Kemungkinan-kemungkinan yang tidak jelas adalah satu dari berbagai hal yang dapat menyesatkan penyelidikan. Namun tidak lantas mengabaikan segala kemungkinan tanpa memverifikasinya lebih dulu.
Berhati-hati adalah penting, tapi tidak lantas melewatkan setiap kemungkinan yang bisa menjadi petunjuk.
"Ada kemungkinan korban pertama bukan Suratman melainkan Ima." Iwata menambahkan keterangan Haikal. "Korban pertama seharusnya pembunuhan yang didasari dorongan perasaan yang dalam. Amarah, dendam, atau sejenisnya. Artinya tidak berpola, tidak terencana."
"Kalau begitu berarti dia menemukan tujuannya membunuh setelah itu," ketua tim bersuara.
"Karakter spesifik dari korban yang pernah memiliki kasus terhadap anak di bawah umur disamarkan dengan orang-orang yang pernah melakukan tindak kejahatan, agar motifnya tidak terbaca dengan jelas." Huda berbicara dengan nada bergumam seperti kebiasaannya yang sudah-sudah.
"Bagaimana dengan penyelidikanmu?"
Huda segera berdiri dari duduknya, menggantikan Haikal memberi laporan. Sesuai dengan instruksi ketua tim, Huda meminta bantuan satuan Resmob dan mereka sedang melakukan pencarian dan akan segera menghubungi begitu ada penemuan mayat yang dicurigai sebagai Ima Inayah.
Penyelidikan menyimpulkan bahwa selama hampir tiga tahun ini sama sekali tidak ditemukan adanya catatan penggunaan telepon, penarikan dan penggunaan pembayaran melalui rekening bank, atau penggunaan jaminan kesehatan. Jejaknya benar-benar hilang, lenyap di telan bumi.
Laporan yang Huda sampaikan semakin menguatkan dugaan bahwa Ima kemungkinan telah terbunuh.
"Panggilan telpon masuk dan keluar terakhir kali tertuju pada Prima. Dan keterangan selanjutnya sama seperti yang senior sampaikan," Huda menyelesaikan penjelasannya.
Saat seseorang telah meninggal namun tidak ada yang menyadari adalah bagian paling menyedihkan. Ada tidaknya orang tersebut seperti tidak memberi dampak berarti untuk orang lain yang masih hidup. Yang sebelumnya mengaku dekat dan mengenalnya.
Iwata melanjutkan pembahasan ke bagian selanjutnya, mengenai inisial K. K yang kemungkinan adalah Kira, julukan untuk salah satu karakter dalam komik Death Note terbitan Shonen Jump.
Keduanya –Iwata dan Haikal, sudah sepakat untuk mulai berpikir melalui sudut pandang yang Sakhi tawarkan dan menyampaikannya pada ketua tim dan Huda. Toh kemungkinan-kemungkinan itu masuk akal meski masih terasa berat untuk mereka akui.
"Kira, saya tahu nama itu!" Huda berseru.
"Tahu? Kenapa kamu tidak pernah bilang?" sungut Iwata.
"Karena saya pikir itu mustahil." Huda terdiam, berpikir. "Ha! Korban yang dibunuh sama-sama orang yang pernah melakukan kejahatan," tambahnya akhirnya sadar.
Iwata menepuk dahinya, menghela nafas, dan kembali melanjutkan kalimatnya.
Iwata membenarkan pernyataan Huda dengan menyebutkan bahwa kesamaan dari karakter Kira dengan kasus yang mereka tangani terletak pada korbannya. Korban sama-sama pernah melakukan tindak kriminal.
Iwata dan Huda menduga bahwa pelakunya adalah seorang Japanese freak dan mengusulkan untuk menyelidiki orang yang pernah mereka curigai dengan mengacu pada hal itu.
Lebih banyak menemukan karakteristik pelaku, membuat mereka melangkah semakin dekat kepada tersangka utama.
Japanese freak, memiliki trauma masa kecil, dan memiliki jenis sepatu yang sama seperti yang jejaknya tertinggal di TKP korban kedelapan.
