Chereads / TWIN’S PET / Chapter 54 - A TRAP

Chapter 54 - A TRAP

Suasana sore yang tenang, Liffi terbangun setelah tidur seharian. Gadis itu terperangah mendapati bahwa matahari telah tumbang. Cahyanya mulai redup, berwarna jingga kemerahan.

"Ya, ampun, aku tidur seharian penuh??" Liffi menengok ke arah jam dinding, pukul 6 sore.

Liffi bergegas bangkit, ia menenggak segelas air dengan cepat. Sangat cepat karena tenggorokkannya begitu kering kerontang. Segarnya air menggelondor masuk. Membuat tubuh Liffi kembali bertenaga.

"Aku lapar, tadi aku memuntahkan semua makananku." Liffi mengeluh kelaparan. Ia membuka kulkas, menggeledah isinya. Melihat warna merah pada strawberry yang ranum membuat air liur Liffi menetes. Akhir-akhir ini gadis itu menginginkan makanan pencuci mulut yang asam dan segar.

Tanpa ragu Liffi melahap semuanya sampai habis, bahkan merasa kurang.

"Aku akan membelinya lagi." Liffi menyahut coat dan dompet di atas meja belajar. Ia akan membeli beberapa bungkus buah dan juga camilan. Mungkin juga mi instan untuk makan malam.

Di tengah jalan, sebuah mobil sport berwarna merah berhenti tepat di samping Liffi. Kaca jendela turun, memperlihatkan seorang wanita cantik dengan rambut pirangnya yang berhigh light pink dan juga pria tampan dengan rambut berwarna abu-abu. Liffi mengenali keduanya, mereka adalah Jane dan Grey.

"Hallo, Liffi. Kebetulan sekali!" Jane menyapa Liffi, Liffi tersenyum juga tak menyangka dengan kebetulan ini.

"Hallo, Jane, Grey," sapa Liffi balik, Grey menaruh ke dua jarinya di dahi sebagai bentuk salam.

"Kau kau kemana?" tanya Jane.

"Aku lapar, ingin membeli makanan di mini market," jawab Liffi.

"Hei, ini kebetulan juga. Kami sedang ingin makan malam bersama-sama. Ikutlah kami, Liffi. Semakin banyak orang semakin ramai." Jane keluar dari dalam mobil, menggenggam tangan Liffi.

Liffi terkesima dengan kecantikkan Jane. Kulitnya sangat mulus dan terawat. Tak ada noda di wajah lonjong itu. Matanya lentik, dandannya pun sempurna. Mirip boneka.

"Bagaimana?" tanya Jane lagi.

"Apa aku tak merepotkan?" tanya Liffi balik.

"Tentu saja tidak!! Kami masih punya banyak kursi kosong! Ayo masuk, kita segera berangkat agar kau tidak kelaparan!!" Jane mendorong tubuh Liffi masuk ke dalam mobil, Jane takut Liffi berubah pikiran.

"Let's go, Grey!!" teriak Jane.

Liffi terdiam di bangku belakang. Sedikit kikuk karena berada dalam satu mobil dengan idolanya. Tak pernah Liffi bayangkan bisa mengenal Jane sedekat ini.

"Grey akan memasak ayam panggang malam ini, Liffi. Kau harus mencobanya, Grey adalah chef yang terbaik. Dia bahkan tak segan memburu bahan makanan untuk masakannya sendiri." Jane tertawa renyah, memuji kepiawaian Grey.

"Benarkah?" Liffi ikut terkesima.

"Kau harus menyicipinya."

Mereka sampai pada sebuah rumah mewah, memang tidak semewah milik Nakula mau pun Sadewa, tapi cukup luas untuk satu orang penghuni. Bergaya minimalis dengan banyak aksen kaca dan juga LED. Kebanyakkan prabotannya dibuat built in dengan finishing epoksi mengkilat.

"Wah, keren sekali rumahnya." Liffi terkagum.

"Bukankah penthouse milik Black jauh lebih mewah?" Grey menghidupkan pemanas ruangan dan juga musik, dalam satu remote kendali.

