Chereads / Serial Killer (Initial K) / Chapter 7 - #Bagian 6 Wolfsbane II: Pendeteksi manusia serigala.

Chapter 7 - #Bagian 6 Wolfsbane II: Pendeteksi manusia serigala.

Pagi yang baru kembali dimulai. Tapi kesibukan yang sama masih menggeluti kubu tim khusus.

Setelah penetapan Sakhi sebagai tersangka dan surat perintah penahanan dikeluarkan, tim bergerak lebih agresif. Mereka terus melakukan pencarian, penyelidikan, dan meneliti kembali laporan-laporan yang sudah masuk. Segalanya harus lebih jelas agar mereka bisa segera mengklarifikasi jika terjadi suatu kesalahan. Termasuk penahan Sakhi.

Siang harinya setelah melakukan penyelidikan, Iwata menjenguk Sakhi yang sudah dipindahkan ke rumah tahanan sementara. Ia tidak meminta izin kepada komandan sebagai ketua tim atau teman-temannya yang lain. Iwata yakin tidak akan ada masalah. Lagi pula masih ada beberapa hal yang harus ia dengar jawabannya.

Sakhi diantar seorang sipir wanita masuk ke sebuah ruang besuk. Ruang luas dimana ada beberapa meja dan kursi. Di ruangan dimana para pembesuk bisa bertemu dengan tahanan secara langsung dan bertatap muka.

Wajah Sakhi tidak seburuk apa yang Iwata pikirkan. Sakhi bahkan masih bisa tersenyum saat mengetahui siapa pembesuknya. Tidak ada mata sembab atau bengkak karena menangis semalaman. Tidak juga gurat tanpa gairah hidup layaknya orang depresi. Untuk seorang perempuan Sakhi tergolong kuat.

"Sepertinya Anda punya waktu yang cukup untuk tidur." Kalimat basa-basi Iwata hanya ditanggapi senyuman oleh Sakhi.

Sebelumnya Sakhi sangat suka memiliki banyak waktu luang dan bersantai. Tapi setelah mendapatkan terlalu banyak waktu luang, entah kenapa ia justru merindukan kesibukannya.

Sakhi ingin segera kembali ke saat-saat ia bisa membuat sarapan, membantu Kak Titin dan pengurus lainnya mengajar anak-anak panti, pergi bekerja, dan memikirkan menu baru.

Padahal belum lama Sakhi meninggalkan kesehariannya, tapi ia sudah begitu merindukannya.

"Jadi…" Iwata memulai "Setelah meninggalkan rumah Anda pergi kemana?" tanyanya serius.

"Bukannya sudah saya jelaskan ke polisi yang satunya." Sakhi memperbaiki duduknya. Mencondongkan badannya sedikit ke belakang. "Begitu ke luar rumah saya langsung pergi ke tempat kerja. Melewati pasar yang ramai, mampir ke swalayan membeli barang-barang titipan Kak Hania, dan ke kafe. Tapi belum sampai..."

"Saya sudah memastikan," Iwata memotong "Kak Hania bilang Anda pergi dari rumah lebih awal, pukul 14.00. Perjalanan dari rumah ke kafe hanya menghabiskan waktu setidaknya 35 menit sembari berbelanja. Tapi ada banyak jeda sebelum sampai ke kafe."

Sakhi diam tertunduk, merasa tertangkap basah.

Iwata menambahkan penjelasannya.

Hampir setiap minggu Sakhi pergi dari rumah untuk ke kafe lebih awal tapi sampai lebih lambat. Iwata sudah mengkonfirmasinya ke bos tempat Sakhi bekerja juga ke teman-temannya. Tidak satu pun dari mereka yang tahu kemana Sakhi pergi dalam jeda waktu kosong.

Tidak ada yang tahu, sama seperti ketidak tahunan mereka mengenai Congenital Analgesia yang dideritanya.

Sakhi masih hanya diam.

"Saya bilang 'baik' itu artinya saya akan membantu sebisa mungkin. Jadi bukankah seharusnya Anda juga bekerja sama." Iwata berusaha membujuk. "Anda ingin berlama-lama terkurung di tempat ini?"

