Ketua tim baru kembali dari laboratorium forensik. Ia bertemu dengan salah satu dokter yang membantu menangani kasus pembunuhan berantai Wolfrsbane. Menanyakan apa ada kemungkinan pembunuhan dilakukan oleh lebih dari satu orang.
Dokter forensik memperlihatkan beberapa foto pada ketua tim. Foto yang digunakan untuk mendukung penjelasannya. Foto itulah yang kemudian dibawanya ke kantor untuk ditunjukkan pada ketiga anggota yang lain.
Foto baretan inisial K yang ada di telapak tangan setiap korbannya dijajar di meja. Berurut, dari korban pertama sampai korban terakhir.
"Dari baretan yang dilakukan ke telapak tangan korban bisa terlihat emosi yang ditunjukkan atau bagaimana sifat si pelaku." Ketua tim meng-copy kalimat yang diucapkan dokter psikologi forensik padanya.
Sembari menuturkan penjelasan, ketua tim mengelompokkan ke-12 foto menjadi tiga bagian.
Kelompok foto pertama, setiap sayatan dalam, menunjukkan amarah yang besar.
Kelompok foto kedua, sayatan dilakukan dengan sesukanya, berantakan.
Kelompok foto yang terakhir, tidak dalam, tidak berantakan. Lebih rapi dan teratur.
Dugaan awal sayatan-sayatan yang terlihat berbeda hanya sebuah kebetulan. Tapi kemudian terjadi lagi. Ritmenya yang teratur menepis dugaan awal.
Sayatan memang dilakukan oleh orang yang berbeda. Emosinya benar-benar nyata, tidak seperti sesuatu yang dibuat-buat.
Dalam setiap pembunuhan, pelaku pasti akan selalu meninggalkan jejaknya. Entah itu berupa emosi atau cerminan dari sikapnya.
Pembunuhan dengan menggunakan racun seharusnya yang paling minim meninggalkan jejak, karena pelakunya tidak melakukan kontak langsung dengan korban saat membunuh.
Misalnya mencekik yang sedikit banyak bisa menggambarkan tinggi pelaku. Berkelahi yang bisa mengukur kekuatan pelaku, atau menghujamkan serangan dengan senjata tajam yang bisa memperlihatkan cara menggenggam senjata pelaku dan tangan mana yang merupakan tangan dominan.
Kesalahan pertama yang dilakukan pelaku adalah meninggalkan inisial berupa sayatan. Sesuatu yang membuat pelaku melakukan kontak secara langsung pada korban tanpa aturan. Membuat bukti bahwa pembunuhan dilakukan oleh orang yang berbeda, tertinggal.
"Aturan?"
"Memukul bagian belakang korban dengan benda tumpul juga merupakan kontak langsung dengan korban, tapi memiliki aturan 'jangan sampai mati." Ketua tim menambahkan dengan penjelasan pribadinya.
"Jadi ada kemungkinan sayatan inisial K dibuat saat korban masih bernyawa." Iwata berargumen.
"Kenapa?" Huda bertanya polos.
"Karena itu menyenangkan." Haikal mengambil alih sebagai penjawab. Ia menyeringai dengan tatapan dingin. "Karena jika korban sudah mati, tidak akan terlihat wajah penuh penderitaan menahan sakit. Emosi pelaku tidak akan terlihat sejelas ini."
Melihat ekspresi Haikal, Huda merasa ngeri. Ia melemparkan tatapan ke arah Iwata kemudian ketua tim. Ketua tim yang sama ngerinya kemudian memukul Haikal dengan map yang berisi laporan yang tadinya diletakkan di meja.
"Jangan perlihatkan wajah seperti itu pada kami," tandasnya.
"Maaf, Komandan."
Tatapan kembali tertuju pada foto-foto yang masih dijajar berdasarkan kelompoknya, satu-satunya fokus utama.
Ketua tim melipat tangannya di depan dada, berpikir. Dalam keadaan apa pun aura wibawanya terlihat kuat. Huda bertopang dagu, Iwata menyandarkan punggungnya di kursi, dan Haikal meneliti satu persatu foto yang ada di depannya.
"Ternyata memang ada pelaku ketiga." Haikal berbicarapada dirinya sendiri.
