Author POV
Clara diam menunduk di toilet perempuan ketika ketiga temannya menghadang dipintu keluar masuk. Mereka bertiga sangat populer disekolah ini. Selain keberaniannya mendesak siswa siswi...mereka juga dari keluarga yang berpengaruh dalam sekolah. Itulah titik kuasa yang mereka kuasai.
"Huh, harus berapa kali aku menegurmu, mengejailimu, menyiksamu, agar bisa paham kalau kau tidak boleh dekat-dekat dengan Revan!" ujar gadis berbando pink.
"Harus berapa kali juga aku diam menanggapimu? Apa kalian tidak lelah mengurus hidupku?" balas Clara bersuara.
"Kalau kau tidak dekat-dekat dengan Revan, aku juga tidak akan mengganggu hidumu!" balasnya lagi.
"Aku dan Revan bersahabat sejak kecil. Kakaknya dengan kakakku juga bersahabat baik bahkan sangat baik..."
Gadis berambut pendek itu maju satu langkah mengikis jarak antaranya dengan Clara. "Kalau kakak kalian berdua bersahabat...bukan berarti kalian juga harus dekat"
"Apapun tanggapan kalian untukku, aku tidak akan menjauhi Revan...karena Revan juga tidak pernah menjauhiku" tegas Clara masa bodo dengan perlakuan mereka dengannya.
Aksi dimulai. Tangan salah satu gadis itu melayang menjambak rambut panjang Clara. Mereka tidak terima jika Revan yang notabenenya siswa tak tersentuh dan disukai banyak siswi bisa berhubungan dekat dengan Clara yang tidak terlalu dikenal oleh banyak orang.
Bersamaan dengan tindakan tak bermoral itu, segelas milkshake susu terbang memasahi baju si pelaku kejahatan. Sehingga seragam yang semula putih menjadi bernoda cokelat.
Dari ambang pintu Revan menyandar pada tembok. Ia sudah berada didepan sana sejak sepuluh menit lamanya. Ia juga mendengar perbincangan yang didebatkan oleh mereka. Jika saja perlakuan kasar itu tidak terjadi kepada Clara maka Revan juga tidak akan sekejam ini menyiramkan sisa milkshakenya kepada seorang gadis.
"Tiga lawan satu...kalian menjijikan sekali?" gumam Revan yang masih bisa terdengar jelas.
"Revan...ini tidak seperti yang kau kira" sanggah gadis berbando pink itu.
"Kalau begitu jelaskan kejadian sebenarnya kepadaku..." jawab Revan bersedia mendengarkan karangan drama selanjutnya.
"Jadi, aku dan yang lain kesini hanya untuk berbaikan dengan Clara...aku bahkan mengajaknya untuk berteman baik..."
Revan mengangguk enggan. "Ah sudahlah. Perkataanmu itu seperti sayur bayam...mudah basi"
"Aku bersungguh-sungguh"
Mengabaikannya, Revan memilih menggapai tangan Clara lalu membawanya pergi. Ini sudah keberapa kalinya ia melihat Clara diperlakukan begini. Dan keberapa kalinya pula gadis itu tidak melawan melainkan diam merasakan kesakitan demi kesakitan yang terus menimpanya.
"Kenapa kau tidak melawan? Sudah kubilang jika aku tidak bersamamu, apapun yang terjadi kau harus menanganinya sendiri" ujar Revan disela-sela perjalanan menuju parkiran sekolah.
"Aku terlalu malas untuk meladeni mereka..." balas Clara dengan nada enggan.
"Lalu sampai kapan aku harus melihatmu disakiti oleh mereka?"
"Sampai kita lulus sekolah..."
"Cih..." decih Revan seraya menoleh memandang raut wajah Clara yang tidak bersahabat. "Beli siomay atau ramen?"
Clara menggeleng lesu. "Aku sedang tidak ingin makan"
"Oke kita beli siomay..." putus Revan membawa Clara sedikit berlari menuju kantin.
Masa-masa sekolah memang indah. Tapi untuk sebagian orang masa-masa tersebut juga terasa menyakitkan. Hal itu terjadi jika dalam suatu sekolah terdapat biang onar ataupun senioritas yang berlaku.
***************
Mobil pajero itu berhenti disebuah caffe. Penumpang yang ada didalamnya pun keluar dan mulai memasuki tempat bersantai itu. Mereka memilih bangku paling pojok dan dekat dengan jendela.
Setelah memesan beberapa minuman, sembari menunggu mereka hanya memperhatikan anak kecil yang sedang asik bermain boneka itu. Ya! Dissa menjadi titik pusat perhatian Camella, Drake, dan juga Rangga.
"Dia adikku" ujar Drake memperkenalkan.
"Adikmu?" tanya Camella menatap mata Drake. "Bukannya kau...anak tunggal?"