"Iya, tapi aku jarang ke penthousenya." Liffi duduk pada sofa empuk berwarna putih.

"Lalu di mana kalian menghabiskan waktu?" Jane ingin tahu.

"Kadang di apartemenku."

Apartemen kumuh itu? Black mau? pikir Jane tak habis pikir.

"Sudahi pembicaraan kalian, aku lapar." Grey masuk ke dapur, Jane beranjak dari sofa, Liffi mengekor.

Liffi membantu Jane mempersiapkan piring dan juga peralatan makan. Jane memilih sebotol anggur merah. Anggur memang cocok dimakan dengan lembutnya daging ayam.

"Ini, Liffi minumlah!" Jane menuangkan segelas anggur untuk Liffi. Lalu menuangkan juga untuk Grey dan dirinya.

Grey sibuk memotong daging ayam yang baru saja keluar dari dalam oven. Ia sudah memanggangnya selama beberapa jam dengan api kecil. Agar ayam matang merata sampai ke dalam-dalamnya.

"Wah, aromanya nikmat sekali." Liffi berbinar, aroma rempah-renpah menguap bersamaan dengan lemak ayam yang lumer.

"Cobalah!" Grey selesai membagi ayam ke piring para tamu.

"Enak!!" seru Liffi begitu memasukkan satu suap ayam beserta kentang kukus.

"Benarkan, Grey memang ahlinya." Jane menepuk pundak sahabatnya itu.

Makan malam terasa hangat, Liffi tak lagi kaku. Jane dan Grey membuka obrolan ringan dan membuat Liffi merasa nyaman. Dalam hati Liffi memuji kebaikan hati kedua sahabat matenya itu.

"Ceritakan pada kami Liffi, bagaimana kau bisa menjadi mate Black? Bagaimana kalian bertemu? Kami benar-benar heran, karena tak ada manusia yang bisa menjadi mate." Jane menyuapkan lagi satu potong daging ke dalam mulut.

"Kami bertemu satu tahun yang lalu. Dia bilang aromaku mirip dengan bunga fresia. Aroma matenya." Liffi menyisir rambut ke belakang telinga.

"Apa Black sudah berhasil menandaimu?" tanya Jane. Liffi mengangguk, tapi sedikit ragu, karena Nakula tidak berubah seperti kembarannya Sadewa.

"Aw ... apa yang membuatnya merasa kau adalah matenya, Liffi? Padahal jelas-jelas ia tetap tak bisa berubah." Jane mendesak Liffi mengatakan rahasianya, gadis itu hanya bergeleng karena ia memang tidak tau. Bisa saja karena ia terlanjur memberikan kekuatannya pada Sadewa, bisa saja karena Liffi memang bukan mate Nakula, bisa saja karena ia manusia, entahlah, Liffi enggan untuk mencari jawabannya.

Ck, Dasar manusia tak berguna, cibir Jane dalam hati.

"Ah, tapi Black pernah berkata bahwa mungkin aku adalah werewolf, mungkinkah darahku mengalir darah seorang werewolf?" tanya Liffi. Jane tertegun, mungkin Liffi juga half wolf sama seperti Black, tapi Liffi tak bisa merubah diri atau bahkan sembuh dari luka kecil.

"Darah?" tanya Grey, pria itu menatap Jane.

Darah, benar, itu jawabannya. Darah mengalirkan kehidupan. Mungkin dengan darah Liffi aku bisa menjadi mate Black? Pikir Jane.

"Kau mau minum lagi, Liffi?" Jane menuang wine ke dalam gelas Liffi.

"Terima kasih." Angguk Liffi, ia menelan cairan manis dengan aroma pekat itu. Rasanya manis, Liffi menyukainya.

"Minum yang banyak, mumpung Black tidak di sini!" Jane mengisi lagi gelas milik Liffi.

"Cukup, Jane. Aku merasa pusing." Liffi menolaknya dengan halus gelas ke empatnya. Tapi Jane memaksa, akhirnya Liffi meludeskan cairan keunguan itu sekaligus.

