Aku kecewa dengan diriku. Air mata yang sudah aku tahan mati-matian akhirnya melaju melewati pipiku. Untuk apa aku menangis? Baru saja aku bicara soal sebuah kesalahan yang tidak bisa aku maafkan, baru saja aku membahas hal patah hati, dan kejadian yang aku lihat tadi serasa menggodamku.
Apa sebenarnya mereka punya hubungan? Jika mengingat semua perjuangan Naren hanya untuk mendapat kata 'iya' saat mengajakku berkomitmen, harusnya aku tidak perlu meragukan keyakinanku. Tapi yang aku lihat membuatku harus menelan kembali kata yakin itu.
Aku tahu ada yang salah dengan hubunganku dan Naren. Tapi bodohnya, aku masih mempertahankannya. Jika saja aku lebih berpikir rasional, mungkin saja aku tidak akan seterguncang ini mendapati Naren dan Alisya... Ah!
Aku mengusap kasar air mata sialan yang tidak mau berhenti mengalir ini. Aku harus terlihat tegar apapun yang terjadi. Untuk beberapa saat aku akan mencoba meredam emosi dan sakit yang sebenarnya ingin aku luapkan seketika itu juga. Aku harus bisa, sebelum aku menjatuhkan boom itu.
***
Sisa waktu di Karimunjawa aku habiskan untuk mendiamkan Naren. Aku ingin menutupi rasa marahku. Marah? Iya aku marah. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Setiap kali melihat wajah Alisya dan Naren, kelebatan mereka saling menempelkan bibir itu terbayang. Tak ayal itu membuat dadaku terasa sesak.
Naren seperti tidak menyadarinya, seolah tidak pernah melakukan kesalahan. Dia masih saja bersikap manis padaku. Semakin sering menggenggam tanganku. Aku terpaksa membiarkan, padahal dalam hatiku merasa muak. Di sini aku seperti sedang dibohongi. Diam-diam aku juga memperhatikan Alisya yang kerap mencuri pandang ke arah Naren. Mencoba melihat interaksi mereka dalam diam. Tapi laki-laki itu sama sekali tidak menggubrisnya.
Bus yang menjemput rombongan kami di pelabuhan Kartini sudah menunggu. Hari ini kami akan kembali ke Jakarta. Menghabiskan liburan dengan aktivitas kami masing-masing.
Naren masih menggenggam tanganku saat kami keluar bersama rombongan menuju bus.
"Mobilku sudah menunggu kita," ucapnya. Iya aku bisa melihat Pak Roni, supir keluarga Naren sudah ada di sana.
"Aku naik bus saja bareng yang lain," tolakku.
"Ayolah Kanya, kita bisa mampir dulu ke hotel untuk istirahat. Perjalanan ke Jakarta masih jauh. Dan kamu terlihat sangat kelelahan."
"Kamu yang lelah, aku nggak."
"Aku sudah menuruti larangan kamu untuk tidak ikut jelajah pulau kemarin. Apa kali ini juga kamu mau menolakku?"
Ya! Dan seharusnya aku tidak membiarkanmu tinggal di tenda dan berduaan dengan si barbie. Hingga....
"Aku nggak enak sama yang lain. Aku berangkat bersama mereka jadi aku pulang juga harus sama mereka."
"Aku sudah bicarakan ini sama Kenan. Dan dia nggak masalah."
Aku mendengus kesal. Tentu saja, Naren tidak akan dengan mudah membiarkanku pergi bersama mereka. Aku tidak tahu apa yang laki-laki ini inginkan dengan terus menempel padaku. Bukankah dia sudah mendapatkan yang lebih dari segalanya? Gadis cantik yang digilai para laki-laki di kampus. Sepadan dengannya kan?
Kulempar pandanganku ke arah rombongan di bus. Kenan ada di sana, mengomando semua agar segera masuk bus. Tatapan kami bertemu. Aku segera berpaling. Tidak mau dia membaca kesedihan dan amarah yang sedang berusaha aku sembunyikan.
Kurasakan Naren meraih dan menggenggam erat sebelah tangan kananku.
"Ayo!" ajaknya. Aku menyentakkan tanganku dan membuatnya agak sedikit... Terkejut. Tanpa mempedulikannya aku menghampiri Kenan yang akan hendak menaiki bus.
