KANYA
Aku menyesal sudah merasa kasihan padanya tadi. Ternyata itu cuma alasan konyol yang dia buat-buat.
"Kanya aku serius. Aku merasa kamu menjaga jarak denganku."
Dia berhasil menjajari langkahku. Aku terus berjalan tidak mau mendengar ucapannya lagi. Jangan sampai aku luluh untuk yang kedua kalinya.
"Kanya...."
Aku merasa tubuhku tertarik ke belakang. Tangan besar itu kembali mendekapku. Wajahnya menunduk tenggelam di punggungku. Drama apalagi ini? Aku mendesah kesal.
"I love you, love you much," bisiknya.
Seakan tidak pernah bosan, dari jaman aku belum mengenal arti cinta, Naren sudah sering mengumbar kata itu di depanku. Jika kata itu juga dia berikan pada orang lain, aku tidak kaget. Lidahnya mungkin sudah sangat fasih mengucapkannya.
"Aku cinta sama kamu. Kamu maukan jadi pacarku?"
Horornya aku saat ditembak kata-kata di saat usiaku belum genap 13 tahun. Bukannya bangga aku malah lari terbirit-birit. Siapa yang tak kenal sosok Naren jaman SMP? Teman-temanku bahkan terang-terangan menyukainya. Tapi laki-laki yang dikenal paling tampan di sekolahku waktu itu menyatakan cintanya padaku, sungguh diluar nalar otakku. Aku bahkan menyebut Naren gila waktu itu.
Mengingat itu, membuat sunggingan samar di bibirku. Aku mengenal Naren lebih dari apapun. Dan saat aku harus terima kenyataan kalau dia punya hati yang lain, rasanya ... yah begitulah.
***
"Naren selingkuhin gue."
Silvi yang tadi sibuk memilah milih souvenir yang aku bawa dari liburan menatapku, menyipit, kemudian menggeleng seolah tidak percaya apa yang barusan aku katakan.
"Terus gue harus percaya setelah kalian berdua pergi liburan bersama?" Silvi kembali memilah milih. "Duh ini semua cantik-cantik Kan, gue pengin semua!"
"Naren beneran selingkuh."
"Lo serius bilang kalo pacar lo selingkuh dengan muka datar kaya gitu?"
"Jadi gue harus gimana?"
"Lo jangan asal ngomong kalo nggak ada buktinya."
"Gue lihat dengan mata kepala sendiri, Sil."
"Siapa?"
"Alisya."
Silvi menghembuskan napas. "Itu mah udah cerita lama kalo si Alisya itu mepet Naren terus. Sejak lo go public aja dia kelihatan ngejauh gitu. Jadi lo nggak usah terlalu diambil ati kalo tuh cewek kecentilan ama laki lo."
Ck, gaya bahasa Silvi sering bikin aku merinding. Dia selalu menyebut Naren 'laki lo', seperti aku sudah jadi bininya tuan posesif itu saja. Tapi serius, dia ternyata teman yang enak untuk berbagi hati. Meskipun aku baru mengenalnya saat baru masuk pertama kuliah, dia cukup loyal. Dan aku cukup berterima kasih dia tidak mencela atau memakiku saat tahu kalau aku dan Naren punya hubungan khusus. Secara kan Silvi termasuk deretan pengagum garis keras Naren yang disebutnya prince charming itu.
"Okelah gue akui sempet sesaat patah hati karena lo tiba-tiba digandeng sama si prince charming, tapi setelahnya gue dukung 100% hubungan lo sama dia. Jadi Please deh, jangan bikin kecewa fans yang udah relain hatinya ini buat lo."
"Kok kayak Naren yang jadi korban sih. Gue loh yang diselingkuhi. Kalo nggak ingat dia bakal sidang skripsi lusa, gue pasti uduh mutusin dia."
"What?! Lo bego atau tolol sih?! Cowok seganteng Naren mau lo putusin. Sinting! Lo harusnya bersyukur bisa pacaran sama cowok yang digilai cewek sekampus."
Aku berdecak sebal. Aku nggak seberuntung itu. Buktinya diselingkuhi.
"Denger ya Kan, Naren bisa aja dapetin yang lebih dari lo---"
"Nah tuh lo tau," potongku membuat Silvi menggeram.
"Dengerin gue dulu! Tapi lo nggak boleh nyerah gitu aja dong. Secara penampilan dan keseksian serta kecantikan jelas lo kalah jauh sama Alisya__" Sialan. "Tapi secara potensi dan kesempatan, lo jauh lebih banyak peluangnya. Jadi, lo jangan biarin prince charming lepas dari tangan lo. Apalagi jatuh ke cewek centil macam Alisya."
