KANYA
"Aku nggak janji. Hari itu ayah pulang, aku harus menjemputnya di bandara." Aku tidak bohong soal ini.
Naren menekuk bibirnya. "Masa kamu nggak mau mendukungku sih?"
"Ayah maunya aku yang jemput. Ibu tentu saja sibuk dengan bakery-nya. Masa iya aku nyuruh supir kamu buat jemput ayah."
"Oke, tapi selepas itu temui aku di apartemen."
"Buat?"
"Merayakan kelulusanku dong."
"Yakin lulus?"
"Kanya!"
Biasanya aku akan tergelak mendengar geraman Naren yang seperti itu. Tapi tidak kali ini. Suasana memang sudah agak sedikit mencair, tapi hatiku belum.
Aku lebih memilih berjalan menghampiri tempat tidur.
"Aku mau istirahat. Kamu keluar sana."
"Aku mau tidur di sini saja."
Tanpa kuduga, Naren melemparkan diri ke tempat tidurku. Dia menatapku dengan seringai jahilnya. Aku menggeleng.
"Sidang aja belum tentu lulus, udah mau nidurin anak orang," gerutuku membuat Naren menegakkan tubuhnya kembali. Matanya melebar tak percaya.
"Mulut kamu masih pedes aja sih dari dulu."
Kudengar dia mendengus. Dan belum sempat aku menghindar, lenganku sudah ditarik hingga tubuhku terjatuh tepat di pangkuannya.
"Buat nidurin anak orang, aku nggak perlu nunggu lulus dulu. Apalagi buat nidurin kamu," ucapnya pelan membuat detak jantungku tak beraturan. Sial.
Aku mendorong kuat dadanya hingga membuatnya terjatuh ke kasur. Lantas aku melompat turun. Aku tidak mau manusia posesif ini membuat pertahananku hancur. Naren tergelak melihat tingkahku.
"Kanya, Kanya, baru digituin aja udah ketakutan."
Aku melotot kesal ke arahnya. "Keluar nggak?!"
Tawa Naren makin kencang. Aku menarik tangannya menyeretnya ke pintu.
"Awas, kalo berani kembali," ancamku sebelum menutup pintu dengan keras.
"Jam tujuh kita makan malam, Sayang!" teriak Naren dari luar. Dan aku juga sempat mendengar dia masih tertawa. Menyebalkan.
🍁🍁🍁
Aku masih tertidur saat pintu kamarku diketuk. Aku menggeliat. Tapi malas bangkit.
"Kanya?"
Naren menyembulkan kepalanya di pintu.
"Masih tidur?"
Aku mengangguk tanpa mau membuka mata. Tak berapa lama kurasakan ujung tempat tidurku melesak. Aku tahu dia duduk di sana.
Setelah makan malam aku memutuskan untuk tidur. Tidak mengindahkan ajakan Naren menikmati malam di tepi pantai. Kata dia sih romantis mendengarkan deburan ombak di pantai pada malam hari. Tapi peduli apa? Aku sudah tidak berminat diromantisin manusia posesif itu.
"Renang yuk," ajaknya.
"Males ah, masih ngantuk." Aku malah semakin menaikkan selimutku. Kudengar helaan napas Naren.
"Masa liburan diisi cuma tiduran aja sih. Pumpung kita masih di sini. Kita nikmati suasananya."
"Tapi aku masih mengantuk." Aku harap dia pergi dari kamarku.
Alih-alih pergi, Naren malah merebahkan tubuhnya di sebelahku. Aku jadi deg-degan. Harus aku akui, tiap kali Naren berjarak sedekat ini denganku, aku selalu deg-degan. Tak peduli bagaimana pun suhu hubungan kami.
"Oke, aku temani."
Mataku kontan membuka.
"Jangan ngaco deh, mending sana kamu keluar."
Naren memiringkan tubuhnya, sehingga dia bisa memandangku langsung.
"Kamu kelelahan banget ya? Bukannya kamu bilang kemarin nggak capek?"
"Aku lagi males aja."
"Males sama aku?"
"Nggak."
Naren menarik lenganku, hingga posisiku miring menghadapnya. Jarak antara hidung kami hanya sejengkal. Hingga bisa kucium kombinasi aroma maskulin dan Shampo yang biasa dipakainya. Tentu saja dia sudah wangi dan bersih. Sedang aku? Mungkin saja di pipiku ada bekas iler yang sudah kering. Belum lagi aroma khas bangun tidur yang mungkin saja mengganggu. Aku segera menutup wajahku dengan kedua telapak tangan.
"Loh, kenapa ditutup?"
