Aku belum sempat mengurai pelukannya saat kulihat Alisya berjalan melewati kami. Astaga! Aku melupakan itu. Tadi Alisya aku tinggalkan di dalam tenda. Aku melihat punggungnya semakin menjauh. Tanpa menoleh sedikit pun. Aku semakin membuatnya terluka.
Aku melepas pelukan Naren. Menatap wajahnya penuh tanda tanya. Bukannya seharusnya dia masih ada di Makassar?
"Kenapa kamu ada di sini?"
"Sudah aku bilang kan? Aku kangen sama, kamu."
"Memangnya urusan kamu di Makassar udah beres?"
"Udah dong. Makanya aku langsung kesini menyusulmu. Gila, empat hari Kanya kamu nggak ngasih aku kabar. Ponselmu kamu apain?"
Aku melangkah. "Disini nggak ada sinyal. Jadi lebih baik ponsel aku matikan."
Naren mendesah dan segera menjajari langkahku.
"Selama aku nggak ada, banyak yang coba deketin kamu nggak?"
Lihat, baru datang pertanyaannya sudah membuat orang suntuk. Aku terus berjalan mengabaikan pertanyaan konyolnya.
"Kok nggak dijawab sih. Jadi benar banyak yang gangguin kamu?"
Kakiku berhenti melangkah, menatap Naren setengah geram. "Pacarmu ini nggak ada menariknya sama sekali. Jadi berhenti bertanya seolah aku ini banyak peminatnya."
"Siapa bilang? Pacarku adalah gadis yang sangat manis dan menggemaskan."
Aku memutar bola mataku. Telingaku sudah kebal dengan ucapannya yang berlebihan. Dia meraih tanganku, menautkannya ke dalam rangkuman tangannya yang besar. Ada aliran hangat yang aku rasakan. Seolah Naren sengaja mengirimkan energi itu. Aku tidak pernah memungkiri segala sikap manisnya. Itu menyenangkan. Dan hal seperti ini seakan membenarkan ucapan Kenan 'kamu sangat mencintainya'.
"Hari ini ada kegiatan jelajah pulau. Kamu nggak perlu ikut. Kamu istirahat saja. Karena akan sangat melelahkan."
"Tapi siapa nanti yang akan menjagamu?"
"Aku sudah empat hari disini. Semua baik-baik saja. Mereka menjagaku."
Hanya ada tujuh perempuan yang ikut kemping ke sini. Termasuk Alisya. Selebihnya laki-laki. Jumlah mereka cukup untuk menjaga kami.
"Tapi--"
"Kali ini jangan membantahku. Aku yakin dari Makassar kamu langsung ke sini. Aku bisa melihat muka lelah di mata kamu. Kamu butuh istirahat."
Dia terlihat ragu. Meskipun dia memaksa ikut, aku tidak akan membiarkannya. Aku tidak mau peristiwa merapi tempo hari terulang lagi.
Naren mengangguk pasrah. Syukurlah aku tidak perlu mendebatnya untuk hal ini.
"Tapi kamu nggak boleh lama-lama. Jangan dekat-dekat dengan Kenan ataupun lainnya."
Astaga! Aku tidak segenit itu.
"Apa aku juga perlu live kegiatanku nanti?"
Naren tergelak. Mengacak rambutku lalu mencubit gemas pipiku. "Sorry sayang."
Apa aku seberuntung itu memiliki pasangan seposesif dia? Tapi kadang aku juga tidak yakin dengan apa yang Naren lakukan. Lagi-lagi aku harus mengatakan ini. Aku bukan gadis istimewa. Yang istimewa di sini adalah Naren.
Mengetahui kenyataan itu, aku tidak ingin memerangkap perasaanku pada Naren terlalu jauh. Risikonya terlalu besar. Meskipun selama ini terlihat baik-baik saja. Pemikiran patah hati kadang tiba-tiba saja hadir. Jadi, aku membentengi diriku sendiri dengan tidak terlalu menganggap serius hubungan ini. Tapi Naren selalu bisa memporak porandakan benteng yang sudah susah payah aku bangun dengan segala sikap manisnya. Iyah, aku gampang sekali luluh, padahal baru semenit lalu aku merasa sebal padanya. Itu wanita banget. Hey! Aku juga wanita.
Siapa yang tahan jika harus dicekoki sikap manis setiap hari oleh laki-laki setampan Naren? Jujur aku malu mengakui ini. Karena selain sikapnya yang manis laki-laki itu juga bisa membuatku jengkel setengah mati.
Saat aku mulai lelah dengan hubungan ini, ada saja hal yang Naren lakukan untuk bisa membuatku bertahan di sisinya. Selama kesalahan Naren adalah sesuatu yang bisa aku maafkan dengan berbesar hati, maka aku akan tetap menjaga hubungan ini. Iya, aku akan dengan mudah memaafkan kesalahan Naren selama dia tidak 'bermain' di belakangku. You know? Aku tidak bisa menolerir jika pasanganku berkhianat.