"Karena sekarang kita semakin dekat dengan pelaku yang sebenarnya, bukankah seharusnya kita membebaskan Sakhi." Iwata menyampaikan pendapatnya yang lain. Lagi-lagi membuka pembahasan mengenai Sakhi di sela-sela rapat.
Ketua tim tidak langsung menjawab. Benaknya sedang mempertimbangkan banyak hal. "Tidak bisa," katanya setelah cukup berpikir. "Terkena racun Wolfsbane, memiliki trauma masa kecil, juga Japanese freak. Bukannya kamu bilang kamarnya dipenuhi buku dan komik. Dia masuk dalam semua karekteristik pelaku yang baru kita sepakati."
"Komandan..." Iwata ingin berdebat, tapi kalimatnya hanya tertahan di tenggorokannya.
Lagi-lagi.
"Saya akan keluar dan kembali satu jam lagi," kata ketua tim.
Iwata masih tidak habis pikir. Ia ingin menghentikan langkah ketua tim, namun Haikal menghalangi. Haikal yang akan mengatasi masalah yang ia mulai.
Haikal mengejar ketua tim yang baru saja ke luar kantor.
Cukup lama Haikal dan ketua tim berbicara di koridor depan. Iwata dan Huda menonton dari kejauhan. Sepertinya adu argumen yang sedang terjadi cukup sengit. Tidak sekalipun terdengar suara yang mendadak tinggi. Haikal mungkin sedang memegang kendali atas situasi karena ketua tim beberapa kali mengerutkan keningnya. Berpikir keras, menyeleksi setiap pilihan yang akan diambilnya.
Ketua tim mengangguk pelan sebelum akhirnya pergi lebih dulu. Haikal memberi hormat, menyerukan ucapan terima kasih.
Haikal kembali ke tempat kedua temannya masih berdiri menunggu. Terlihat jelas akan ada kabar baik yang disampaikan karena langkah Haikal begitu ringan penuh kebangaan.
"Okey!" ujar Haikal sembari mengacungkan jempolnya. "Komandan Iryand akan mengurus kebebasan Sakhi."
"Hebat!!" Huda berseru. "Seperti biasanya Haikal memang punya kemampuan mempengaruhi orang."
Dada Haikal semakin membusung. "Itu namanya diplomasi, Bro. Ayo kembali kerja." Haikal menepuk punggung kedua temannya dan melangkah di depan.
"Caranya bicara kenapa mendadak mirip politikus." Huda bicara pada Iwata dengan nada sedikit berbisik.
Iwata mengangkat bahu dan menyusul Haikal. Huda ikut-ikutan mengangkat bahu dan kembali ke mejanya.
Pekerjaan telah menanti untuk diselesaikan dan kasus yang mereka anggap sudah semakin dekat dengan kebenaran harus segera dipecahkan.
Mereka mulai dengan mengumpulkan nama-nama orang yang pernah dicurigai dari awal penyelidikan kasus. Menyelidiki kembali latar belakang dari setiap nama dan menyeleksinya berdasarkan karakteristik pelaku. Memiliki trauma masa kecil, Japanese freak, sepatu, dan kemungkinan lain seperti, memiliki rasa keadilan tinggi.
Pekerjaan belum juga tertuntaskan meski telah larut. Huda keluar untuk membeli makan juga beberapa minuman kemasan.
Nasi goreng adalah menu yang paling mudah ditemukan pada malam hari. Warungnya dapat dilihat di berbagai titik di pinggir jalan maupun dalam-dalam gang kecil. Beberapa bahkan buka sampai dini hari.
Huda mampir ke swalayan yang buka 24 jam sebelum kembali ke kantor. Di pintu masuk, ia berpapasan dengan seseorang yang sepertinya tidak asing. Orang itu meninggalkan swalayan dengan kantongan belanjanya.
Saat dipikirkan lagi, Huda baru ingat kalau orang itu adalah salah satu dari wajah yang mereka curigai dan sedang diselidiki latar belakangnya untuk kemudian dicocokkan dengan karakteristik pelaku.
"Rp58.600." Si kasir memberitahukan total yang harus dibayar.