Sakhi menghela nafas panjang, mengubah duduknya lagi, dan kembali diam. Sakhi menghela nafas lagi, kali ini lebih panjang, lebih lama. Akhirnya ia mulai bicara.

"Saya yatim piatu." Meski merasa berat, Sakhi mulai bercerita.

Sebelumnya Sakhi tidak pernah menceritakan apa yang dirasakan dan apa yang dialaminya pada siapa pun.

Sebenarnya berat menanggung beban pikiran seorang diri. Beberapa kali terpikir untuk menceritakannya pada orang lain. Mungkin Kak Hania atau Kak Alan. Setelah bercerita ia pasti akan merasa sedikit lega. Atau Rin. Teman baiknya di tempat kerja sangat bisa menjaga rahasia dan bisa dipercaya.

Tapi kemudian Sakhi memikirkannya lagi dan pada akhirnya ia mengurungkan niatnya.

Sakhi sangat menyukai waktu luang dimana ia bisa menyendiri. Menikmati setiap waktu. Sebenarnya menyedihkan. Ia jadi memikirkan banyak hal dalam hidupnya.

Tapi, jika terlalu sering berkumpul dengan orang lain, Sakhi takut lepas kendali dan menceritakan semua yang memenuhi otaknya. Hal yang paling tidak ia inginkan.

Setelah mulai bercerita akan sulit untuk berhenti. Pun ketika ceritanya telah selesai, pandangan orang lain terhadap dirinya sedikit-banyak pasti berubah. Ada 2 kemungkinan, pertama mengasihani dan satu lagi khawatir.

Akhirnya Sakhi mengalihkan pikirannya dengan membeli banyak buku dan komik untuk menemani waktu luangnya.

"Kak Hania bilang saya ditemukan di taman perempatan pusat kota pada umur dua setengah tahun dalam keadaan sekarat. Tempat itu harusnya menjadi tempat paling menyakitkan, tapi entah kenapa setiap minggu saat pergi kerja saya selalu ingin ke sana."

Mata Sakhi mulai berkaca-kaca.

"Kenapa jika ingin membuang saya harus di tempat itu. Daerah yang lekat dengan tempat berkumpulnya keluarga."

Kesedihan terlihat begitu menumpuk di mata Sakhi. Meski matanya sempat berkaca-kaca, tetap tidak ada air yang tumpah. Mungkin Analgesia membuat hatinya beku tanpa rasa sakit.

"Saya ingin sekali mengetahui bagaimana rupa orang yang membuang saya. Berharap dia akan datang lagi ke taman. Entah untuk menyesali perbuatannya atau mengenang saya. Saya selalu menunggu sampai 30 menit atau lebih. Saya merasa bodoh karena terus menunggu, tapi minggu selanjutnya saya datang lagi."

Sakhi telah menyelesaikan ceritanya. Iwata memberi jeda waktu kosong. Membiarkan Sakhi menguasai kembali perasaannya. Menyelesaikan pergolakan yang ada dalam hatinya, menenangkan gejolaknya.

Setelah cukup memberi waktu, Iwata mengeluarkan foto korban yang segaja ia selipkan di buku catatan dan menjajarnya di meja. Iwata memperlihatkannya pada Sakhi dan menyebutkan nama serta pekerjaan mereka. Iwata menjelaskannya secara singkat.

"Jadi benar ini kasus pembunuhan berantai," Sakhi berkomentar. "Sepertinya sangat rumit." Ia kembali menatap lekat foto-foto yang ada di depannya.

"Bahkan setelah sebelas korban jatuh, kami masih belum memiliki perkembangan lebih mengenai identitas pelaku."

"Omong-omong, racun jenis apa yang dipakai?" Sakhi bertanya. "Sepertinya mempengaruhi kerja jantung. Saya merasakannya dengan jelas."

"Wolfsbane. Jenis tanaman yang seharusnya tidak mudah ditemukan," jelas Iwata singkat.

"Wolfsbane?" Sakhi merasa tidak asing dengan nama tanaman itu. "Ah! Tanaman yang katanya bisa digunakan untuk mendeteksi manusia serigala, 'kan?"

