Chereads / My Destiny from the Dream / Chapter 43 - Mencari suasana baru

Chapter 43 - Mencari suasana baru

Tian menyeruput kopi hitamnya, dengan memperhatikan wanita didepannya yang lahab menghabiskan makanan yang Tian masakan untuknya. Kini piring dihadapan wanita itu bersih bak habis dicuci dengan sangat baik.

Mata tajam milik Tian menyipit ketika senyuman mengembang menghiasi wajah tampannya.

"Kenapa lihatin aku terus?" Ujar Aya pada Tian yang terus memperhatikannya dengan senyuman yang sangat mengganggu itu.

"Aku seneng aja, lihat kamu ngehabisin makanan yang aku masakin buat kamu."

"Kamu kira masakan kamu ini enak Yan?" Tian menaikkan kedua alisnya dengan heran.

"Emang gak enak Ya?"

"Rasanya... kayak kuat di satu bumbu aja. Aku habisin karena aku hargain usaha kamu." Tian mendesah kecewa mendengar jawaban Aya. Oh, Aya ingin tertawa melihat ekspresi kecewa Tian saat ini. Bagi Aya itu sangat lucu.

Namun senyum Aya tidak bertahan lama, fikirannya kembali lagi ke kejadian beberapa hari lalu. Dimana Aya melihat teman terbaiknya pergi untuk selama-lamanya.

Rasa kehilangan ini begitu membekas didalam hatinya. Aya juga tidak bisa melupakan kejadian itu begitu saja, karena rasanya Aya mengalami kejadian itu sebanyak dua kali. Satu didalam mimpi dan satu lagi disaat mimpi itu menjadi sebuah kenyataan.

Tian menyepit hidung Aya dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. Tian gemas, sebenarnya ini salah satu cara Tian untuk menyadarkan Aya dari lamunannya.

"Ngelamun lagi."

Aya menghirup oksigen sebanyak mungkin setelah Tian dengan usilnya menyumbat satu-satunya alat pernafasan yang Aya miliki.

"Citra sedih kalau kamu gini terus Ya." Aya termenung. Aya juga tidak ingin begini, namun kejadian yang dialaminya akhir-akhir ini sangat membuat batinnya tersiksa.

"Aku tahu Yan, ini makanya aku makan biar semangat lagi." Pandangan Aya beralih pada setumpuk buah segar diatas meja, saat Tian mengelus kepalanya dengan lembut.

"Tadi Wati kesini lagi."

"Iya. Dia khawatir sama kamu."

Aya menghembuskan nafas kasar. "Tolong minta Wati jangan kesini lagi."

"Kenapa Ya? Setidaknya kamu harus temui Wati sekali aja buat bilang alasannya."

"Wati sudah tahu alasannya. Kenapa harus diperjelas lagi?!"

"Kamu takut Wati dapat mimpi dari kamu?" Aya mengangguk lemah. "Tapi kamu gak takut aku yang dapat mimpi dari kamu." Aya meremas kedua tangannya dengan kuat.

"Aku takut Yan, takut banget. Tapi kamu pasti kembali lagi kalau aku suruh pergi. Aku tahu aku jahat Yan, tapi aku butuh kamu." Manik Aya menahan serangan air mata yang mendesak untuk segera keluar.

Tangan Tian terulur menggenggam tangan Aya yang mengepal dengan kuat. Perlahan tangan Aya berangsur-angsur melemas dan berbalik menggenggam tangan Tian dengan kuat.

Tolong biarkan Aya bergantung pada manusia satu ini. Tolong jangan ambil Tian darinya. Aya hanya butuh Tian untuk berada di sisinya.

"Aku diberitahu Wati, setidaknya kamu harus menyelesaikan proyek terakhir membantu timmu sampai hari peluncuran. Baru Wati akan membiarkanmu mengundurkan diri." Aya menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.

"Tapi Yan, aku takut kalau nanti aku dapat mimpi lagi tentang mereka. Aku gak sanggup melihat nyawa setiap orang direnggut melalui mimpiku."

Tian mengusap pipi Aya dengan lembut, ia bisa merasakan getaran tubuh Aya yang bergetar dengan hebat.

"Kamu cuma perlu menghadiri peluncurannya saja Ya."

"Tapi Yan..."

"Cuma satu sampai dua jam Ya. Setelah itu kamu bisa mengundurkan diri." Aya mengangguk pasrah.

Sebelum Aya benar-benar mengundurkan diri, Aya rasa harus berpamitan kepada semua orang dengan cara yang benar. Aya rasa itu merupakan kesempatan bagus untuk berpamitan.