Huda mengeluarkan dompet. Kini perhatiannya teralihkan pada si kasir yang ada di depannya. Hazim. Ini pertemuan yang kedua.
"Uangnya pas. Terimakasih." Hazim mengembangkan senyumnya.
Huda membalas senyum, mengambil belanjaannya, dan kembali.
"Senior, apa pendapatmu mengenai Hazim?" Huda bertanya pada Iwata setelah membagikan menu makan malam mereka.
Mereka tengah beristirahat sejenak. Haikal membaringkan dirinya di kursi panjang dengan mata terpejam namun kesadarannya masih terjaga. Pak Iryand pulang untuk mengambil pakaian ganti. Huda dan Iwata masih duduk tegak di kursi dengan makan malam dan pekerjaan berdampingan di satu meja.
"Kenapa? Kamu pikir dia orang yang terlalu ramah jadi mustahil melakukan kejahatan." Iwata balik bertanya.
"Bukannya memang begitu, ya. Dia tidak pernah punya masalah di tempat kerja. Dia memperlakukan semua orang dengan baik. Ramah senyum. Pagi hari dia kursus bahasa, juga kursus komputer. Malamnya bekerja di swalayan. Tinggal sendiri." Huda membaca beberapa keterangan yang tertulis mengenai Hazim di kertas yang ada di tangannya. "Bukannya dia tipe pemuda yang jarang. Pekerja keras, tekun."
"Dia tidak banyak bergaul seperti kebanyakan orang. Tidak suka berkumpul. Tidak menikmati masa mudanya. Dibanding menghabiskan waktu dengan temannya dia lebih suka menghabiskan sepanjang hari dengan kursus dan bekerja." Iwata menghitung dengan jarinya.
Sejauh penjelasan yang Iwata berikan, Huda masih tidak mengerti dimana letak jawaban dari pertanyaannya. Yang Huda dengar, Iwata hanya menambahkan beberapa keterangan mengenai Hazim dari sudut pandangnya.
"Orang yang menunjukkan tingkah anti sosial biasanya memiliki kecendrungan kepribadian yang bersifat psikopatik," Iwata melanjutkan penjelasannya karena Huda tidak kunjung menanggapi. "Topeng."
"Eh?"
"Kamu bertanya pendapat saya mengenai anak itu, 'kan." Setelah beberapa penjabaran, Iwata baru masuk pada penjelasan inti. Pendapatnya mengenai Hazim. "Orang itu terlihat memakai topeng. Orang yang memakai topeng biasanya adalah orang yang tidak merasa aman dengan dirinya sendiri."
"Wah, seperti biasa! Iwata memang paling bisa membaca kepribadian orang lain." Huda memaksakan diri untuk mengerti meski tidak sepenuhnya.
"Japanese freak, memiliki trauma masa kecil, sepatu, dan kemungkinan memiliki rasa keadilan tinggi." Haikal yang masih memejamkan matanya menimpali, "Kita hanya perlu fokus pada itu."
Huda mengangguk. Ia akan kembali fokus pada pekerjaannya, tapi kemudian ia ingat ada hal lain yang juga ingin dibahasnya.
"Tapi... tadi di swalayan saya berpapasan si penulis novel misteri, Arjuna Zeroun. Rumahnya ada di arah lain, jadi bukannya aneh kalau dia pergi sejauh itu untuk berbelanja beberapa keperluan kecil."
"Itu sama seperti rumahmu yang berada di arah yang berlawanan tapi malam ini kamu membeli beberapa minuman di sana." Kali ini Haikal yang menjawab. Ia bangun dari baringnya. Melakukan peregangan sesaat sebelum kembali duduk.
"Benar juga," kata Huda dengan polos.
Kali ini Huda fokus pada makanannya dan tidak lagi bertanya sampai sendok terakhinya bersih. Benar-benar fokus.
Haikal yang sudah cukup meluruskan pinggang kembali ke kursinya, menegak minuman dingin yang Huda belikan, dan membuka bungkusan nasi gorengnya. Siap santap.
