Camella POV
Sepulang dari caffe, aku masih termenung tanpa sadar. Bahkan suara Rangga yang terus memanggilku tidak bisa masuk kedalam gendang telinga saking melamunnya. Bukan apa-apa, aku hanya memikirkan bagaimana seorang Drake yang terkenal kasar mendapatkan perlakuan yang sadis.
Aku tersentak saat Rangga menepukan tangannya keras didepan wajahku. Orang itu memang tidak pernah sopan. Memang tidak ada cara lain untuk menyadarkanku? Kalau kalian bertemu dengan dia, pukul saya kepalanya.
Dia meringis kala aku menarik daun telinganya. Biarkan saja...ini sebuah balasan untuk tindakan tidak sopannya tadi. Tapi aku segera melepaskan cubitan itu saat beberapa orang yang melintas melihat ke arah kami sembari bersiul-siul. Memangnya kita burung?
Tapi ya beginilah hubunganku dengan Rangga. Saking dekatnya siapa pun yang melihat kita pasti mengira bahwa sepasang kekasih. Aku menjalin hubungan cinta dengan dia? Si tukang jahil seperti dia? Mohon maaf mending aku cari yang lain.
"Pergilah...kau bilang tugasmu sedang menumpuk bukan?" usirku ketika Rangga masih berdiri didepanku lebih tepatnya didepan gedung kantor tempat bekerjaku.
"Hm, sepertinya aku akan pulang malam..." jawab Rangga lesu.
"Ini," aku memberikan sebuah kunci kepadanya. "Kunci rumahku...terserah kau ingin pulang ke apartemenmu atau ke rumahku. Oh ya! Clara bilang ingin belajar bersama Revan dirumah. Jadi, menginaplah dirumahku..."
Diluar dugaan, Rangga mengembalikan kunci yang aku beri. "Kunci rumahmu? Aku sudah mempunyainya..."
"Ha? Bagaimana bisa? Ah! Kau diam-diam menduplikatinya ya?!"
Kepalaku terhuyung ketika Rangga menyentil bagian kening. "Pikiran negatifmu itu! Bisa tidak sehari saja kau tidak berpikiran negatif tentangku?"
Aku menggeleng cepat, itulah faktanya. "Tidak."
"Enyahlah..."
Aku tertawa renyah melihat wajah Rangga yang murung. Aku senang melihat dia dengan eskpresi melas seperti itu. Rasanya hatiku sangat gembira. Karena biasanya selalu aku yang terkena jebakan tidak berfaedah darinya.
Aku mengurungkan niat melangkah ketika Rangga kembali berucap. "El," panggilnya.
Aku menaikan sebalah alis bermaksud bertanya. Sudut bibir Rangga tertarik keatas menimbulkan senyum simpul. "Maaf tadi mengabaikanmu di Caffe...aku tidak menyangka ada Viola disana"
Aku menghela napas panjang. "Aaaah, sudah nasibku mempunyai sahabat tak berperasaan sepertimu, Ga"
"Kata-katamu menusuk, El"
"Itu tujuanku..." jawabku langsung beranjak memasuki kantor.
Semenjak bersahabat beberapa tahun lamanya beginilah jokes-jokes diantara kami. Meskipun begitu tidak ada satu kalimatpun yang menyakiti kami. Kami hanya menganggap itu sebuah gurauan antar sahabat dekat. Just it.
Sesampainya diruanganku, aku langsung mendudukan tubuh melepas keletihan. Bahkan belum melakukan apapun tubuhku sudah terasa letih? Sepertinya aku harus meminum beberapa obat agar semangatku kian terbakar.
"Komandan..."
Aku menoleh mendapati Jeka yang berjalan kearahku. "Ada masalah, Je?"
"Ini ndan," Jeka memberikan sebuah map coklat kepadaku. Kasus baru lagi?
"Bagaimana detal ceritanya?"
"Gedung kosong dekat rumah sakit depan, sekitar 25 menit dari sini ternyata tempat jual beli narkoba, ndan.....kasus ini tertangkap saat salah satu dari mereka tidak sengaja menjatuhkan satu plastik kecil sabu-sabu didepan gedung itu" jelasnya membuatku mengangguk paham.
Aku mengusap dagu seraya berpikir. "Gedung kosong depan rumah sakit? Aku tidak menyangka para bandar memilih tempat itu...padahal tempat itu tidak cukup jauh dari kantor polisi"
"Salah satu orang yang terlibat berprofesi pengusaha, ndan...kalau tidak salah nama perusahaannya AC"
Aku tidak bisa membohongi ekspresi keterkejutanku mendengar nama perusahaan itu disebut. Perusahaan milik Drake? Benarkah? Apa ini hanya omong kosong belaka?
Aku menarik bangku sebelah dengan kaki ke arah Jeka. Mempersilahkannya untuk duduk dan membicarakan kasus ini perlahan. "Duduklah..."
Jeka menurut. "Terima kasih ndan..."
"Bagaimana bisa kau tahu salah satu dari mereka itu pengusaha? Dan nama perusahaan tersebut AC? Dari mana kau mendapatkan info tersebut?"
Aku memperhatikan gerakan Jeka yang mengambil sesuatu dari saku jaketnya. Ia menyodorkan sebuah kartu hitam atas nama Mr.X Afdyson Company. "Benda ini yang tertinggal didalam gedung itu saat saya memeriksa beberapa jam lalu..."