Laki-laki itu tersenyum canggung. Sambil sesekali matanya melihat ke arah Naren.
"Sorry ya Ken, aku nggak bisa balik bareng kalian," kataku.
"Yah, aku ngerti. Kamu baik-baik yah." Dia menepuk-nepuk kepalaku sekilas. "Prince charming-mu dari tadi melotot ke arahku," bisiknya pelan. Matanya mengedar lagi.
Aku tak peduli.
Kenan tersenyum sebelum masuk bus. "Kami berangkat dulu yah."
Aku mengangguk lalu melambaikan tangan melepas rombongan kemping. Aku masih berdiri menatap bus itu merayap meninggalkan area pelabuhan saat seseorang merangkul pundakku.
"Kita juga harus pergi. Kamu perlu diservis extra biar kondisimu fit kembali."
Aku mengernyit. Menatap Naren kesal. Melepas rangkulannya dan berjalan menghampiri Pak Roni.
Aku tahu setelah ini akan terjadi apa. Si tuan posesif itu akan memanjakanku, menghamburkan uangnya untuk mengajakku menikmati fasilitas hotel dari mulai kamar suit president seluas apartemennya sampai layanan kamar yang tagihannya bisa membuatku tecengang.
***
Bertolak dari pantai Kartini mobil Naren menuju ke arah pantai Bandengan. Konon pantai yang memiliki pemandangan terbaik di Jepara, sehingga banyak resort atau hotel berdiri anggun di sana.
Mobil Naren memasuki kawasan sebuah resort yang dekat dengan pantai.
"Kita istirahat di sini. Ini cottage terbaik yang aku temui di daerah ini. View pantainya bagus. Dan tidak dibuka untuk umum," jelas Naren.
Aku tidak banyak bicara selama perjalanan, jadi Naren mungkin merasa perlu menjelaskan tempat kami akan menginap. Memang tidak buruk. Bagus. Pantai Bandengan memiliki pasir putih tidak seperti pantai utara lainnya yang kebanyakan berpasir hitam. Nyiur yang melambai-lambai seolah mengundangku untuk mendekat. Aku tidak terlalu histeris sih. Selama lima hari di pulau cemara besar cukup membuatku puas dengan pesona alam laut ini.
Kamar yang kutempati menghadap tepat ke laut lepas. Sejak awal inilah yang Naren inginkan berlibur di suatu tempat. Tapi mungkin bukan di Jepara. Ada destinasi lain yang sudah dirancang otaknya sebelum aku merusaknya dengan liburan kemping bersama klubku ke karimunjawa. Mengambil praktisnya, akhirnya dia ikut berlibur di sini.
Jepara tempat yang menarik, aku tidak menyesal memutuskan berlibur di sini.
"Kamu suka?"
Aku sedang berdiri di balkon kamar saat suara Naren terdengar jelas di telingaku. Sejak kapan manusia ini berada di belakangku?
Aku menggeser tubuhku ketika kurasakan Naren hendak merangkul pundakku.
"Kamu marah?"
Aku masih diam menatap view pantai di hadapanku. Bahkan deburan ombaknya bisa aku dengar.
"Kanya, ada apa? Aku merasa kamu mendiamkanku dari kemarin. Apa aku berbuat salah?"
Tepat. Kupikir dia tidak menyadarinya. Aku mencoba sekuat hati agar emosiku tidak meledak. Lagi-lagi aku mengingat itu.
Jika bukan karena sidang skripsinya yang tinggal beberapa hari lagi, bisa saja aku menumpahkan caci maki yang dari kemarin aku pendam.
"Aku nggak apa-apa," jawabku mengubah posisi berdiriku menghadapnya. "Jadi apa kamu sudah siap jalani sidang skripsi nanti?"
Naren kembali merekahkan senyum. Kemudian jemarinya meraih sebelah tanganku. "Tentu saja aku sudah siap. Kamu bisa menemaniku kan?"
Kalau saja kejadian di Karimunjawa tidak pernah aku lihat, mungkin aku dengan senang hati menemani dan mendukungnya saat sidang berlangsung. Tapi sekarang, keinginan itu sudah terjun bebas. Aku tidak memikirkan apapun lagi selain keinginanku untuk melepas Naren, sesegera mungkin.