"Masalahnya gue gak bisa maafin kalo pasangan gue ketauan selingkuh. Itu fatal buat gue."
"Lo yakin Naren selingkuh?"
Aku mengedikkan bahu. "Yang jelas gue lihat mereka berciuman, saling menempelkan bibir."
"UwaoW! Rasa bibir Naren kayak apa ya?"
Astaga! Ini anak malah ngebayangin.
"Sil, fokus dong!"
Silvi terkesiap lalu segera menegakkan punggung. "Sori, hehe. Kali aja Naren disosor duluan sama orok centil itu."
Aku mengibas. Apapun itu yang jelas bibir Naren sudah bersentuhan dengan perempuan lain selain aku. Aku juga tidak mau terlihat posesif. Tapi apa pantas laki-laki yang sudah punya komitmen sama perempuan yang katanya sangat dicintainya berciuman dengan perempuan lain? Tidak. Otakku tidak bisa menerima itu, terlebih hatiku.
🍁🍁🍁
Pesan whatsapp dari Naren masuk saat aku baru sampai di rumah setelah menjemput ayah.
Sayang, aku lulus. Nanti malam pukul 7 aku jemput, kita ke rumahku. Mama bilang ada syukuran kecil-kecilan.
Aku senang mendengar dia lulus. Tapi untuk datang ke rumahnya malam ini, rasanya malas. Bertemu dengan tante Wanda--mama Naren-- di hari-hari terakhirku bersama Naren sebagai pacar, tidak ada dalam daftar rencanaku.
Aku disambut baik oleh tante Wanda saat Naren mengajakku ke rumahnya bertemu sang mama. Pembawaan ramah tante Wanda membuatku jadi cepat akrab. Beda denganku, sejak pertama kali pacaran Naren memamerkanku pada mamanya. Orang tuaku sendiri baru aku beri tahu setelah berjalan setahun hubungan kami.
Memiliki Naren bukan aib, tapi entah mengapa aku merasa kurang percaya diri dalam urusan seperti itu. Aku memang banyak memiliki teman laki-laki, tapi terlibat hubungan yang mereka sebut cinta bagiku terasa aneh dan entahlah .... Aku hanya ... bagaimana menjelaskannya? Baiklah begini, Mas Bagas kakakku satu-satunya, bereaksi sangat menyebalkan saat tahu aku pacaran dengan Naren. Dia terbahak-bahak seolah mengejekku. Aku memang banyak kekurangan, tapi tidak kusangka reaksi kakakku sendiri bisa semenyebalkan itu.
"Naren suka sama lo? Sulit dipercaya."
Dan dia berkata seperti itu sambil menyeka sedikit air di sudut matanya setelah tawanya sedikit mereda. Benar-benar menjengkelkan. Yah, pacaran dengan Naren benar-benar membuatku merasa terintimidasi. Mungkin karena itu juga, aku sering bersikap jutek pada Naren. Lebih karena aku menutupi rasa kurang percaya diriku. Dan anehnya Naren bisa bertahan selama itu di sisiku, menerimaku, dan memposisikanku sebagai perempuan yang istimewa. Meskipun kadang caranya membuatku kesal setengah mati.
NAREN
Aku merasa Kanya akan meninggalkanku. Entahlah, feelingku mengatakan seperti itu. Gestur tubuhnya yang memberiku sinyal itu. Aku tidak tahu kesalahan apa yang sudah aku lakukan. Meskipun kemudian dia bersikap seolah tidak ada apa-apa, aku yakin ada sesuatu.
Aku kenal dia bukan hitungan hari, melainkan bertahun-tahun. Jadi perubahan sekecil apapun pada dirinya, aku tahu.
Aku berusaha tidak terganggu dengan sikap Kanya akhir-akhir ini. Aku tidak mau konsentrasiku buyar saat sidang nanti. Aku harus tetap fokus. Urusan Kanya biar aku lanjutkan setelah ini.
Beberapa hari setelahnya, aku bersyukur bisa menjalani sidang dengan baik. Dengan nilai yang sempurna. Harusnya aku bisa memeluk Kanya saat keluar dari ruangan sidang. Tapi dia beralasan akan menjemput ayahnya ke bandara. Baiklah, aku mencoba mengerti. Walaupun sumpah, dalam hati aku merasa tidak nyaman. Gila! Setelah sekian tahun, kenapa Kanya masih saja tidak bisa membuatku merasa menjadi laki-laki yang memiliki dia seutuhnya?