"Tapi dia siapa? Kita sama sekali tidak punya gambaran tentang yang ketiga." Huda meremas rambutnya. Benar-benar masih ada terlalu banyak tanda tanya.
"Ada!" Iwata melihat ke arah Haikal.
"Bukan saya!" kata Haikal dengan cepat, mengingat pembicaraan keduanya selamam.
Iwata yang terus mengatakan pada Haikal bahwa ia mencurigakan. Bahwa ia memiliki kriteria sebagai pelaku ketiga.
"Saya tidak bilang itu kamu." Iwata merasa geli dengan tingkah Haikal yang menganggap serius pembicaraan mereka. "Tapi seseorang yang merasa terdesak biasanya memang akan berubah sensitif."
"Ck."
"Kedua orang itu" Yang Iwata maksud adalah Arjuna Zeroun dan Hazim, "Jejek orang ketiga pasti tertinggal pada rekannya."
Huda kembali bertopang dagu. Kepalanya begitu berat hari ini. Ia sudah memeras otak bahkan sampai detik-detik terakhir. Kurang tidur dan penyelidikan kasus terus menjadi beban pikiran. Sesekali berharap saat ia bangun dan keesokan paginya kasus sudah terpecahkan. Tapi yang terjadi ia harus kembali berpikir, memutar otak, menduga-duga.
"Untuk saat ini kita abaikan yang ketiga. Kita fokus pada dua orang yang kita curigai. Jika teliti, seperti kata Iwata, kita pasti bisa mendapatkan celah untuk sekaligus menangkap yang ketiga. Sekarang, kita harus membuat yang pertama dan kedua berada dalam genggam." Ketua tim berubah antusias.
"Tapi sejauh penyelidikan kita selama ini, tidak ditemukan hubungan antara Arjun dan Hazim. Saya malah berpikir mereka tidak saling menyadari kehadiran satu sama lain," Huda menimpali lagi.
Diam, semua berpikir.
Pasti ada. Cara untuk para pelaku berinteraksi tanpa dicurigai. Entah itu diam-diam atau sembunyi-sembunyi. Entah itu melalui perantara atau orang ketiga. Pasti ada.
Pelaku harus membuat rencana, bertukar informasi, juga menentukan korban selanjutnya. Tidak mungkin tanpa interaksi mereka bisa sejalan tanpa bersimpangan sekali pun.
'Tapi... tadi di swalayan saya berpapasan si penulis novel misteri, Arjuna Zeroun. Rumahnya ada di arah lain, jadi bukannya aneh kalau dia pergi sejauh itu untuk berbelanja beberapa keperluan kecil.'
"Ah, saya tahu!" Iwata berseru ketika teringat kalimat yang pernah Huda ucapkan.
"Di swalayan, 'kan tempat Hazim bekerja." Huda menebak apa yang Iwata pikirkan. Iwata mengangguk.
"Benar. Bertemu di tempat seperti itu tidak akan dicurigai," Haikal ikut menanggapi.
"Oke. Kalau begitu kita bagi dua kelompok. Arjun dan Hazim. Telusuri tempat-tempat lain yang memungkinkan mereka melakukan interaksi dan cari tahu kemungkinan hubungan keduanya."
"Siap Komandan!" Sahut ketiganya serempak.
Sesuai instruksi ketua tim, kelompok dibagi menjadi dua. Komandan Iryand dan Haikal menangani Arjun, mencari tempat-tempat lain yang memungkinkan keduanya berinteraksi secara langsung. Iwata dan Huda menangani Hazim dan mencari tahu hubungan yang mungkin dimiliki keduanya.
Bagian menemukan hubungan artinya Iwata dan Huda harus mengorek masa lalu Hazim. Mencari permulaan dimulainya persekongkolan jahat mereka, bagaimana bisa bertemu, dan kenapa melakukan kejahatan sampai sejauh ini.
Mengorek masa lalu dengan harapkan bisa membuat mereka menemukan benang merah yang menghubungkan Arjun, Hazim, dan orang ketiga.
Iwata mendapat informasi bahwa seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala panti yang pernah Hazim tinggali, datang mengunjungi kerabatnya di kota ini. Dia baru datang pagi tadi dan berencana menginap selama dua hari.
Bu Fatimah 52 tahun.
