Suasana kantor mendadak suram. Semua penghuni ruang meeting lebih memilih untuk diam tak bersuara. Mereka takut sedikit suara saja akan menyulut kemarahan sang pemilik perusahaan —yang sebenarnya memang sudah marah sembari tadi.
Sadewa ber puh pelan. Masih lekat dalam ingatannya bagaimana Liffi mengusirnya kemarin. Benar-benar menyesakkan, mengingat Liffi mengancamnya tanpa sedikit pun ada keraguan terpancar pada bola mata indah itu.
"Tu... Tuan Sadewa. Mereka menanti Anda." Emily dengan ragu-ragu melapor pada Sadewa. Sadewa yang dari tadi acuh mulai menyapu sekeliling ruangan, semua orang terlihat tegang menunggu instruksi.
"Ah, iya." Sadewa mengangguk. Suasana hatinya sedang tidak baik namun ia tetap harus memimpin jalannya rapat direksi tahunan saat ini. Membicarakan tentang pencapaian dan goal apa yang ingin diraih oleh WIN Ent.
Sadewa membuka-buka file yang telah dikumpulkan dari beberapa anak perusahaan. Tiap-tiap komisaris akan melaporkan perkembangan perusahaan dan juga untung ruginya selama satu tahun —tentu saja laporan ini sudah melewati tim uji audit perusahaan.
Wajah tampannya terlihat fokus pada deretan angka yang memenuhi lembar demi lembar laporan. Sadewa mengerutkan dahi, memeriksa semua laporan keuangan itu satu persatu.
Suasana mendadak tegang, mereka menelan ludah dengan berat karena aura dingin Sadewa. Legang, hanya bunyi kertas yang tersibak dan goresan pena Sadewa yang terdengar. Selain itu mereka tak berani bersuara, bahkan bernapas pun susah.
"Tuan, ini laporan pengerjaan mall dan hotel oleh HANS Konstruksi." Emily lagi-lagi menyodorkan berkas file. Membuat Sadewa mendesah dalam hatinya, tak ada habis-habisnya.
Biasanya Sadewa selalu menggerjakkan pekerjaannya dengan rajin, tak pernah mengeluh. Ia selalu memberikan kontribusi terbaik bagi perusahaan milik ayahnya itu. Tapi kali ini, otak Sadewa benar-benar enggan untuk diajak bekerja sama.
"Kita sudahi saja rapat hari ini!" Sadewa berdiri, mengancingkan lagi jasnya sebelum beranjak pergi. Garry mengekor Sadewa.
"Eh??" Emily terperangah, begitu pula seluruh komisaris yang berada di dalam sana. Namun dalam hati mereka merasa lega karena suasana tegang barusan telah berakhir.
"Tuan Sadewa, tunggu saya!" Emily bergegas membereskan semua file dan meninggalkan ruang rapat.
Sadewa terus berjalan dengan gusar, ia memasuki ruangannya dengan penuh amarah. Tanpa ragu Sadewa menghancurkan meja kayu besar miliknya dalam satu kali pukulan. Membelah meja itu menjadi dua bagian. Sadewa benar-benar dikuasai amarah saat ini, ia tak peduli dengan Garry dan Emily yang tertegun di ambang pintu masuk.
"Brengsek!" Sadewa melemparkan trofi penghargaan ke arah mini bar, meja kaca itu pecah, serpihannya berhamburan. Botol-botol minuman keras juga terjatuh dan pecah.
Pantas saja Liffi tak mau menerima semua kemewahan yang aku tawarkan!! Pantas saja dia tak mau pindah dari apartemen kumuh itu. Ternyata dia mengkhianatiku, dia lebih memilih bersama dengan Nakula. pikir Sadewa dalam hatinya. Bahunya naik turun tak berarturan, sama seperti akal sehatnya saat ini.
"Kenapa?" tanya Gerry berbisik. Emily mengangkat bahunya tanda tidak mengerti.
"Emily!" Panggil Sadewa.
"Ya Tuan?"
"Ikuti Liffi, laporkan segalanya padaku. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari!!" Perintah Sadewa."
"Baik, Tuan." Emily mengangguk, kini ia mengerti penyebab kegusaran hati Sadewa. Liffi, ya, gadis itu penyebabnya.
ooooOoooo
Liffi terbangun, hidung mancungnya langsung merespon aroma vanilla yang manis. Aroma yang tercium pekat dari tubuh matenya. Dada bidang membusung tepat di depan matanya saat terbuka. Suara desah napas Nakula terasa hangat mengenai dahi Liffi. Pria itu masih tertidur lelap sambil memeluknya.
Ah, tampannya. Kenapa kalian berdua begitu tampan? Liffi memuji Nakula dan Sadewa. Sesekali Liffi menyibakkan anak rambut Nakula yang jatuh menutupi mata.
