"Lo siap?"
"Iya siap."
Hari ini, Akbar dan Amel akan ke Singapura untuk menemui keluarga Gavin. Amel memang sudah tau kalau sahabatnya berpura pura menjadi dirinya, dia tidak masalah, meski sakit dia harus ikhlas, mungkin Gavin bukan jodohnya.
"Lo disana har-"
"Akbar, plis. Gua kesana mau nemuin nyokap bokapnya aja, sama kasih surat ini. Gua ga mau ngaku ngaku sebagai Amel yang asli, walaupun nyatanya gua emang Amel. Untuk terakhir kalinya gua ngalah sama Ana, ga salah kan?"
Akbar hanya menggelengkan kepalanya dengan wajah tidak percaya.
"Berkorban dan mengesampingan kebahagiaan lo cuman buat Ana? Lo sehat?" Amel hanya diam dan lebih memilih masuk kedalam pesawat pribadi milik keluarganya.
"Amel!" Amel tidak menggubris Akbar, Akbar tentu ikut masuk dengan menggerutu.
"Lo gila, stresss."
"Bodo amat." Akbar menoleh ke arah Amel dengan wajah terkejut.
"What? Lo bodo amat sama hal kayak gini?" Amel tidak menggubris ucapan Akbar, menurutnya itu hanya membuang waktunya saja.
"Mel, gua ga su-"
"Diem deh, berisik banget, gua mau tidur."
Akbar menatap Amel dengan wajah kagetnya. Dengan mata di bulatkan, mulut melebar, sepupunya ini memang gila. Mengesampingkan kebahagian dirinya untuk Ana?
Akbar paham betul saat Amel tau kalau sahabatnya yang merebut posisi dirinya. Hancurnya Amel membuat Akbar ikut merasakan apa yang Amel rasakan. Amel pernah berkata 'Baru kali ini gua cinta sama orang sampe diri sendiri aja gua lupain'.
Puncaknya, Amel benar benar menutup hatinya untuk semua laki laki yang berusaha mendekati dirinya. Ketika ditanya, Amel hanya menjawab 'Yang tulus susah di cari, perusak dimana mana'.
Amel tidak berfikir ini semua salah Gavin, tapi diluar sana banyak perusak yang ingin merusak hubungan orang hanya dibutakan oleh obsesi semata. Dia menghindari perusak demi hatinya, karena ketika Amel mencinta laki laki, tidak tanggung tanggung dia memberikan perasaannya, Amel ga mau berpisah hanya karena perusak.
Itu alasan kenapa Amel membiarkan Ana merebut posisinya. Karena dia tau, yang menyukai Gavin adalah Ana lebih dulu, dia hanya orang kedua, dia juga tidak mau ketika Gavin bersama Amel, Ana merasakan patah hati dan menjadi perusak hubungan dirinya dengan Gavin.
Lebih baik Amel ikhlaskan, karena Amel mencintai Gavin dan menyayangi Ana sebagai sahabatnya.
***
"Kapan lo nemuin bokap nyokap Gavin?"
"Gatau."
Amel dan Akbar baru saja sampai di hotel yang mereka pesan, dan sepertinha kondisi Amel saat ini sedang tidak bagus. Amel benar benar menyibukan dirinya tanpa peduli masih ada sepupunya di sana.
"Yaudah, istirahat yaa, kalau ada apa apa telfon dulu jangan keluar." Akbar mengecup kening dan pipi Amel. Respon Amel hanya diam.
Setelah Akbar berhasil pergi, Amel memilih merebahkan dirinya di kasur yang sudah di sediakan hotel yang mereka pesan. Amel terkadang merasa lelah dengan apa yang dia alami dan rasakan ini.
Perasaan ini, seolah olah semakin besar. Bohong kalau Amel sudah melupakan Gavin, buktinya dia masih mencintai Gavin, dan rasanya semakin besar.
Amel melirik jam yang ada di nakas, lalu Amel bergegas mengganti pakaiannya menjadi santai. Amel berniat untuk mencari udara segar, rasa rasanya dia perlu udara untuk menghilangkan rasa capeknya sejenak.
***
Saat keluar dari hotel, Amel menabrak seorang laki laki yang sangat Amel kenal.
"Gavin." Dengan spontan Amel memanggil nama laki laki itu.
"Maaf maaf, apa kita sebelumnya pernah kenal?" Dengan fasih laki laki itu berucap menggunakan bahasa inggris. Amel segera menggeleng dan pergi dari sana.