Setelah panti ditutup, Bu Fatimah hidup sebagai ibu rumah tangga biasa bersama suami dan dua anak laki-lakinya. Suaminya kemudian meninggal karena sakit. Tidak lama setelahnya, Bu Fatimah akhirnya pindah dan tinggal bersama anaknya di kota perantauan.
Setelah sekian lama, ini pertama kalinya ia kembali. Keponakan kesayangannya akan menikah dan ia datang untuk menghadiri resepsinya.
Sementara Iwata pergi menemui Bu Fatimah, Huda pergi ke swalayan tempat Hazim bekerja. Ia sedang mengumpulkan CCTV sebagai bukti pertemuan Hazim dan Arjun, juga kemungkinan adanya orang ketiga.
Tidak ingin Hazim berubah waspada karena dicurigai dan memiliki komplotan, Huda beralasan datang untuk menyelidiki hilangnya kabel ties. Sejauh ini hasil penyelidikan masih mereka sembunyikan.
Dua hari kemudian penyelidikan masih terus dilakukan. Pun hasilnya belum juga berubah. Dari semua hasil yang dikumpulkan sama sekali belum bisa menyimpulkan siapa orang ketiga.
Iwata yang bertugas menyelidiki masa lalu Hazim sejak di panti juga tidak menemukan adanya hubungan dengan Arjun.
Pertemuan pertama dengan kedua orang yang mereka curigai masih menjadi misteri.
Dari rekaman CCTV swalayan, Huda menemukan tidak hanya Arjun yang pernah berbelanja di sana. Ada juga Bagas dan Yuda Saputra. Orang-orang lain yang pernah mereka curigai.
Selain itu, Huda menemukan sebuah fakta baru mengenai Hazim.
Tiga tahun lalu saat pertama kalinya Hazim bekerja di sebuah swalayan –sebuah swalayan berbeda, yang juga buka 24 jam– ada sebuah insiden yang melibatkannya.
Saat itu lewat tengah malam. Hazim bertugas jaga, sementara salah satu temannya berada di gudang untuk mengurus beberapa barang. Seorang perampok masuk. Ia membawa senjata dan menodongkannya pada Hazim. Memaksa mengeluarkan semua uang yang berada di kasir, tidak berhenti membentak.
Keadaan menegangkan, membuat takut.
Tidak lama setelah teman jaga Hazim datang, Hazim sudah berlumuran darah. Bukan dia yang terluka melainkan si perampok. Perampok itu meregang nyawa, sekarat. Teman Hazim segera menghubungi polisi dan memanggil ambulans.
Hazim berubah pendiam sejak hari itu. Kadang-kadang badannya gemetar tanpa sebab. Masih syok. Tiga hari kemudian Hazim mengundurkan diri dari tempatnya bekerja. Memilih mengurung diri di rumah.
Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi karena tempat kejadian berada di area yang tidak bisa dijangkau CCTV. Polisi juga mengatakan bahwa apa yang dilakukan Hazim murni tindakan bela diri. Meski tidak dihukum, Hazim diharuskan tetap melapor. Ia didampingi oleh seorang psikiater.
"Sekarang dimana si perampok berada?" Ketua tim mengintrupsi penjelasan Huda.
Huda menghela nafas, kemudian menggeleng "Tidak ditemukan." Hazim melanjutkan penjelasannya. "Saat kondisi perampok sudah membaik, dia meninggakan rumah sakit. Seorang saksi melihatnya. Namun sampai saat ini masih belum ditemukan. Namanya juga masuk dalam DPO."
Haikal mengambil alih setelah Huda menutup penjelasannya. Haikal menemukan tempat lain yang digunakan Hazim dan Arjun untuk berinteraksi. Perpustakaan daerah. Ia mendapatkan salinan daftar pengunjung dan beberapa kali tertera nama Hazim dan Arjun pada hari yang sama, di waktu yang berbeda.
Seperti halnya temuan Huda, temuan Haikal pun tidak cukup kuat untuk diajukan sebagai bukti.
Pertama karena tempat-tempat itu adalah tempat umum yang siapa pun bisa datang dan pergi sesukanya.
Kedua, waktu-waktu dimana keduanya bertemu sangat acak. Tidak selalu sebelum dan setelah terjadi pembunuhan.