Malam hari markas hanya akan dipenuhi oleh petugas-petugas yang mendapat giliran jaga malam. Tidak padatnya kegiatan membuat sudut-sudut ruangan membeku sunyi.
***
Keesokan harinya kegiatan masih sama. Setelah mengorek beberapa keterangan dari keluarga atau teman atau mendatangi tempat tinggal sebelumnya, banyak nama dalam daftar yang pernah dicurigai kemudian tereliminasi. Satu persatu.
"Pada akhirnya kita tetap tidak bisa mempersempit dengan hanya menemukan satu atau dua nama," Huda mengeluh. Ia menjatuhkan diri terduduk di kursinya.
"Arjuna Zeroun 27 tahun." Ketua tim membaca nama yang berada di urutan teratas, yang artinya paling dicurigai, yang paling memiliki kemungkinan besar sebagai pelaku.
"Penulis novel misteri. Dicurigai karena mengenal korban pertama. Japaneses freak. Dia bahkan secara spesifik menyebut Death Note sebagai inspirasinya mulai menulis. Memiliki catatan rutin konsultasi dengan seorang psikiater yang artinya memiliki taruma masa kecil. Dengan mata kepalanya sendiri melihat kedua orang tuanya saling membunuh." Huda menjelaskan.
"Itu pengalaman yang mengerikan untuk seorang anak. Arjun yang malang." Haikal berkomentar, ikut bersimpati.
Perasaan emosional tidak diperkenankan dalam penyelidikan. Karenanya Haikal tidak akan melakukan itu. Turut bersedih atau mengasihaninya.
Hanya bersimpati.
"Hazim 21 tahun." Nama kedua yang ketua tim sebutkan.
"Pegawai swalayan. Memiliki sepatu yang sama seperti yang jejaknya tertinggal di kasus kedelapan. Sebelumnya dia pernah tinggal di panti asuhan. Seorang pegawai panti yang menemukannya di jalan. Saat itu dia terlihat menyedihkan. Seperti anak yang putus asa. Anak ayam kehilangan arah. Tidak jelas apa yang terjadi di masa lalunya. Tapi seorang anak yang terlihat putus asa pasti memiliki trauma. Pernah menonton beberapa film Jepang, tapi bukan freak." Kali ini Iwata yang menjelaskan.
"Eh, tapi nama pantinya dan panti tempat Bagas pernah tinggal sama," Huda berujar, membandingkan data kedua orang itu.
Panti Al-ikhsan. Tahun masuknya sama, tapi dua tahun kemudian Bagas meninggalkan panti lebih dulu.
"Bagas? Bukannya dia punya keluarga?" Haikal merasa heran.
"Awalnya Bagas hanya tinggal dengan ayahnya setelah kedua orang tuanya bercerai. Tapi sejak ayahnya meninggal dan Bagas tidak mempunyai sanak keluarga lagi, sementara ibunya yang menjadi TKW tidak terdengar kabarnya, Bagas kemudian dititipkan di panti." Iwata mengakhiri penjelasannya.
"Oh."
Penyelidikan yang berhubungan mengenai panti untuk sementara tersendat. Panti tempat keduanya pernah tinggal telah ditutup. Sementara orang-orang yang sebelumnya bekerja di panti sudah berpencar ke banyak tempat. Bahkan beberapa sampai ke luar daerah.
Seorang pengurus panti pernah terlibat kasus. Setelah pemberitaan beredar dan menyebar, para penyandang dana dan relawan pergi satu persatu. Tidak lagi sanggup menekan jumlah pengeluaran, panti akhirnya terpaksa ditutup. Anak-anak yang tersisa dipindahkan ke panti-panti berbeda.
"Terakhir Yuda Saputra 29 tahun." Haikal mengambil alih, beralih ke nama selanjutnya. "Dicurigai karena merupakan orang yang terakhir kali bertemu dengan korban ketujuh. Tapi selama dia dalam pengawasan, korban kedelapan tetap jatuh. Karena itu akhirnya dia di keluarkan dari daftar kemungkinan tersangka."
