Chereads / Walas Gua, ya Suami Gua / Chapter 9 - --Chapter 8--

Chapter 9 - --Chapter 8--

Ando dan Kelvin berusaha menahan air mata mereka setelah dokter memberikan sebuah pernyataan yang dapat membuat Karly dan Mora mengeluarkan air matanya.

Amel dinyatakan meninggal.

Karly, sebagai ibu kandung dari Amel tentu hancur. Amel anak yang baik, tidak pernah sekalipun menjadi beban Karly dan Ando. Amel anak yang tidak menuntut seperti kebanyakan orang.

Karly tentu sayang sekali sama Amel. Sangat sangat sayang.

Sedangkan disisi lain, ada Mora yang hanya bisa menahan segala rasa perihnya. Amel adalah menantu yang selalu Mora idam idamkan. Amel benar benar membuat dirinya tersenyum akan tingkahnya.

Ando dan Kelvin hanya bisa merengkuh tubuh rapuh istrinya masing masing. Seharusnya yang paling hancur adalah Kelvin. Kelvin susah sekali mendapatkan anak, makanya anaknya hanya Amel, dan dulu dia begitu ingin memiliki anak perempuan.

Tuhan mewujudkan doa Kelvin, dan harus kehilangan putrinya disaat putrinya berusia 18 tahun. Sakit, rasanya ingin dia putar waktu. Kelvin ingin mengenang saat dirinya pertama kali menggendong Amel.

Kelvin mengingat itu dikepalanya, kalau dia tidak kuat, siapa yang menguatkan hati istrinya? Untuk sekedar menangis saja Kelvin harus tahan, Karly saat ini benar benar membutuhkan kehadirannya.

***

Pemakaman Amel berjalan lancar. Hanya saja, Mora dan Ando tidak menghadiri pemakaman Amel. Mora dan Ando mengurus, segala keperluan Gavin.

Semalam, Mora dan Ando mendapat kabar kalau putranya kecelakaan. Hal itu membuat Ando dan Mora buru buru pamitan dan melarang Kelvin dan Karly menjenguk. Karena Mora dan Ando pingin keduanya menemani Amel sebelum dikebumikan.

Mora dan Ando mendapat kabar kalau anaknya harus di rujuk kerumah sakit yang alatnya lebih canggih, dan dokterpun menyarankan untuk di Singapura.

Mora dan Ando tanpa pikir panjang menyetujui itu.

Mereka sempat menghubungin Karly dan Kelvin, kalau mereka tidak bisa ikut ke pemakaman Amel. Mereka menyesal karena ini adalah detik dimana Mora dan Ando melihat Amel.

Akhirnya, Karly dan Kelvin meng-iyakan, dan mendukung. Pada saat itu juga, keluarga Gavin berangkat ke Singapura. Doa Mora dan Ando untuk Amel hanya meminta ketenangan di alam sana.

Karena Mora dan Ando tau, kalau Amel adalah gadis yang baik.

***

Kabar duka dari keluarga Amel tersebar luas di sekolahnya. Setelah kecelakaan yang menimpa Gavin, Amel dinyatakan meninggal. Gavin sendiri mendapatkan rujukan untuk dirawat di Singapura.

Ana sebagai sahabat dari Amel tentu sedih mendengar kabar duka ini. Menyesal telah ada niat untuk merebut Gavin. Setelah kejadian ini, Ana sadar. Ana sudah tidak ada rasa dengan Gavin semenjak Gavin memutuskan untuk menerima perjodohannya dengan Amel.

Kata maaf sepertinya kurang untuk semua dosa dosa Amel. Rencana rencana busuk yang sudah dia susun rapih rapih hanya untuk menghancurkan rumah tangga sahabatnya sendiri.

Setelah lulus, dia akan dengan suka rela meneruskan impian dirinya dengan Amel. Sedih rasanya, tapi mau bagaimana lagi? Menyesal pun percuma, tidak akan ada hasil, Amel tidak akan hidup lagi.

Ana hanya bisa menyimpan maaf itu, entah sampai kapan. Rasanya ada yang kurang dihidupnya. Hanya karena laki laki, dia dan Amel harus berjarak.

***

Ditempat lain, seseorang telah memandang wanita yang dipenuhi alat alat medis. Dua orang diantaranya sepasang paruh baya yang memandanga seseorang itu cemas.

"Keadaanya belum ada kemajuan"

"Lalu? Apa yang harus kita lakukan?"

"Hanya hisa berdoa, hanya tuhan yang bisa memberikan keajaiban untuk dia hidup kembali"

"Jadi hidupnya benar benar di ambang kematian?"

"Ya"

"Kenapa? Peluru itu tidak mengenai jantung putri saya kan?"

"Memang tidak mengenai jantung putri bapak, namun dia kehabisa darah. Dan memiliki penyakit yang mungkin belum dia ungkap"

"Jadi sebelumnya dokter udah kenal saya?"

Seseorang yang sejak tadi memperhatikan gadis itu menghela nafas lelah.

—FLASHBLACK ON—

"Jadi? Hasilnya gimana dok?"

"Maaf, anda mengidap penyakit leukimia stadium 3"

Gadis itu membekap mulutnya dengan mimik terkejut.

"Apa bisa disembuhkan dok?"

"Bisa bila ada kemauan. Jenis kanker darah yang anda idap berjenis JMML atau bisa disebut Juvenile Myelomonocytic Leukemia. Bisa sembuh apa bila melakukan transplantasi sumsum tulang belakang." Dokter berusaha menjelaskannya dengan perlahan, takut takut pasien sudah menyerah lebih dulu.