Terakhir, karena tidak ada rekaman percakapan. Bukti kuat tentang kemungkinan mereka terlibat pembicaraan mengenai menyusun rencana pembunuhan atau yang lainnya.
Iwata berharap mereka bisa memiliki surat perintah untuk penggeledahan. Ia sangat yakin pasti bisa menemukan sesuatu. Ketua tim sudah mencoba. Tapi sekali lagi, bukti permulaan yang mereka miliki tidak cukup kuat.
Ketergesa-gesaan penyelidikan mengenai kasus ini sudah cukup sering terjadi dan hanya menghasilkan kesalahan. Jadi, pimpinan tidak ingin mengambil risiko lagi.
"Lagi-lagi berujung buntu." Huda mendesis.
"Seandainya kita bisa menemukan yang ketiga, kita pasti bisa mengisi waktu-waktu yang kosong antara Hazim dan Arjun." Haikal menghela nafas. Tampaknya pengandai-andaiannya terlalu berat.
"Orang yang memakai topeng adalah orang yang tidak merasa aman dengan dirinya." Iwata entah berkata pada siapa. "Huda, ikut saya!"
"Apa? Kemana?"
Tidak menjawab. Iwata hanya berlalu saja.
Meski tidak tahu akan pergi kemana, lagi-lagi Huda tetap mengekori Iwata dengan patuh.
Ketua tim melempar pandangan pada Haikal. Haikal sendiri mengangkat bahu tanda ia juga tidak tahu. Tidak mengerti dengan apa yang sedang Iwata pikirkan.
Sampai pada tempat yang dituju, Iwata masuk ke swalayan 24 jam. Setelah mengambil dua kaleng minuman dingin, Iwata menuju kasir. Ia menggerbrak meja. Tatapannya tajam seolah hendak melahap orang yang berdiri di depannya saat ini juga.
Hazim, orang yang berdiri di meja kasir bersikap ramah, berusaha menanyakan apa yang salah dan menawarkan bantuan. Namun tatapan Iwata tetap tidak melembut.
"Senior…" Huda mulai khawatir.
Huda berusaha menenangkan. Sudah cukup baginya peringatan yang didapatkan Haikal karena bersikap emosional. Ia tidak ingin untuk kedua kalinya rekan satu timnya yang lain juga mendapatkan peringatan yang sama. Membuat keberadaan tim khusus semakin tidak mampu diselamatkan lagi.
"Tiga tahun lalu... bagaimana rasanya saat berhasil membuat orang lain nyaris mati? Dia meregang nyawa, tepat di depan matamu?" Iwata mengucapkan kata-katanya dengan nada datar.
Tatapan Iwata masih tajam. Awas mengawasi setiap detail perubahan yang dilakukan targetnya.
"Dan... setelah membunuhnya, bagaimana rasanya? Lega karena itu berjalan dengan mudah? Atau menjadi menakutkan karena kamu menyadari ada sesuatu yang mengerikan dalam dirimu?" kata Iwata lagi.
Awalnya Hazim masih tetap bersikap ramah. Menganggap petugas yang ada di depannya hanya salah paham. Semakin mendengar apa yang Iwata ucapkan, senyumnya mulai memudar. Raut wajahnya dipenuhi tanda tanya.
'Apa maksudnya?'
"Ah, pasti terasa menyenangkan, ya." Iwata menyeringai, merasa jijik. "Setelah melakukannya sekali jadi tidak bisa berhenti. Saya ingin melakukannya lagi, ini menyenangkan. Membunuh itu seperti candu, bukan? Setelah melakukannya sekali jadi ketagihan."
Raut wajah Hazim berubah lagi. Kali ini tampak khawatir. Seperti seseorang yang tertangkap basah telah menyembunyikan sesuatu. Meski begitu ia hanya mendengarkan saja Iwata berbicara. Tidak memutus atau menyela dengan pembelaan diri.
Iwata masih memprovokasi.
"Hanya membunuh orang-orang yang pernah melakukan kejahatan. Kamu pikir itu keren?" Iwata mendekatkan wajahnya. Suaranya merendah, berbisik. "Pembunuh tetaplah pembunuh. Bersembunyi dibalik nama menegakkan hukum itu... pengecut. Sangat menjijikan!"
Hazim terlihat mulai terprovokasi. Giginya bergemeletuk geram.