Menurut cerita rakyat, Wolfsbane adalah tanaman yang selalu dikaitkan dengan kekuatan supranatural. Beberapa cerita menyebutkan bahwa seseorang bisa menjadi manusia serigala jika menggunakan Wolfsbane. Tapi justru ada yang mengatakan Wolfsbane digunakan untuk membunuh manusia serigala.

Yang jelas, menurut kepercayaan, Wolfsbane selalu dihubung-hubungkan dengan cerita mengenai manusia serigala. Entah digunakan untuk mendeteksi, membunuh, atau bahkan berubah menjadi manusia serigala.

Racun Wolfsbane juga sudah sejak lama digunakan sebagai alat membunuh. Dalam mitologi Yunani diceritakan, Medea pernah berusaha meracuni Theseus dengan secangkir anggur yang dicampur Wolfsbane.

"Ternyata ada mitos seperti itu." Iwata berkata pada dirinya sendiri setelah mendengar cerita singkat Sakhi mengenai Wolfsbane dan manusia serigala.

"K?" Sakhi menunjuk satu persatu huruf K yang dibaret di telapak tangan setiap korban.

"Itu identitas yang ditinggalkan pembunuhnya sebagai jejak."

"Kenapa K?"

Iwata berpikir cukup lama. Ia mengira-ngira, mempertimbangkan jawaban apa yang akan ia berikan. Selama ini ia tidak pernah berpikir bahwa inisial K adalah sesuatu yang penting.

Iwata melewatkannya, anggota yang lain juga tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang harus dipecahkan teka-tekinya. Cukup hanya melakukan penyelidikan dan menangkap pelaku.

"Mungkin..." Iwata masih tidak yakin dengan jawaban yang akan ia ucapkan "Identitas pelaku, atau huruf yang disukainya."

"Oh," Sakhi membentuk bulat bibirnya, tidak tahu lagi harus menanggapi bagaimana.

Sebenarnya Sakhi berharap ada jawaban yang lebih menarik. Jika pemikiran si pelaku sesederhana huruf yang disukainya, seharusnya sekarang pelaku sudah mendekam di penjara. Tidak perlu menjadikannya sebagai kambing hitam.

Ah, seandainya... Sakhi benar-benar berharap.

Iwata merapikan kembali foto-foto yang dijajarnya dan mengembalikannya lagi ke dalam agenda.

"Bisa minta tolong?"

Iwata menghentikan kegiatannya untuk mendengarkan permintaan tolong Sakhi lebih lanjut.

"Tolong sampaikan pada Kak Hania saya baik-baik saja. Kak Hania orangnya lemah. Kalau sedang menghawatirkan sesuatu dia pasti mudah jatuh sakit. Sampai saya keluar dari penjara dia tidak boleh jatuh sakit. Tidak boleh bertambah kurus atau saya tidak akan membuatkan sarapan lagi untuk mereka." Sakhi lagi-lagi terlihat menahan kesedihannya.

"Akan saya sampaikan," angguk Iwata.

"Terimakasih."

"Kalau Anda mengingat sesuatu tolong beritahu saya. Itu pasti akan sangat membantu."

Sakhi hanya mengangguk. Iwata meninggalkan ruangan terlebih dahulu dan sipir penjaga membawa Sakhi kembali ke selnya.

***

Rapat singkat sedang diadakan. Haikal menyampaikan beberapa hal yang diperoleh dari penyelidikannya. Terkait pencariannya mengenai kemungkinan pemicu atau penyebab kasus bermula. Penyelidikan ia khususkan pada korban pertama.

Beberapa hari ini Haikal selalu mondar mandir mencari saksi, dan berkali-kali membolak-balik laporan berkas korban pertama, Haikal mendapat sesuatu yang ia rasa harus disampaikan kepada anggota yang lain. Seseorang yang mungkin saja bisa menghantarkan mereka pada sesuatu yang penting.

Atau, bisa jadi orang itu sendiri adalah sesuatu yang penting.

Haikal menempelkan sebuah foto di papan putih, bersandingan dengan korban pertama. Wajah dalam foto itu tidak asing. Akhir-akhir ini wajahnya sering sekali terlihat menghiasi beberapa stasiun televisi dan media sosial.

Haikal mulai menceritakan apa yang ditemukannya selama penyelidikikan.