Drake tertawa ringan. "Sudah sedalam apa kau mencari tahu tentangku? Kau percaya dengan hasil pencarian di media sosial itu?"
"Don't be rocky! Kalau bukan untuk kasus pembunuhan itu...aku juga tidak akan mencari tahu tentangmu"
Brak!
Dissa memukul meja tiba-tiba membuat ketiga orang itu tersentak. "Jangan berkata kasar kepada kakakku!"
Drake tersenyum lebar dengan tangan yang mengusap pucuk kepala adiknya. Sedangkan Camella meringsut mendekati Rangga lalu berbisik. "Dia bisa berbahasa inggris..."
"Menurut beberapa buku yang pernah aku baca...anak bangsawan belajar bahasa asing sejak masih dini" jawab Rangga menerawang.
Hening sejenak. Camella bimbang hendak membuka suara kembali ketika Dissa terus memperhatikannya dengan tatapan maut. Jauh dari penampilan yang terkesan lucu dan imut...ternyata anak itik ini sangatlah galak. Bahkan ekspresinya melebihi eskpresi Camella yang sedang dalam mode datang bulan. Mengerikan.
Pesanan datang. Pelayan menaruh gelas masing-masing sesuai pemesan. Camella tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Drake memesankan Dissa segelas wine? Kini dimata Camella, Drake adalah pria terbodoh yang pernah ia temui.
Camella langsung menyambar gelas wine itu keika Dissa ingin menyeruputnya. "Drake! Kau gila?"
"Kembalikan minuman Dissa!" seru Dissa merengut.
"Pria ini benar-benar tidak waras..." ujar Rangga menggelengkan kepala.
"Kakak, Dissa mau minum" rengek Dissa menarik-narik ujung kemeja Drake.
Drake mengangguk lalu kembali menatap Camella. "Kembalikanlah...dikeluarga kami meminum minuman ini sudah biasa. Kadar alkoholnya juga tidak terlalu banyak..."
Mengerti tentang keadaan, Rangga berdiri lalu menggedong Dissa lembut. "Kita beli ice cream aja yuk? Didepan ada ice cream langganan om loh..."
Rangga pergi membawa Dissa ketika gadis kecil itu mengangguk setuju. Kini tersisalah Camella dan Drake yang saling melayangkan tatapan kontak. Camella yang masih marah karena perlakuan pria itu kepada anak kecil, dan Drake yang masih bingung dengan titik kesalahannya.
Menggulung-gulung tissue, Camella langsung melemparkannya kepada Drake. "Pria bodoh..."
"Apa yang baru saja kau lakukan...tidak sopan sekali" cibir Drake tidak suka.
"Bagaimana bisa kau memberi wine kepada anak kecil yang masih dalam masa pertumbuhan? Bahkan adikku yang sudah berumur 17 tahun sama sekali belum menyentuh minuman keras itu..."
"Tapi itu adikmu...Dissa itu adikku...dia senang dengan minuman yang aku minum, dan selama dia senang...apapun itu akan aku biarkan"
"Pria bodoh, gila, tidak waras, berengsek, kasar, kejam! Aku benar-benar sangat emosi kepadamu Drake!" seru Camella kebakaran jenggot.
"Umpatanmu membuatku sakit hati..." jawab Drake bergurau.
"Mungkin kau bisa meminum wine...kau bisa melakukan apa yang kau mau selama masih ada uang....tapi Dissa? Dia anak kecil...pertumbuhan, makanan sehat, perlindungan, masih sangat ia butuhkan...kau tidak bisa samakan dirimu dengan anak kecil! Mungkin dia adikmu dan aku tidak berhak atasnya...tapi kalau begini caranya membuat dia senang, aku tidak bisa diam saja!"
"Apa kau tidak memikirkan kesehatan dia kedepannya? Apa kau tidak memikirkan kesehatan dia setelah tiga, empat, atau lima tahun yang akan datang? Apalagi dia itu perempuan...dan baik mental maupun fisik perempuan itu lebih ringkih daripada laki-laki. Jadi, biarpun dia bukan siapa-siapaku..kalau aku melihat segelas wine diminum oleh anak kecil maka aku akan mendatangi keluarganya dan memberikan peringatan, KAU PAHAM?!" jelas Camella panjang kali lebar.
Bukannya marah, Drake malah tersenyum melihat kepedulian Camella tentang anak kecil lewat kemarahannya itu. Dari dulu hingga sekarang baru kali inilah Drake menemukan perempuan yang begitu perhatian tentang orang asing.
"Jangan bergerak..." titah Drake lalu mendekat mencium bibir Camella beberapa menit.
Sedangkan yang diperlakukan seperti itu pun diam tak berkutik masih shok atas apa yang baru saja menimpa pada bibirnya. Ini adalah kali pertama Camella merasakan bibir seseorang yang menempel pada bibirnya.