Chereads / Love From CEO / Chapter 5 - Pembalasan

Chapter 5 - Pembalasan

Camella POV

Ketika suara jam waker berdering aku langsung membuka mata perlahan mengumpulkan nyawa yang berterbangan dialam mimpi. Selanjutnya duduk menatap sekeliling tanpa tujuan dan maksud apa-apa. Ketika menatap cermin, aku memperhatikan pantulan diriku dari sana.

Sudah satu minggu berlalu, dan satu minggu itu pula aku tidak lagi bertemu dengannya. Tapi kenapa bayang-bayang ketika ia mencium dirimu masih saja sering terlintas? Aku sudah berusaha menghilangkan memori itu namun semakin aku berusaha, kejadian itu semakin terpatri dalam pikiranku.

Tring!

Aku menatap layar ponsel yang menyala memaparkan nama Jeka disana. Ada apa orang itu menelfon pagi-pagi buta seperti ini?

"Hallo Je?"

"Komanda!"

"Hm...ada apa? Ini masih sangat pagi untuk menangani kasus baru"

"Bukan itu yang akan saya laporankan ndan!"

"Lalu?"

"Kasus pemalakan dipasar minggu lalu sudah tuntas ditangan saya ndan...jadi komandan tidak perlu repot-repot campur tangan atas itu"

Tanpa sadar aku mengangguk. "Baguslah...tidak salah kau dikirimkan sebagai anak buahku"

Terdengar suara Jeka tertawa gembira. "Terima kasih ndan..."

"Apa kau sudah berada di kantor?"

"Iya ndan sudah...saya baru saja merapikan ruangan komandan"

Aku tersenyum merekah. Sebagai anak buah Jeka melaksanakannya dengan sangat baik. Bahkan kegiatan yang sebenarnya tidak perlu ia lakukan tetapi ia tangani. "Apa kau melihat file dimejaku?"

"Belum ada ndan...mungkin belum ada kasus baru untuk komandan"

"Oh...baiklah kalau begitu aku tutup ya?"

"Siap ndan!"

Pip!

Aku mematikan sambungan telefon tersebut dengan sepihak. Baguslah jika belum ada kasus baru. Itu artinya aku bisa berangkat siang ke kantor.

Merentangkan tangan merenggangkan otot-otot, aku mulai menuruni ranjang menuju kamar mandi. Meskipun berangkat siang tapi tetap saja pagi hari lebih afdol diawali dengan mandi. Selain menambah semangat, mandi pagi juga membuat kepalaku dingin dalam menghadapi masalah yang akan datang hari ini. Fighting!

***************

"Hari ini kau sidang?"

Revan mengangguk sebagai balasan atas pertanyaanku. Pagi ini setelah selesai bersiap-siap aku menuruni tangga dan melihat Rangga dan Revan yang bergabung dimeja makan bersama ibu dan Clara. Kita makan bersama dan diakhiri oleh Clara dan Revan yang berpamitan berangkat sekolah.

Berbeda dengan mereka berdua, aku dan Rangga malah berbincang-bincang di caffe langganan kita sejak kecil. Di caffe ini pula kejadian ciumanku dan Drake terjadi. Kan! Aku menggetok kepalaku ketika kembali memikirkan kejadian memalukan itu.

"Kau kenapa? Sedang pusing atau bagaimana?"

Aku tersentak lalu menggeleng cepat. "Tidak. Kenapa tadi? Benarkan kau hari ini sidang?"

"Hm..."

Aku memperhatikan wajah Rangga lekat-lekat. "Ada yang tidak beres. Kau kenapa? Terlihat lebih lesu dari biasanya...ayolah semangat! Fighting!"

"Apa kau pernah merasa bosan dengan pekerjaanmu sebagai letnan?"

"Oh jadi kau bosan dengan pekerjaanmu sebagai jaksa? Huh, Rangga-Rangga...kau ada masalah apa? Apa yang membuatmu bosan ha?"

Aku memang tidak mempunyai banyak teman. Aku juga tipe pemilih dalam berteman. Namun, sekali aku mempunyai teman, aku akan berusaha menjadi pendengar dan penyaran yang terbaik untuk mereka. Tak masalah jika aku harus melibatkan waktu bahkan diriku dalam masalah mereka. Karena hanya itu yang bisa aku lakukan sebagai seorang teman.

"Tidak. Aku hanya sedang bosan saja...mungkin  karena akhir-akhir ini banyak sekali pekerjaan yang menumpuk"

Tanganku terulur mengusap bahunya. "Coba kau ingat lagi saat-saat dimana kau berjuang untuk titik ini...kau begadang sampai malam untuk belajar, meminta pendapatku ini dan itu, memintaku untuk menemanimu membeli banyak buku...kau ingat?"

"Ingat...saat itu aku benar-benar fokus pada tujuanku agar bisa menjadi jaksa dan memberantas semua kejahatan sehingga kebaikan selalu menjadi yang teratas"

Begitulah kisah juang Rangga. Aku sendiri yang menjadi saksinya. Saksi dimana dia benar-benar bekerja keras agar bisa menjadi seorang jaksa.