Orang dalam foto adalah seseorang yang melaporkan Suratman –korban pertama, ke kantor polisi. Orang itu melihat kekerasan yang Suratman lakukan saat menagih hutang. Kekerasan yang akhirnya menyebabkan anak si penghutang jatuh dari beranda rumahnya.

Nyawa anak itu sendiri berhasil diselamatkan tapi didiagnosa mengalami kelumpuhan seumur hidup.

Seorang anak yang baru berumur 9 tahun akan menghabiskan sisa hidupnya dengan berbaring saja di atas ranjang. Beberapa syarafnya terganggu dan otak kecilnya terluka.

"Tapi bukannya Suratman dituntut karena kasus pemerasan dan penipuan?" Huda mengintrupsi.

"Yap. Kejadian jatuhnya bocah dianggap sebagai kecelakaan. Pengadilan akhirnya menjatuhkan Suratman hukuman karena kejahatan lain. Dan tebak siapa yang paling berang?"

Tidak menunggu sampai seseorang memberikan jawaban, Haikal menjawab sendiri pertanyaan dengan mengetukkan jarinya pada foto yang baru ditempelnya.

Haikal kembali melanjutkan penjelasannya. Alasan mengapa ia mengaitkan orang dalam foto dengan kematian korban pertama.

Orang yang Haikal kenal sebagai detektif swasta yang beberapa kali menerima tawaran mencari dan menyelidiki latar belakang seseorang, ingat pernah memiliki klien orang dalam foto, dan orang yang diminta untuk diselidiki adalah Suratman.

Detektif swasta kenalan Haikal baru teringat mengenai Suratman karena melihat orang dalam foto sering muncul di televisi.

"Bagus! Berarti kita bisa memiliki terduga lain untuk korban pertama. Kita bisa menyelidikinya dengan leluasa karena kita memiliki saksi." Huda terlihat bersemangat.

Haikal menggeleng. "Dia bilang, dia tidak bersedia menjadi saksi. Dia bilang jika memang 'orang dalam foto' pelakunya, artinya dia akan menjadi tumbal selanjutnya. Dia tidak mau menyerahkan nyawanya dengan senang hati demi sebuah kesaksian."

"Apa-apaan itu!" Huda tidak terima. "Bukannya karena sikap pengecutnya akan ada lebih banyak orang yang menjadi tumbal. Kalau takut sesuatu yang buruk terjadi, polisi bisa melindunginya, 'kan?"

"Memang akan ada orang-orang seperti itu," ketua tim menimpali. "Apa masih ada yang mau disampaikan?"

Haikal mengangguk. "Ibu si anak menghilang. Beberapa hari setelah anaknya meninggal?"

"Anaknya meninggal?!"

"Ada dugaan dibunuh oleh ibu kandungnya."

Semua terdiam.

"Ibu si anak, dia menghilang atau bisa saja meninggal." Iwata yang lebih banyak diam akhirnya bersuara untuk pertama kalinya. Memikirkan dugaan lain mengenai kemungkinan yang bisa saja menimpa nasib si ibu.

Haikal yang masih menyelidiki keberadaan si ibu belum bisa memberikan jawaban pasti.

"Karena kita mempunyai terduga lain berarti kita sudah bisa memastikan Sakhi tidak bersalah dan bisa segera membebaskannya." Iwata beralih pada pembahasan lain namun masih berkaitan dengan kasus.

"Tidak bisa!" ketua tim menjawab cepat. "Ada perkembangan terbaru mengenai emosional pelaku yang kemungkinan tidak stabil karena mengalami tindak kekerasan semasa kecil." Kali ini ketua tim yang menyampaikan hasil penyelidikannya.

"Ah!" Huda berseru. "Sekarang seluruh korban memiliki riwayat pernah melakukan tindak kekerasan atau tindak kejahatan terhadap anak di bawah umur," Huda berkata setelah membolak-balik berkas-berkas yang berada di depannya.

"Dan Sakhi memiliki riwayat kekerasan saat kecil." Ketua tim menuturkan alasannya menolak usulan Iwata. "Bukankah Sakhi sekarat saat ditemukan seseorang, sebelum dibawa ke panti?"