"Eeuung ..." gumam Nakula, ia melepaskan pelukkannya dan kembali tidur. Liffi terkikih, gadis itu suka melihat wajah polos Nakula saat tertidur.
Ekspresi Liffi berubah sendu saat ia mulai teringat kepada Sadewa. Sudah saatnya Liffi berkata jujur pada Nakula dan Sadewa tentang hubungan segitiga ini. Liffi tak bisa terus menyembunyikannya, tak bisa pula terus menjalani hidup penuh kebohongan. Kalau memang harus Liffi ingin mereka berdua menerima keadaan ini. Tapi kalau tidak, Liffi juga siap untuk menerimanya, berpisah dari kedua kekasihnya, karena Liffi sama sekali tak bisa memilih satu di antara mereka berdua.
"Kau sudah bangun?" Pertanyaan Nakula membuyarkan benak Liffi.
"Huum," jawab Liffi dengan nada manja.
"Kemari!!" Nakula mencekal pinggang kekasihnya dengan mudah, membawa Liffi duduk di atas perutnya yang atletis.
Liffi hanya mengenakan satu set pakaian dalam berwarna beige, mereka berdua bergulat semalam begitu pulang dari club milik Red.
"Kau cantik sekali, Liffi." Nakula mengelus lengan Liffi.
"Kau sudah merayuku di pagi hari? Apa semalam masih kurang?" Liffi tersenyum lantas mengecup pelan bibir Nakula.
"Tak pernah cukup, Girl. Dan aku akan merayumu setiap jam!" Nakul membalik keadaan, kini Liffi di bawah dan ia di atas. Mengenakan sikut tangan sebagai tumpuan agar tidak terlalu menindih Liffi. Tanpa peringatan Nakula kembali menyesap leher Liffi, memberikan sensasi geli yang nikmat.
"Kau mau apa?" Kikih Liffi, kegelian dengan kelakuan Nakula.
"Bercinta denganmu lagi, Girl!!" Nakula menurunkan tali pada bra milik Liffi, mengecup pundak gadis itu dengan lembut. Tangannya mengelus perlahan pundak sampai di belakang punggung Liffi, melucuti kait bra dengan mudah.
"Ups!! Lepas!!" Nakula menggoda Liffi menarik pakaian dalamnya sehingga dua buah tonjolan indah miliknya terlihat.
"Naku!!" Liffi terpekik, kelakuan nakal Nakula membuat wajah cantiknya menghangat.
"You're the only thing I wanna touch right now, Baby." Nakula mengulum bibir Liffi dengan rakus, melumatnya cepat, membuat Liffi kehabisan napas.
Nakula mulai memindahkan kecupannya. Kini ia mengecup leher, lalu turun ke dada Liffi, turun lagi pada bagian pusar, dan semakin turun ke bawah perut. Liffi melengguh, menikmati tiap gesekkan yang terjadi pada kulit keduanya.
"Argh, Naku."
"Enakkan?"
"Jangan bercanda!!" Liffi tersipu, ia tak menyangka Nakula akan kembali bermain dengan nakal pada area kewanitaannya itu.
"Buka yang lebar, Liffi. Jangan malu. Tak sekali dua kali aku melihatnya." Nakula mengangkat kepala, melihat wajah malu-malu Liffi yang menggemaskan membuatnya semakin liar.
Nakula kembali mengulum lembut bibir Liffi, sedangkan tangannya, sudah pasti bergrilya pada tiap lengkungan indah milik kekasihnya. Membuat tubuh Liffi belingsatan karena tak kuasa menghadapi sensasinya.
"Argh, Naku. Masukkan, aku sudah tidak bisa menahannya." Liffi dengan wajah super merah meminta Nakula untuk menghujam ke dalam tubuhnya. Nakula menyeringai senang, baru kali ini Liffi bersuara, meminta sesuatu saat mereka bercinta. Biasanya hanya diam dan mendesah.
"Say my name, Baby!!" Nakula menyatukan tubuh keduanya, ia menghentak kasar sambil mengecup telinga Liffi, berbisik dengan deruan napas yang tersenggal.
"Nakula, arrrg!!!" Liffi merancau, tangannya meremas rambut Nakula.
Nakula menghentak kasar, masuk lebih dalam ke dalam tubuh Liffi. Sesekali Nakula merubah posisinya, membuat Liffi semakin menikmati permainan panas mereka kali ini.
"Argh, aku mencintaimu, Mate!! Aku sayang padamu!" Nakula memeluk Liffi, menyemburkan benih cintanya ke dalam rahim gadis itu.
ooooOoooo
Hallo, Bellecious
Jangan lupa vote ya 💋💋
Tinggalkan jejak kalian dan beri semangat untuk Belle ♥️
Follow IG untuk keep in touch @dee.meliana