"Aku berantakan, baru bangun tidur. Dan aku belum gosok gigi."
Naren terkekeh. Menurunkan tanganku yang menutupi wajahku.
"Kamu jauh lebih cantik kalo habis bangun tidur gini."
Aku mendelik. Dan dia lagi-lagi tertawa. Lalu setelah itu kami diam cukup lama. Harusnya udara pagi plus AC yang ada di kamar ini cukup dingin. Tapi kenapa aku malah merasakan gerah yah?
Mataku sudah tidak mengantuk lagi. Kupandangi Naren dengan seksama. Kulihat matanya sedang menatapku dengan sungguh-sungguh. Aku belum pernah melihat mahluk setampan dia.
Naren mengelus lenganku. Lalu, tangannya naik menuju kepalaku. Rambut dan pipiku pun dielusnya dengan hati-hati, seolah jari-jarinya takut bisa melukai kulitku.
Tiba-tiba Naren mendekatkan kepalanya. Lalu bibirku dipagutnya. Awalnya mengejutkan, tapi lama-lama berangsur melembut dan hati-hati. Aku membiarkannya. Aku meresapinya.
Di ujung sensasi ciuman Naren, aku merasakan sesuatu mengusik hatiku kembali. Seolah membangunkan aku dari kenyataan. Bahwa bukan hanya aku saja yang mendapatkan perlakuan seperti ini dari seorang Naren. Refleks aku mendorong dada Naren, sempat aku melihat Naren agak sedikit terkejut.
Aku segera bangkit dan masuk ke kamar mandi.
Bisa-bisanya dia menciumku setelah sebelumnya mencium perempuan lain?! Napasku terasa sesak. Aku benci begini. Tanganku mengepal. Bodohnya aku membiarkannya. Sudah sedalam itu kah perasaanku pada laki-laki itu?
"Kanya, kamu baik-baik aja?" seru Naren dari luar. Aku tidak baik-baik saja kalau dia mau tahu. Aku membenci sekaligus mencintainya pada waktu yang bersamaan.
"Kita sarapan, aku tunggu di luar ya!"
Aku masih diam. Tidak menyahut. Harusnya hatiku tidak selemah ini. Dalam hitungan hari aku harus segera menyelesaikannya. Iya, aku pasti bisa menjalani kehidupanku tanpa dia. Bukankah itu yang selama ini aku mau?
Naren sedang berenang saat aku memutuskan untuk keluar kamar. Di meja dekat kolam renang sudah tersedia dua piring sandwich dan segelas susu serta jus jeruk. Aku duduk memerhatikan Naren berenang dengan gaya bebasnya. Dia masih saja terlihat menawan saat berduel dengan air. Cepat dan berirama. Seolah air adalah daerah kekuasaannya yang senantiasa bisa dia taklukan. Naren tidak pernah suka dengan olahraga outdoor. Berenang atau ngegym, hanya itu olahraga yang sering dia lakukan. Tubuh bagusnya terbentuk dari situ. Bukan ditempa alam seperti halnya Kenan.
Aku hendak mengambil sandwichku saat ponsel Naren yang tergeletak di meja berdering. Pemiliknya masih saja asyik berenang. Aku melirik ponsel itu dengan rasa ingin tahu. Sebenarnya ini bukan kebiasaanku. Hatiku tiba-tiba mencelos. Alisya, nama yang tertera di layar. Sampai deringan berakhir aku mengabaikannya. Dan setelah ada tiga kali panggilan, layar itu menampakkan sebuah balon percakapan.
'kita harus ketemu.'
Hanya kalimat pendek. Namun seolah bisa mengobarkan suluh di dadaku. Tak berapa lama, Naren keluar dari kolam renang bertepatan dengan suapan terakhir sarapanku.
"Kamu udah lama nunggu?" tanya Naren memakai bathrobe-nya.
"Lumayan, cukup buat habisin sarapanku. Sorry ya aku duluan makan, laper."
Naren tersenyum dan meraih susu putihnya. Itu juga salah satu kebiasaan dia. Lebih memilih minum susu tiap pagi daripada teh, kopi atau sejenisnya. "No, problem."
"Tadi ada yang terusan nelpon kamu. Mungkin penting. Kamu bisa telpon balik," kataku saat Naren mulai mengambil sandwichnya.
"Oya? Siapa? Kenapa nggak kamu angkat?"
Aku ha. nya mengedikkan bahu. Dan Naren mengambil ponselnya. Mengecek layarnya sesaat. Aku mencoba melihat air mukanya. Ingin tahu reaksinya. Tapi nihil. Naren tidak nampak terkejut atau apa. Mukanya sedatar papan.