"Itu memang efek sampingnya, Liffi. Membuatmu melayang." Jane tersenyum, ternyata Liffi mudah sekali mabuk. Ia tak perlu susah-susah mencari obat tidur untuk membius gadis ini.

"Kepalaku pusing, dan aku mengantuk." Liffi memijit pelipisnya, kini bayangan tubuh Jane dan Grey mulai bergoyang.

"Liffi, kau tidak apa-apakan?" Jane menggoncang bahunya, namun Liffi hanya merancau pelan.

"Aku lelah." Sekejap kemudian rancauan Liffi berubah menjadi dengkuran pelan, ia tertidur.

"Ya ampun, padahal baru empat gelas wine. Pantas saja Black melarangnya minum tempo hari." Grey tertawa melihat Liffi ambruk.

"Jangan banyak bicara, Grey! Nanti dia bangun! Cepat bawa dia ke kamar. Aku akan mencoba mengambil darahnya. Kalau memang itu jawabannya, berarti aku tak bisa membunuhnya saat ini," tutur Jane.

"OK!" Grey membopong Liffi masuk ke dalam kamar. Jane pergi mencari alat suntikan.

Alis Liffi berkerut saat jarum suntik memasukki pembuluh darahnya. Jane dengan hati-hati mengambil 20 cc darah Liffi. Menyuntikkannya ke dalam pembuluh darahnya sendiri. Darah Liffi bercampur dengan darah Jane. Luka di lipatan lengan langsung menutup saat Jane mencabut jarumnya.

"Bagaimana? Apa aku punya bau yang berbeda sekarang?" tanya Jane kepada Grey.

"Mana aku tahu, akukan bukan matenya!! Dasar bodoh!" Grey berbaring di atas sofa, ia menatap Liffi, gadis itu mengeryit kesakitan dalam tidurnya.

"Aku harus mencobanya, aku akan bertemu dengan Black." Jane mengambil lagi 20 cc darah Liffi dan kembali menyuntikkannya.

"Hei, jangan banyak-banyak!! Kau tak tahu apa pengaruhnya bagi tubuhmu!" Grey mencegah Jane bertindak gegabah.

"Tenanglah, kalau memang tubuhku menolak darah itu pasti keluar. Tapi saat ini aku malah merasa semakin segar dan bertenaga." Jane bangkit, ia melemparkan alat suntik pada Grey dan bergegas pergi.

"Jaga gadis itu, Grey!! Jangan biarkan dia pulang sebelum aku memberinya izin." Jane mengecup bibir Grey. Pria itu hanya mendengus kesal, kenapa menciumnya kalau hanya ingin menemui Black?

Jane bergegas pergi ke penthouse Black. Ingin membuktikan kebenaran teorinya, bahwa darah membawa kehidupan, bahwa darah membawa nyawa, bahwa darah membawa jiwa seseorang.

"Jane??" Black terkesiap begitu membuka pintu penthousenya. Jane terlihat berseri-seri, dan entah kenapa begitu menarik di matanya.

"Aku merindukanmu!!" Jane memeluk Black dengan mesra. Black mengedus aroma bunga fresia dari leher Jane, aroma yang selalu membawa Black ke dalam jerat nafsunya.

"Fresia ...," lirih Black.

Benarkah? Black mencium aroma itu dari tubuhku? tanya Jane dalam hatinya. Berarti dugaannya benar, darah Liffi lah yang membuat aroma yang disukai Black.

Jane mengangkat rambutnya, aroma bunga keungunan itu semakin tercium pekat dari tengkuknya. Aroma yang memabukkan, membuat Black dengan spontan mencium tengkuk Jane.

"Ah ... Black." Jane mengelus punggung Black. "Aku menginginkanmu!" Jane melumat rakus bibir Black.

ooooOoooo

Hallo, Bellecious

Jangan lupa vote ya 💋💋

Tinggalkan jejak kalian dan beri semangat untuk Belle ♥️

Follow IG untuk keep in touch @dee.meliana