***
Jelajah pulau sangat melelahkan. Kami menyusuri hutan konservasi, merayapi rumpun bruguiera dan rhizopora, menyebrangi jurang curam dengan tali, mendayung perahu, dan berbasah-basahan di pantai. Menyelam untuk menghitung karang merah di dasar lautan. Seharian ini kami ber-out bound training layaknya pasukan militer. Dan itu sangat menyenangkan sekali.
Aku dan Kenan kembali terlebih dulu dibanding yang lain. Mereka sepertinya masih asyik bermain dengan air laut yang jernih lengkap dengan penghuninya yang menakjubkan. Aku sendiri masih akan terus betah jika tidak ingat Naren aku tinggalkan di tenda sendiri.
Aku mencari sosoknya begitu sampai tenda. Yang kupikir mungkin dia sedang terlelap ternyata tidak. Dia tidak ada dalam tendanya. Aku mencari dia di sekitaran tenda yang lain. Tapi tidak juga aku temukan.
"Kenapa Kan?" tanya Kenan.
"Kamu lihat Naren Ken?"
"Di tendanya nggak ada?"
Aku menggeleng, "Di sekitaran tenda lain juga nggak ada."
"Oke, aku bantu cari yah. Mungkin dia di belakang sana."
Kenan menuntunku ke arah sumber mata air. Mungkin saja kan Naren ada di sana. Agak masuk ke dalam hutan konservasi memang ada mata air jernih, ada sungai juga yang mengalir. Kami menggunakan itu untuk mandi.
Aku baru akan bersiap meneriakkan nama Naren saat mataku menangkap sosoknya dari kejauhan.
Hampir saja aku mendatanginya kalau saja ternyata mataku juga menemukan sosok lain bersamanya.
Aku menghentikan lajuku, Kenan di belakangku juga ikut berhenti.
"Kenapa, Kan?" tanya Kenan bingung. "Itu Naren dan Alisya kan?"
Iya benar. Aku tidak tahu mereka sedang membicarakan apa sampai harus pergi berdua seperti itu. Mereka berdiri berhadapan, saling menatap. Tapi kemudian aku tahu saat tiba-tiba hal yang sama sekali tidak ingin aku lihat terjadi. Alisya merapatkan jaraknya, dia berjinjit menangkup pipi Naren dan menempelkan bibirnya ke bibir laki-laki itu.
Aku hampir saja kehilangan napas. Mataku terpejam. Mendadak aku menyesal telah menyusulnya ke sini. Aku tak perlu mencarinya kalau tahu akan... Sesakit ini. Sulit aku yakini. Tapi aku benar-benar merasa tidak baik. Rasa panas yang tiba-tiba menjalar di dadaku sangat tidak nyaman. Bukan hanya itu, aku tidak menyangka rasanya juga akan sesesak ini.
Aku memutar tubuhku dan mendapati Kenan menatapku dengan pandangan menyedihkan. Satu lagi yang aku sesalkan harusnya aku tidak perlu melibatkan Kenan untuk mencari Naren.
Aku berjalan cepat melewati Kenan begitu saja. Hal yang aku khawatirkan selama ini akhirnya terjadi. Sekuat apapun aku membentengi diri rasa sakit itu ternyata masih bisa menembusnya.
Aku benci diriku yang sekarang. Harusnya aku bisa memaklumi. Aku tidak mungkin bisa disandingkan dengan Alisya. Jelas aku kalah jauh. Dan Naren adalah laki-laki normal. Tentu saja dia akan tertarik pada hal yang lebih baik.
Sial, kenapa mataku ikut menghangat. Aku tidak boleh menangis. Aku tidak secengeng ini.
"Kanya," suara Kenan di belakangku memanggil. Aku hampir melupakannya. Langkahku terhenti.
"Ka_kamu baik-baik aja?" tanyanya pelan.
Aku tidak boleh memejamkan mata. Tidak ingin air mata sialan itu berhasil menerobos kelopak mataku.
"Aku tidak apa-apa," jawabku tanpa membalikkan badan. "Apa aku bisa meminta sesuatu?"
Masih berusah tetap kuat aku mengadahkan wajahku. Karena aku merasa mataku semakin panas.
"Iya?"
"Tolong, anggap kejadian tadi nggak pernah ada. Aku atau kamu tidak pernah melihatnya," ucapku menahan nada agar tidak bergetar.
"Kanya ak_"
"Bisa kan?"
"Baiklah. Tapi apa kamu baik-baik aja?"
"Terima kasih, aku baik-baik aja. Aku balik ke tenda dulu yah."
Tanpa pikir panjang lagi aku kembali melangkah, bergegas menuju tendaku.