat korbannya merasa tersakiti ketika kukunya dicabut atau baretan kater menyentuh telapak tangan," Haikal berkata tiba-tiba. "Karena jika benar mereka ingin menikmati, seharusnya tangan diikat di depan, bukannya ke belakang. Dengan begitu pelaku bisa melukai sekaligus menikmati wajah-wajah kesakitan tak berdaya korbannya."
Sakhi mengangguk setuju.
"Itu tidak akan mengubah apa pun," ketua tim yang baru datang menimpali. "Kejahatan tetap kejahatan meski dilakukan dengan menangis darah sekali pun."
Sakhi mengangguk lagi. Apa yang ketua tim katakan juga benar. Ia setuju.