Pagi hari yang cerah aku mengawalinya dengan mandi dan bersiap-siap memulai rutinitas seperti sedia kala. Untuk porsiku yang tidak terlalu memikirkan penampilan...aku hanya menguncir rambut lalu mengoleskan sedikit lipsice agar bibirku tidak kering.
Setelah selesai bersiap aku langsung menggapai kunci mobil besertas ransel kecil dan beranjak menuruni tangga menuju ruang makan dimana sudah ada Clara dan ibu disana. Clara dengan pakaian sekolah menengah atasnya dan ibu dengan daster biru dongkernya.
Menu hari ini adalah ayam goreng dengan sayur bayam. Ibu memang sering memasakan menu-menu sehat ini dari kecil. Seolah hanya menu ini yang bisa ibu buat...padahal banyak menu lain yang dengan jago ibu masak dan rasanya pun tidak kalah enak.
"Hari ini kamu sibuk, El?" tanya ibu kepadaku.
"Tidak begitu sibuk..."
"Kalau begitu setelah mengantar Clara ke sekolah, kamu bisa mengantar jahitan kan?"
Aku mengangguk seraya menyuapkan sesendok nasi kedalam mulut. "Tulis saja alamatnya, nanti aku antar..."
"Hari ini kakak tidak perlu mengantarku sekolah..." ujar Clara tiba-tiba.
"Kenapa? Kau ingin naik bus hari ini?" tanyaku sedikit curiga.
"Kak Rangga membelikan Revan sepeda baru dan dia mengajakku sekolah bersama..."
Aku tertawa kecil. "Kalian sudah menduduki kelas 1 SMA tapi kenapa Revan meminta sepeda kepada Rangga? Kenapa tidak sepeda motor?"
Clara menghedikan bahu acuh. "Aku juga tidak tahu."
Percakapan pagi kami hanya sampai disitu. Selanjutnya kami menikmati kegiatan sarapan ini tanpa membuka suara satu kata pun. Karena dalam prinsip keluargaku, makanan adalah rezeki yang harus dihormati.
*****
Aku sampai ditempat tujuan. Tempat dimana jahitan ini harus diantarkan. Aku mengamati gedung tinggi didepan sana. Sepertinya yang memesan ini adalah seorang karyawan kerja.
Tidak mau membuang waktu lebih lama, aku pun menuruni mobil, mengambil kardus kecil didalam bagasi dan mulai berjalan menuju perusahaan properti itu.
Tring!
Ah! Terpaksa aku harus menunda langkah ketika ponsel berdering disaku celana. Aku menggapainya dan membaca nama 'Rangga' yang tertera disana.
"Hallo?"
"El!"
"Apa apa, Ga?"
"Kau dimana? Aku sudah ada didepan kantor polisi tempat kau bekerja..."
"Oh! Iya sebentar, Ga! Aku sedang mengirim jahitan milik ibu..."
"Baiklah. Aku tunggu, El"
Aku sesegera mungkin mengantarkan jahitan tersebut lalu kembali ke mobil dan mengendarinya dengan kecepatan lumayan cepat.
Ditengah perjalanan aku mengurangi tingkat kecepatan ketika melihat seseorang yang tidak asing sedang berdiri mengamati kinerja kurir-kurir yang sedang mengangkati kardus-kardus besar lalu membawanya masuk ke dalam gedung tersebut. Aku memandang atas mengamati nama 'Afdyson Comoany' yang tertulis nyata disana.
Aku menepikan mobil berusaha mengonekan semua teori-teori yang ada. Selanjutnya mengotak-atik ponsel mencari nama seseorang yang jarang sekali aku hubungi.
"Halo?" ujar seseorang tersebut saat sambungan telefon terhubung.
"Halo, Vi?"
"Ada apa kau menelfonku? Aku sedang sibuk...jangan mengganggu jam kerjaku!"
Pip!
Sambungan dimatikan sepihak. Aku mengulas senyum simpul ketika dugaanku ternyata benar. Orang yang sedang berdiri didepan perusahaan ekspor impor itu baru saja menerima telefon dan mematikannya sepihak.
Perlahan aku kembali menjalankan mobil menuju kantor polisi dinana Rangga sudah menunggu disana. Satu poin telah aku dapatkan.
Sosok Rangga yang sedang duduk sembari meminum coca-cola terlihat olehku ketika aku sampai diparkiran. Disamping ia duduk terdapat beberapa kertas yang tersusun dan tergabung oleh clip.
"Thanks..." ucapku saat Rangga memberikan satu botol cola miliknya.
"Kau janji akan membantuku kan?"
Aku mengangguk, aku bukan tipe perempuan yang mengingkari janji. "Jadi recanamu hari ini apa?"
"Aku akan kembali ke AC lebih awal...aku akan menyamar menjadi pengantar makanan kesana"
"Ini?" tanganku mengambil file-file untuk kubaca lebih detail. Dahiku menyerinyit saat melihat foto korban yang tergeletak dilantai tak bernyawa. "Tidak ada darah sedikit pun?"
"Hm, sepertinya mereka tidak menyakiti tubuh korban bagian luar...aku berpikir mereka memberikan racun dalam makanan korban karena di meja terdapat pizza yang baru dimakan setengah"
"Bagaimana hasil pemeriksaan pizza tersebut?" tanyaku sungguh penasaran.