"Baik dok. Untuk sekarang, saya harus apa?" Tanya wanita itu.

"Mengikuti kemoterapi secara rutin dan..." Wanita itu mendengarkannya dengan seksama. Sedih harus menerima kenyataan ini, tapi mau bagaimana lagi? Setidaknya dia ada kemauan utnuk sembuh.

—FLASHBLACK OFF—

"Lakukan yang terbaik dok, saya akan mencari tulang sumsum belakang buat putri saya"

***

4 Tahun Kemudian

Empat tahun sudah berjalan, dan selama itu juga Gavin menjalankan aktivitasnya sebagai seorang pembisnis.

Gavin dinyatakan sembuh, setelah dirinya sadar dari komanya selama satu tahun. Tapi naas, kecelakaan itu membuat Gavin amnesia, hanya kepada Amel.

Sekarang, Gavin sedang makan siang bersama Ana. Mereka bertemu tiga tahun yang lalu, saat Ana awal kuliah dan Gavin meneruskan kuliahnya.

"Sayang," panggil Gavin. Ana hanya cuek ketika dipanggil, dan memilih fokis pada ponselnya.

"Kamelia Putri." Ana mendongak dan tersenyum.

"Maaf, kenapa?" Gavin tersenyum. Gavin tau kelemahan 'Amel', 'Amel' paling ga takut ketika seseorang sudah menekan sambil memanggil nama panjangnya.

—FLASHBLACK ON—

Ana berjalan di sepanjang lorong rumah sakit dengan mulut tersenyum lebar. Rumah sakit ini, adalah rumah sakit dimana tantenya bekerja.

Ana masuk ke ruangan tantenya, namun tidak ada tantenya di dalam ruangan itu. Ana pikir, tantenya sedang mengurus pasien pasiennya, jadi Ana tunggu di sofa ruangan tantenya.

Tidak lama dari Ana duduk, datanglah tantenya bersama seorang paruh baya yang sangat Ana kenal.

"Loh, Tante Mora?" Ana dengan segera dia berdiri dan menghampiri tantenya yang masum bersama pasiennya.

"Kamu.... Ana kan?" Ana mengangguk anggukan kepalanya antusias. Mora tersenyum lalu, Ana dengan sigap meraih tangan Mora dan menyalaminya.

"Tante apa kabar?"

"Baik." Ana menoleh ke arah tantenya sambil mempertahankan senyuman bahagianya.

"Ini pasien tante?" Tanya Ana.

"Iya Na," jawab tantenya.

"Ohh, siapa yang sakit tan?" Tanya Ana.

"Anaknya," jawab tantenya sambil berjalan menuju meja kerjanya yang diikuti Mora. Ana yang mendengar seketika memudarkan senyumannya.

"An-anaknya tante Mora jadi pas-pasien tante?" Tanya Ana dengan wajah yang terkejut.

"Iya." Ana menatap Mora dengan sendu, dan dibalas tatapan sayu milik Mora.

"Tante Mora, Gavin kenapa?" Ana bertanya sambil duduk di kursi yang ada di depan meja tantenya.

"Satu tahun yang lalu Gavin kecelakaan, lalu koma." Ana berdiri dan meletakan tas yang dia bawa.

"Tante Zulfa tau kamarnya dimana?" Tanya Ana. Tante Ana yang bernama Zulfa segera memberitahu dimana ruangan Gavin berada.

***

Ana membuka pintu kamar pasien milik Gavin dengan kencang. Ana bisa melihat bahwa Gavin sedang menatapnya dengan intens.

"Amel," ucap Gavin. Ana tidak memperdulikan itu, dengan tiba tiba dia memeluk Gavin erat sambil menangis.

"Gavin...." Gavin ikut membalas pelukan Ana.

"Kamu Amel kan? Istri aku? Istri aku udah sembuh?" Ana dengan reflek mengagguk anggukan kepalanya. Biarlah Ana mengantikan posisi sahabatnya untuk sementara, biarkan Ana berperan menjadi Amel, biarkan Ana menikmati posisi Amel.

"Sayang..." Panggilan dari pintu masuk membuat Ana dan Gavin melepaskan pelukannya.

"Mama. Lihat, ada Amel di sini!!!" Mora dan Dokter Zulfa tersenyum sendu. Mora dan Dokter Zulfa saling pandang.

Mora tau kalau anaknya mengalami amnesia yang tidak biasanya. Gavin hanya lupa rupanya, bukan namanya. Kecelakaan itu, kepalanya dipenuhi wajah pucat Amel, hal itu memicu sebagian memori yang merekam jelas wajah amel hilang.

—FLASHBLACK OFF—

Sejak saat itu Ana adalah Amel dimata Gavin. Bahkan ketika orang tuanya berusaha mengungkap itu, Gavin tidak percaya. Kedekatan mereka memang kurang di sukai Mora dan Ando, tapi mereka bisa apa?

"Besok sibuk ga? Aku mau ajak kamu jalan." Ana mengangguk angguk lalu tersenyum.

"Engga ada kok. Emmm, emang mau kemana?" Pertanyaan Ana membuat Gavin berhenti mengunyah.

"Ada yang mau aku sampein ke kamu, tapi nanti saat aku ajak kamu jalan. Dan pastinya... Tempat ini jadi awal semuanya antara kamu sama aku, kamu pastinya inget kan?" Ana terlihat gugup, dia tidak tau tempat yang dimakshud Gavin itu apa.

"I-iya." Ana menjawabnya dengan canggung.

Setelahnya, Ana dan Gavin benar benar menikmati makan siang mereka, walaupun Ana dengan kecemasan dan Gavin kegugupannya.

***