Sepeninggalannya Amel, Gavin mengkerutkan keningnya heran.
"Kayak pernah liat, tapi dimana?"
***
Amel berjalan memasuki perpustakaan sekaligus toko buku yang ada di dekat hotel yang dia inap. Tujuannya sekarang hanya menenangkan dirinya, rasa rindunya semakin membuncah, seakan akan dia bisa meledak jika rindu ini tidak tertampung.
"Astagfirullah, ya Allah." Amel mengelus dadanya dengan pelan. Amel duduk di salah satu kursi disana setelah mengambil buku yang ada di rak secara random.
Amel memilih membaca buku itu dengan seksama, walaupun terkadang pikirannya mengarah kepertemuannya dengan Gavin. Amel berusaha sebisa mungkin untuk menghilangkan bayangan Gavin dari kepalanya.
Setelah satu jam di dalam toko buku itu, Amel memilih keluar dan kembali ke ketempat dia menginap. Niat ingin melepas penat dengan udara segar, yang dia dapat hanya beban dengan rasa penat yang kian menambah.
Saat di lorong menuju kamarnya, dia bertemu dengan dua orang yang saling bergandengan serta tawa yang tidak lepas. Amel mematung. Dua orang itu juga ikut berhenti, apalagi salah satu dari mereka sempat bertatap muka dengan adu pandangan.
Amel kembali berjalan tanpa menghiraukan dua orang itu. Amel bertanya tanya, kenapa dia selemah ini, untuk sekedar membenci saja dia tidak sanggup, untuk sekedar egois saja dia tidak bisa.
Amel masuk ke kamarnya dan menangis sejadi jadinya. Amel tau betul ini resikonya, tapi kenapa dampaknya sangat besar? Kenapa sakitnya sangat mengoyak dirinya? Mati rasa yang dia dapat, hambar.
Menangis sepanjang malam, tanpa sadar tertidur lelap.
***
Pagi ini, Akbar sudah mengajak Amel keluar. Akbar ingin membantu Amel untuk melegakan diri dari pekerjaannya yang menumpuk. Menjadi penulis terkenal itu memang tidak mudah, identitasnya tidak ada yang tau, karena Amel sendiri yang mau.
"Mau kemana?" Tanya Amel.
"Kemana mana hatiku senang." Jawab Akbar dengan wajah songongnya.
"Dih? Gila lo!" Amel membalas dengan wajah ngeselin miliknya.
"Suttt diem aje dehh, gua lagi fokus nyetir."
Amel memutar bola matanya malas. Amel terkadang kagum terhadap Akbar, teman yang dia kenal ternyata sepupunga sendiri. Kalau diingat ingat, Amel jadi kangen orang tuanya, apa kabar ya? Apa mereka benar benar kehilangan dirinya juga?
"Ini..."
"Yap, ini tempat makan yang gua ceritain ke elo. Gimana?"
Amel tampak mengangguk anggukan kepalanya dengan cepat, lagi pula dirinya juga merasa lapar. Amel dan Akbar keluar dari mobil yang dikendarai Akbar, lalu masuk ke tempat makan yang sudah di pilih Akbar.
***
"Iya, jadi konsepnya gua mau bikin ala ala horror dikit lah." Amel menjelaskan cerita yang ingin dia tulis lagi. Akbar tentu mendengarkan ide cerita Amel yang sedikit liar.
"Bagus, niatnya mau buat kapan?" Tanya Akbar.
"Gatau sih, tapi yang jelas awal bulan besok." Akbar mengangguk anggukan kepalanya dengan pelan. Akbar paham betul Amel seperti apa, buku bukunya tidak pernah di ragukan lagi. Akbar sedikit bangga memiliki sepupu seperti Amel.
"Good. Buku kali ini pasti bakal meledak lagi." Amel mengangguk secara antusias. Amel juga merasa seperti itu.
"Yaudah balik yok!" Amel berdiri dengan Akbar yang merangkul pundak Amel.
Sedang bercanda canda, bahu Amel di tabrak seseorang, sontak hal itu membuat Akbar dengan reflek melindungi Amel.
"Maaf maaf." Amel menatap buku yang jatuh. Amel mengambilnya dan cukup terkejut.
Amel melihag pria itu, dan pria itu juga melihat Amel. Amel dengan spontan mengembalikan buku itu. Akbar juga tak kalah terkejut, dia dengan jelas melihat Gavin bersama Ana.
"Pulang."
***