'Kak Hania bilang saya ditemukan di taman perempatan pusat kota pada umur dua setengah tahun dalam keadaan sekarat...' Seperti kalimat yang Sakhi katakan beberapa saat lalu. Tentu Iwata tahu.

Iwata ingin membantah, mengatakan alasan itu tidak cukup untuk membuat Sakhi menjadi tertuduh. Ada banyak anak yang memiliki masa kecil tidak meyenangkan, namun tidak semua tumbuh menjadi seseorang dengan karakter buruk. Dan Sakhi adalah salah satunya.

Hening. Pada akhirnya Iwata hanya terlibat saling pandang cukup lama dengan seseorang yang menjabat sebagai ketua dalam timnya, seseorang yang sebenarnya sangat ia segani.

Iwata menyerah dan hanya tertunduk patuh.

"Kalau tidak ada hal lain yang perlu disampaikan kita kembali ke tugas masing-masing. Kita akan masukkan kasus ibu dan anak dalam penyelidikan kita. Mencari kemungkinan lain." Ketua tim mengalihkan pandangannya. "Huda minta bantuan unit Resmob untuk melakuan pencarian terhadap si ibu. Fokuskan juga pada penemuan mayat tanpa identitas."

"Siap Komandan!" Huda memberi hormat. Ia mulai merapikan mejanya.

"Saya dan Iwata akan menanyai lagi keluarga si ibu dan tetangga di tempat sebelumnya mereka tinggal." Haikal menyampaikan apa yang akan ia dan Iwata lakukan.

"Saya?" Iwata menatap ke arah Haikal.

Iwata sudah punya rencana untuk menyelidik di tempat lain. Dan kenapa Haikal tidak mengatakan hal ini lebih dulu padanya. Meminta persetujuannya.

Haikal hanya mengangguk, tidak ingin mendengar kalimat protes Iwata.

Terduga lain yang disebut orang dalam foto yang Haikal sandingkan dengan korban pertama adalah Arjuna Zeroun. Seorang penulis novel best seller. Dengan genre tulisan krimimal-thriller.

Tulisan Arjun cukup unik dan menarik karena mengambil sudut pandang pelaku kejahatan sebagai tokoh utamanya.

Beberapa dari buku Arjun yang sudah beredar di pasaran memang memiliki tingkat kekerasan yang tergolong ekstrim untuk beberapa orang. Karena kekejam digambarkan terlalu sadis, tulisan Arjun sering mendapat kritik pedas. Tapi justru kritik juga yang membuat namanya semakin melambung tinggi.

Arjun memulai debutnya sebagai penulis sejak 5 tahun lalu dengan menulis cerita-cerita pendek dengan genre dan gaya kepenulisan yang sama. Untuk novel sendiri sampai saat ini ia sudah meluncurkan 9 buku.

Sebelumnya sangat sulit untuk tulisan Arjun masuk dan di terima pasar. Mengingat genre romantis, horor, dan komedi selalu berada di atas angin. Tapi setelah beredar dan menunggu sedikit lebih lama, semua menjadi lebih mudah.

Ketenaran novel-novel Arjun mengikuti kepopulerannya. Beberapa kali diundang di acara talk show sebagai bintang tamu yang menginspirasi, atau diskusi-diskusi publik di bidang kepenulisan.

Untuk pertama kalinya Arjun mendapat dikontrak iklan sebuah produk vitamin, dan menyusul satu iklan lagi tidak lama kemudian.

Akhir-akhir ini Arjun menjadi lebih sering muncul di banyak program televisi nasional sebagai pemanis acara. Selain prestasi menulis, wajahnya yang di atas standar juga menjadi daya tarik tersendiri.

Beberapa orang bahkan memirip-miripkannya dengan salah satu aktor Hongkong Shawn Yue hanya karena memiliki senyum yang sama. Ada juga yang memiripkannya dengan Exile Takahiro, meski Arjun tidak memiliki lesung pipi. Padahal jelas, Takahiro dan Shawn Yue jauh berbeda.

Arjun sangat karismatik, tidak terlalu pandai melucu meski seorang pembicara yang baik. Ia juga memiliki pemikiran terbuka meski tidak jarang terlihat angkuh. Sebuah kepribadian yang kompleks.