Dan perlu kalian tahu bahwa Rangga menjadi Jaksa itu atas peristiwa yang menimpa keluarganya. Dulu, beberapa tahun lamanya keluarga Rangga mendapatkan masalah. Ayah Rangga dituduh melakukan pembunuhan sadis atas teman akrabnya disebuah tempat. Karena tidak ada bukti yang kuat dan kinerja jaksa serta kepolisian yang kurang memuaskan akhirnya ayah Rangga terpaksa masuk sel dalam waktu yang lumayan lama. 10 tahun.

"Lalu kau ingin menghapuskan kerja keras itu hanya demi kebosanan?" tanyaku memberikan pengertian.

"Tidaklah! Mana mungkin aku menyerah menjadi jaksa begitu saja!"

"Huh, labil!" cercaku menyumpahi.

Rangga tertawa renyah. Tak lama ponselnya berdering dan berpamit untuk mengangkat panggilan telefon itu sebentar di depan caffe. Mungkin privasi, jadi aku membiarkannya.

Sepuluh menit berlalu, aku merenggangkan tangan menghalau otot-otot dalam tubuh. "Huhhh! Kenapa Rangga lama sekali?"

"Dia sedang mengobrol dengan pacarnya dibangku depan" ujar seseorang membuatku kaget dan langsung mendongak. Dia tenyata...Drake.

Aku berdiri sebentar memastikan ucapan Drake, dan ternyata benar. Dibangku depan terdapat Rangga yang mengobrol manis dengan Viola. Kenapa perempuan itu bisa disini? Apa dia tidak ada jam kerja? sepertinya aku harus memberikan pelajaran kepada Rangga karena telah membuat sahabatnya menunggu lama disini.

"Tidak usah marah. Duduklah.." tubuhku kembali terduduk saat Drake menekan bahuku. Dia juga mengambil posisi duduk tempat bekas Rangga.

"Apa kabar?"

"Seperti yang kau lihat...aku baik" jawabku sesuai fakta.

"Kau tidak menanyai bagaimana keadaanku? Lebih tepatnya bagaimana keadaanku setelah berciuman denganmu minggu lalu?"

Aku langsung menabok mulut Drake ketika dengan santai dan lancar membicarakan kejadian tak senonoh itu disini. "Tutup mulutmu, Drake!"

"Aku hanya ingin kau menanyai kabarku...apa salah?"

"Ck...bagaimana kabarmu?" tanyaku terpaksa. Dengarlah, aku menanyainya dengan nada enggan.

"Dari dulu sampai sekarang keadaanku tidak pernah baik-baik saja..."

Aku meroalingkan bola mata mendengar pertuturan itu. "Karena kau tidak mau merubahnya...kau bilang kau selalu menjadi boneka yang dimainkan oleh ayahmu...maka dari itu kau harus merubah itu semua. Bagaimana caranya agar kamu bisa memainkan boneka tersebut. Kau paham? Tidak? Sudahlah"

Drake tertawa mendengarnya. Apa ada yang lucu? Aku sungguh-sungguh memberikan wejenang tersebut namun dia malah menanggapinya sebagai lelucon.

"Kau ingin tahu faktanya?"

Dahiku menyerinyit. Fakta apa? Drake perlahan membuka kemejanya. Apa dia gila? Ini tempat umum. Ada beberapa orang disekitar meja kita. Bagaimana dia bisa bertindak sebodoh itu?

"Drake! Apa yang kau lakukan!" bisikku memperingati. "Aku seorang letnan...kalau kau benar-benar membuka bajumu, maka aku akan memasukanmu dalam penjara!"

"Aku hanya ingin kau tahu faktanya," Drake menunjuk bagian punggungnya. "Lihatlah..."

Aku membungkam mulutku dengan kedua tangan ketika melihat beberapa bekas luka pada punggung Drake. Aku bukan seorang psikolog tapi menurut beberapa kasus yang aku tangani, aku bisa tahu bahwa luka tersebut adalah luka bekas cambukan.

"Ada apa denganmu? Itu bekas cambukan...benarkan?"

Drake mengangguk sembari kembali memakan kemejanya. "Benar...itulah yang aku dapatkan jika sedikit menentang ayahku"

"Apa ini masalah minggu lalu? Dimana kau membawa Dissa pulang dari bandara?"

Drake kembali mengangguk. "Sekarang kau tahu titik kelemahanku. Jadi...kau bisakan merahasiakan semua ini? Kau tahu aku dikenal kasar dan kejam, bagaimana jika mereka tahu pria yang mereka olok-oloki ternyata tidak lebih dari sebuah boneka? Aku pasti akan menanggung malu.."

Aku benar-benar tidak menyangka. Aku baru dua kali bertemu dengan Drake. Dan didua pertemuan itu aku melihat Drake yang melanggar aturan dan mendapatkan balasan.