"Tidak ada sedikipun racun yang tercampur di pizza itu..."
Aku mengusap wajah geram. Kasus yang membuat bingung. "Bagaimana bisa? Atau...mungkin saja sang pelaku sengaja membuat kasus itu terarah pada rancun dalam pizza tersebut agar waktu pengusutan terulur?"
"Bisa jadi...ah! Kalau begitu aku akan ke TKP terlebih dahulu..baru setelah itu kembali ke AC"
"Baiklah..nanti kau telefon aku saja kalau sudah berada di AC"
Aku melenggang masuk ketika Rangga pergi. Aku memasuki ruangan kerja dimana sudah beberapa rekanku yang sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Aku menghela napas melihat file yang tergeletak dimeja kerjaku. Kasus baru.
Duduk menyamankan diri...aku mulai memahami kasus baru ini.
Isi file :
1. Foto pasar tradisional.
2. Foto beberapa orang yang diduga preman.
3. Beberapa dokumen laporan-laporan.
4. Note yang bertuliskan, "Selesaikan kasus pemalakan ini. Cari gerombolan preman tersebut. Beberapa orang melaporkan tindakan tidak bermoral yang merugikan penjual."
Aku tersenyum lebar. Bahkan kasus yang aku tangani lebih mudah dari kasus yang Rangga dapat. Kalau begini masalahnya aku akan lebih cepat menyelesaikan semua ini dengan bantuan anak buah yang aku punya.
"Komandan..."
Itu adalah Jeka. Yang baru saja memanggilku adalah Jeka-anak buah yang sangat aku percayai bahkan aku menganggapnya rekan melebihi teman karena sangking dekatnya.
"Kebetulan sekali kau datang..." aku memberikan foto beberapa preman tersebut kepadanya. "Kau intai beberapa preman ini di pasar...hanya sebatas pengintaian. Kau ikuti mereka sampai ke markasnya...setelah itu laporkan kepadaku"
"Siap komandan! Laksanakan!" ujarnya lalu pergi menjalankan perintah.
Selanjutnya untuk mengisi waktu kosong ini aku mengetikan beberapa kalimat dilayar laptop. Hasil pencarian yang aku dapat sedikit memuaskan. Disana terdapat foto CEO perusahan Afdyson Company yang terbilang masih muda.
"Drake Barafdyson...dia lulusan kulisah di Amerika? Putera tunggal dari keluarga Afdyson...ibunya meninggal karena kecelakaan pesawat...ayahnya berada di berlin...dan ia kini tinggal sendirian didampingi asisten pribadinya"
"Drake barafdyson?" gumamku berusaha mengingat nama tersebut dalam pikiranku.
Ting! -ternyata Rangga mengirimkan sebuah pesan.
Rangga : kau sibuk?
Me : tidak. Kau sudah berada di AC?
Rangga : belum...aku menemukan sesuatu yang kamu pasti tidak akan menyangkanya.
Me : benarkah? Apa?
Rangga : kau pernah dengar nama kalmia latifolia?
Kalmia latifolia? Aku langsung mengsearchingnya ketika baru mendengar nama asing tersebut. Di pencarian itu terpampang beberapa foto bunga yang cantik. Aku membaca keterangan yang ada...mulutku melebar tidak bisa percaya dengan penemuan ini.
Me : apa kau menemukan bunga itu di TKP?
Rangga : iya...aku menghubungi toko bunga tersebut ketika menemukan kartu pembelian di laci TKP.
Me : lalu?
Rangga : bunga itu, korban sendiri yang membelinya. Korban membeli bunga itu sekitar beberapa tahun lalu, yang artinya korban meninggal bukan karena siapapun melainkan karena bunga yang ia beli sendiri.
Aku melepaskan napas lega. Akhirnya kasus yang Rangga usut telah selesai. Kalmia Latifolia, bunga yang bisa membuat orang yang menghirupnya dalam jangka waktu lama meninggal. Jujur aku belum pernah mendengar nama bunga itu...yang artinya ini pengetahuan baru untukku.
Berdiri dari duduk, aku melenggang meninggalkan tempat kerja. Sembari menunggu laporan dari Jeka sepertinya aku butuh beberapa buku untuk aku baca. Aku membuka bungkus permen karet lalu melahapnya seraya menunggu bus datang. Aku sedang ingin berjalan-jalan tanpa mobil pribadi.
"So~~before you go~~" gumamku melantunkan lagu yang minggu-minggu ini menjadi booming.
Aku sedikit tersentak ketika seseorang menepuk bahuku cukup kuat tanpa sepatah suara. "Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku berusaha berbaik hati.
"Kau sedang memakan permen karet?" tanyanya membuat aku mengangguk. "Kalau begitu keluarkan..."
Dahiku bergelombang bingung. "Ha?"
"Kubilang keluarkan permen karet yang sedang kau makan..." titahnya membuat aku menurut-melepehkan permen karet yang masih manis itu.
"Sudah...sekarang kau mau apa?" ucapku mulai menantang. Aku geram dengan pria yang tiba-tiba datang dan bersikap tidak sopan kepadaku.
"Injak!" perintahnya mampu membuat kedua mataku membelalak tidak menyangka.