Haikal adalah salah satu orang yang menaruh kecurigaan paling besar pada Yuda. Ia bahkan merasa melihat Yuda menyeringai saat ia diberitahu korban kedelapan tetap jatuh sementara Yuda dalam pengawasan kepolisian. Seringai penuh kemenangan sekaligus mengejek.
Haikal tidak akan pernah lupa ekspresi Yuda saat itu.
"Setelah orang tuanya meninggal karena kecelakaan, Yuda tinggal dengan pamannya. Sebagai pewaris satu-satunya, sejak kecil ia sudah dipersiapkan melanjutkan perusahaan ayahnya. Saat remaja Yuda seorang otaku, dengan bertambahnya umur, ia hanya disibukkan dengan sekolah dan dunia bisnisnya," penjelasan Haikal selesai.
Dengan berpatokan berdasarkan karakteristik pelaku yang sudah disepakati sejak awal, nama Bagas yang pertama kali dikeluarkan dari daftar kemungkinan sebagai pelaku. Selain sepatu, Bagas sama sekali tidak mirip dengan karakteristik pelaku yang lainnya. Japanese freak atau pun memiliki trauma masa kecil.
Meski tidak memperotes, hati kecil Iwata masih mengatakan ada sesuatu dengan Bagas. Ia akan berusaha lebih realistis kali ini. Sesuatu yang dipertanyakan hati kecilnya barang kali saja bukan mengenai kasus ini. Fokusnya tidak boleh terpecah. Jika ingin menyelidiki Bagas, akan ia lakukan setelah kasus selesai.
Yuda Saputra menjadi nama kedua yang di keluarkan dari daftar. Meski merupakan Japanese freak, trauma masa kecil tidak ditemukan selama penyelidikan.
Meski belum dilakukan penggeledahan untuk menemukan barang bukti, orang sekelas Yuda seharusnya menggunakan sepatu dengan harga di atas rata-rata. Itu artinya, tidak setipe dengan yang jejaknya tertinggal di TKP korban kedelapan. Terlebih, selama kasus korban kedelapan terjadi, Yuda berada di bawah pengawasan kepolisian.
Hazim terlihat mencurigakan karena kabel ties menghilang dari tokonya. Kemungkinan kabel ties hilang saat disimpan di gudang, artinya pelaku hanya ada di antara para pegawai. Memiliki sepatu yang sama seperti yang tertinggal jejaknya di TKP korban kedelapan. Meski memiliki trauma masa kecil, tapi bukan seorang Japanese freak.
Dengan dikeluarkannya tiga nama yang lainnya, otomatis yang tersisa hanya si penulis novel misteri, Arjuna Zeroun.
Arjun masuk dalam dua syarat paling sensitif. Memiliki trauma masa kecil dan Japanese freak. Sepatu bisa dikecualikan karena ada kemungkinan pelaku membuang atau membakar barang-barang yang pernah digunakan membunuh untuk menghilangkan jejak.
Hanya tersisa nama Arjun berarti tim khusus kasus pembunuhan berantai Wolfsbane akan berfokus padanya.
"Saya akan pergi menemuinya kalau begitu." Haikal memilih langsung maju dan berhadapan dengan orang yang dicurigai.
Dengan bertemu langsung, Haikal ingin memastikan sendiri aura seperti apa yang dimiliki orang seperti Arjun. Benarkah dia seorang psikopat berdarah dingin, yang memakai kedok kebenaran atau hanya orang gila yang sedang tersesat.
"Saya akan menemui pskiaternya." Iwata bersiap meninggalkan kantor.
"Kalau begitu saya akan memeriksa lagi keterangan alibi yang pernah dia berikan sebelum ini di setiap kasus." Huda juga beranjak.
Mengetahui tugas masing-masing, mereka bergerak secara terpisah. Meninggalkan kantor. Memiliki terduga lain meski bukan orang baru membuat semangat anggota tim khusus kembali berkobar.
Memiliki terduga baru dan petunjuk-petunjuk baru membuat mereka berpikir telah semakin dekat dengan pelaku. Meski tidak tahu telah berada di jarak sedekat apa, mereka ingin terus berpikir seperti itu. Berharap.