"Yan, tentang yang kamu bicarakan kemarin. Saat kamu bilang ingin mendukung semua jika aku ingin melakukan sesuatu..."

"Kenapa? Kamu ingin melakukan sesuatu?"

Aya menganggukkan kepalanya. "Aku ingin pergi keluar negeri, tinggal disana sebagai pelukis yang menjual gambarku. Kamu tahukan? Gambarku itu berharga tinggi."

Tian membulatkan matanya. Tian tak menduga keputusan Aya ini. "Kamu yakin Ya?"

Aya kembali menganggukan kepalanya. Tian menghela nafas sejenak, sekarang bagaimana caranya agar bisa mengikuti Aya pergi kesana.

"Apa harus keluar negeri?"

"Aku mau mencari suasana baru Yan."

"Iya, apa gak bisa di dalam negeri aja. Kamu tahu, kemarin Wati cerita kalau dia nemu pengendali mimpi."

Aya mengernyit. "Maksud kamu, pengendali mimpi dari Majapahit. Pangeran Candra?" Tian menganggukan kepalanya dengan semangat.

"Itukan cuma dongeng, tepatnya cerita simpang siur yang terjadi di masa itu. Bahkan gak ada dibuku sejarah kalau pangeran Candra benar-benar memiliki kekuatan itu."

"Kamu memang benar. Tapi apa kamu gak ingin membuktikannya, ada keturunan pangeran Candra yang mungkin punya kekuatan itu. Siapa tahu dengan meminta bantuannya kamu bisa menghilangkan mimpi kematian itu."

Aya menoyor kepala Tian perlahan. "Jangan ngaco. Aku gak mau buang-buang waktu."

"Terus, gimana sama ayah kamu? Kamu mau ninggalin ayah kamu sendirian." Benar juga, Aya belum menceritakan tentang apa yang menimpa ayahnya pada Tian. Malam itu Tian terburu-buru pergi ke Kanada, membuat Aya ragu mengatakan apa yang terjadi pada Tian.

"Ayah udah gak ada."

Tian mendelik. "Maksud kamu Ya? Kalau bicara yang hati-hati."

"Aku bicara jujur Yan." Melihat keseriusan dalam nada Aya, juga wajah Aya yang perlahan muram, Tian bisa merasakan apa yang Aya katakan bukanlah sebuah kebohongan.

"Terus ayah gak ada gimana Ya? Aku gak denger kabar kematian ayah."

"Ayah emang gak mati."

"Maksud kamu? Aku gak ngerti kalau kamu bicara setengah-setengah gini Ya."

"Ayah pergi. Hilang kayak ditiup angin persis didepan aku." Tian hampir tertawa mendengar itu, tapi tawanya langsung ditelannya kembali saat melihat air mata Aya mengalir dengan deras.

Tian menarik tangan Aya, hingga Aya duduk dalam pangkuannya. Dengan lembut, Tian mengusap air mata Aya.

"Apa ini yang mau kamu bicarakan pas aku mau pergi ke Kanada?" Aya menganggukkan kepalanya.

"Sekarang, coba ceritain apa yang terjadi." Bukannya memulai cerita, Aya malah mulai menangis dengan keras. Tian membiarkan Aya menangis sepuas hatinya, nanti jika sudah merasa tenang Aya pasti akan menceritakan apa yang terjadi waktu itu.

"Maafin aku Ya. Saat itu aku gak ada disamping kamu..."

"Juga, kamu bisa manfaatkan aku semau kamu dan selama yang kamu inginkan." Lanjut Tian.

Aya ingin sekali begitu, tapi Tian tetaplah anak yang berharga bagi kedua orang tuanya. Mana bisa Aya berlaku jahat dengan bebasnya.

Rencana Aya adalah memanfaatkan Tian hanya sampai Aya benar-benar pergi ke luar negeri. Setelah itu Aya ingin menghilang dari radar Tian, agar Tian tidak bisa menemukannya kembali. Tapi jika Tian berkata seperti itu, ini membuat Aya semakin enggan menjauh dari Tian.

"Tian, makasih sudah ada disisiku selama ini. Jika suatu hari nanti aku tiba-tiba menghilang, jangan cari aku ya?"

"Kamu mau ninggalin aku Ya?" Aya tersenyum. Ini membuat Tian khawatir bila nanti Aya benar-benar pergi dari jangkauannya.

Sore itu berlalu, berganti malam dengan sebuah cerita yang Aya sampaikan pada Tian mengenai bagaimana ayahnya bisa menghilang. Tentang semua perjuangan ayahnya demi menghentikan mimpi kematian yang selalu mengikuti Aya bagaikan bayang-bayang.

Selamat malam semua, semoga kalian mendapatkan mimpi indah malam ini.