"Orang yang memakai topeng adalah orang yang tidak merasa aman dengan dirinya. Dengan kata lain dia orang yang paling mudah diprovokasi." Hazim buka suara. Ia menjaga volume suaranya dengan baik hingga terdengar tenang.
Mendengar kalimat itu keluar dari mulut Hazim, Iwata terkejut. Huda bahkan terngaga. Itu kalimat Iwata.
"Pasti Bapak berpikir seperti itu," kata Hazim lagi.
Melihat ekspresi dua petugas di depannya, Hazim tersenyum. Kali ini tidak terlihat ramah seperti biasanya. Itu senyum mengejek. Berhasil menemukan sesuatu di saat yang tepat untuk menyudutkan lawanmu, itu menyenangkan.
"Tapi..." kali ini Hazim yang mendekatkan wajahnya, menurunkan volume suaranya, lebih rendah lagi "Bagaimana kalau topeng yang Bapak anggap topeng itu adalah topeng yang sebenarnya? Karena aku ingin orang lain berpikir seperti itu."
Hazim kembali mengubah ekspresinya. Seperti tidak terjadi apa-apa. Ia mengambil belanjaan Iwata dan menghitung jumlah yang harus dibayar. Ia kembali tersenyum dengan ramah.
"Rp8.000."
Iwata mengeluarkan dompet dan membayar dengan uang sepuluh ribu.
"Kembaliannya Rp2.000, terima kasih."
Iwata masih menatap Hazim lekat selama beberapa saat sebelum akhirnya mengambil belanjaannya dan pergi.
Hazim dapat mengubah-ubah ekspresi wajah sesuai keinginannya. Petunjuk baru yang membuat Iwata merasa bersemangat, ingin lebih mengetahui kepribadian Hazim. Ada bagian dalam dirinya yang mengatakan 'saya menemukan lawan yang tepat.'
Ekspresi sedih, merasa seolah tertangkap basah, terkejut, khawtir, marah, ia berulang kali memainkannya untuk mengacaukan Iwata.
Microexpression yang katanya tidak bisa dipalsukan karena dilakukan secara tidak sadar dan berlangsung cepat sebelum orang lain bisa menyadarinya, kira-kira dalam hitungan 1/15 sampai 1/20 detik, Hazim bisa memalsukannya. Nyaris sempurna.
Gerakan otot sudut bibir yang tertarik dan mengecang di satu sisi wajah sebagai ekspresi merendahkan orang lain. Ekspresi terkejut yang ditunjukkan dengan alis terangkat, mata melebar, dan rahang terbuka. Ekspresi sedih yang terlihat seperti pandangan mata kehilangan fokus dan sudut bibir tertarik ke bawah. Otot-otot di sekitar mata yang tertarik menegang dan menciptakan lipatan di kulit mata tanda lega, ataupun ekspresi marah. Hazim bisa melakukan semuanya.
Untuk pertama kalinya, Iwata merasa telah menemukan musuh yang harus ia akui kemampuan memanipulasinya.
"Haaah... sepertinya aku ketahuan." Hazim berkata. Bukan pada dirinya sendiri tapi pada orang lain yang ada dalam swalayan bersamanya.
Sebelum Iwata dan Huda datang, orang itu sebenarnya sudah datang lebih dulu untuk berbelanja. Terlalu fokus pada Hazim membuat Iwata dan Huda melewatkan keberadaan orang lain.
Tidak menyangka akan ada 2 petugas yang mendatangi Hazim, membuat orang itu kebetulan mendengar terlalu banyak. Ia memilih tetap diam di tempatnya karena tidak ingin membuat kacau situasi. Tidak ingin mengganggu saat dua orang membicarakan sesuatu yang begitu penting.
Jadilah, ia hanya mematung saja di rak mie instan sebagai penguping.
Bagas. Ia keluar dengan keranjang belanjaannya untuk membayar.
"Kamu tahu itu provokasi, tapi tetap saja terpancing dan menanggapi seperti itu." Bagas menyerahkan belanjaannya pada Hazim untuk dihitung.
Hazim tersenyum. "Saat kamu tahu siapa lawanmu, bukankah saat itu permainan jadi menyenangkan."
"Benar-benar ya, ciri khas bertarungmu enggak pernah berubah."