"Aneh sekali...kenapa black card ini ada dimana-mana? Kartu ini persis dengan kartu yang Rangga perlihatkan kepadaku malam itu" gumamku memutar memori.
"Kenapa ndan?" tanya Jeka saat sayup-sayup mendengar gumamanku.
Menggeleng, itulah yang aku lakukan. "Tidak...oke, kasus ini saya terima"
"Komandan tenang saja...saya akan membantu keras"
"Tidak-tidak!" tolakku. "Eummm, maksudku kau tidak perlu campur tangan tentang kasus ini...aku bisa menyelesaikannya sendiri. Lebih baik kau urus kasus-kasus lainnya"
"Baik ndan! Kalau begitu saya permisi..."
Aku mengamati punggung Jeka yang semakin mengecil terkikis jarak dan kembali pada black card yang masih tergenggam. Sepertinya aku perlu es batu untuk mendinginkan otak ini agar bisa berpikir cerdas. Ingin dimulai dari mana penyelidikan kasus ini?
Langsung pergi ke perusahaan AC atau menanyakannya pada Drake?
**********
"Baca teori terlebih dahulu sebelum mengerjakan soal!" tegas Revan mengetuk-ketuk buku tebal dengan ratusan halaman.
"Akan memakan waktu lama jika membaca tulisan sebanyak itu" sahut Clara menghentikan kegiatan menulisnya.
"Bagaimana kau bisa mengerjakan soal jika belum membaca teorinya?"
Clara menghedikan bahu acuh. "Saat ini zaman modern...aku bisa menanyakannya lewat ponsel"
Revan merampas dahulu ponsel bercase hitam di meja ketika Clara baru hendak mengambilnya. "Kita akan ujian dua minggu lagi...masih ingin bergantung pada ponsel?"
"Itu hanya latihan ujian...latihan! Hanya latihan!" cerca Clara geram.
"Sekarang mungkin kau bisa berbicara seperti itu...tapi nanti? Saat ujian dimulai? Awas saja sampai memanggil-manggilku meminta jawaban" sindir Revan mengambaikan Clara beralih membaca teori dibuku tebal itu.
Bibirku tersenyum tipis melihat tingkah dua remaja yang selalu ribut dalam kegiatan belajar bersamanya. Dari dalam kamar aku bisa mengamati interaksi antara Clara dan Revan dalam berkontak. Aku bukannya menguping atau mengintip...pintu kamarku tidak sengaja terbuka sedikit.
Ting!
Aku mengalihkan pandangan pada layar laptop dimana Rangga membalas pesanku. Sepulang dari kantor, aku memang menanyakan beberapa hal pada pria itu terkait kasus yang sedang aku tangani.
Rangga : Bagaimana bisa black card itu ada dimana-mana? Aku tidak mengerti. Sebenarnya siapa pemilik black card itu?
Me : aku juga berpikir begitu...atau aku tanyakan pada Drake?
Rangga : memang kau mempunyai nomornya?
Me : tidak, tapi aku tahu bagaimana cara mendapatkannya.
Rangga : Up to you...aku kembali bekerja.
Me : oke!
Aku langsung beralih pada nomor Viola setelah membalas pesan terakhir Rangga. Viola bekerja di AC...bukan sesuatu yang tidak mungkin dia mempunyai nomor Drake bukan?
"Halo?"
"Viola,"
Kudengar Viola berdecak diseberang sana. "Ck, kau lagi kau lagi...kenapa akhir-akhir ini kau menghubungiku ha? Sudah kubilang jangan ganggu waktu kerjaku!"
Aku melirik jam dinding yang menunjukan pukul 7 malam. "Bukannya ini sudah jam 7? Seharusnya kau sudah berada dirumah..."
"Apa pedulimu? Aku sedang lembur!"
Aku mengangguk spontan. "Apa kau tahu? Rangga juga lembur hari ini..."
"Benarkah?!"
"Hm...rencananya dia akan menginap dirumahku" hanya hal itu yang bisa memancing agar Viola menuruti kemauanku.
"Kau serius? Keteraluan!"
Aku tersenyum lebar ketika Viola memakan umpanku. "Eitsss! Tapi aku bisa menolaknya untuk tidak menginap disini..."
"Kalau begitu tolaklah!"
"Tidak semudah itu..."
"Lalu? Apa yang kau mau dariku ha?!"
Kartu AS ku termakan. Inilah yang aku tunggu daritadi. "Berikan aku nomor telefon CEO tempat kau bekerja-Afdyson Company, dengan begitu aku akan menolak Rangga"
Terjadi keheningan. Entah kenapa Viola tidak ada sahutan apapun. Apa dia tidak setuju?
"B-bagaimana bisa kau tahu kalau aku be---"
"Tidak penting...deal atau tidak?" tanyaku memotong waktu.
"Ck, aku kirim lewan pesan"
Pip!
Aku bersorak gembira. Memancing seorang Viola ternyata sangat mudah. Perlahan aku membuka pesan dari perempuan tersebut dan benar saja! Sebuah nomor sudah berada disana. Sebelum itu aku mengirimkan pesan pada Rangga...aku bukan tipe perempuan yang ingkar janji.
Me : kau pulanglah ke apartemen.