Chereads / My Destiny from the Dream / Chapter 45 - Tumpah-tumpah

Chapter 45 - Tumpah-tumpah

Aya melepas sepatunya yang basah dengan cepat. Hujan yang turun dengan tiba-tiba membuat seluruh tubuh Aya kebasahan hingga menggigil. Tadinya Aya ingin mencari udara malam yang segar dengan berjalan-jalan di taman, tapi lihatlah keadaannya sekarang. Bagaikan cucian yang baru saja diangkat dari mesin cuci dan hendak dibawa ke pengering, basah. Ya, mesin cuci dua tabung.

Setelah basah karena tangisan hati timnya yang enggan melepas kepergian Aya, sekarang Aya basah karena air hujan. Double basah. Jangan lupakan Wati yang tiba-tiba datang memberi banyak Aya pukulan karena mengira Aya tidak memedulikannya. Aya memedulikan Wati, semua orang malah. Maka dari itu Aya berniat pergi demi mereka.

Aya memekik dengan keras sesaat setelah menghidupkan lampu ruang tamunya. Aya menemukan seonggok manusia yang sedang bermain game di hpnya, berbaring diantara banyak dus dan perabotan yang dibungkus dengan kain.

Aya memang tidak berniat menjual rumah ini. Aya takut jika suatu hari nanti Aya ingin kembali ke rumah ini.

"Tian! Ngapain disitu?! Nanti masuk angin." Ucap Aya menyadari Tian berbaring tanpa menggunakan alas.

"Aku nungguin kamu."

"Mending kamu pulang, besok aku mau pergi. Butuh banyak tenaga."

"Aku gak bakal pergi sebelum kamu kasih tahu aku kamu mau pergi kemana."

"Jepang. Aku pergi ke Tokyo. Kamu puas?!"

Tian bangkit dan memeluk tubuh basah Aya tanpa ragu.

"Tian minggir. Aku mau mandi."

"Aku mandiin ya?" Aya melotot, dengan cepat melepaskan dirinya dari Tian.

"Gak bisa ditunda dulu ya perginya? Seenggaknya sampai aku nyelesaiin semua urusanku."

"Gak bisa Yan. Aku udah terlanjur beli tiket pesawat besok."

Tian tertunduk lesu. Tian benar-benar tidak ingin Aya pergi, Tian khawatir karena Aya sendirian dan Tian tidak ada disampingnya. Wanita itu benar-benar berfikir meninggalkannya.

Aya berfikir bahwa menghindari semua orang adalah jalan terbaik. Tian benar-benar akan mati rasanya jika Aya pergi dari kesehariannya.

Bagaimana Tian bisa melewati hari-hari tanpa Aya? Rasanya pasti akan sangat sepi.

Lihatlah wanita itu, dengan tenang keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Tian pulang sana! Aku mau tidur." Usir Aya saat Tian terduduk ditengah kasur, memenuhi tempat Aya ingin berbaring.

Tanpa Aya duga, Tian mengikuti Aya berbaring dan memeluk wanita itu dengan erat.

"Tian." Protes Aya, saat aktivitas membaca Aya terganggu oleh Tian. Aya menerima email undangan peluncuran yang dikirimkan Kevin.

"Acaranya pukul sepuluh pagi. Padahal aku bilang gak bakal hadir." Gumam Aya, membuat Tian berdeham menanyakan maksud ucapan Aya.

"Tian, lepasin. Aku gak bisa gerak nih."

"Gak mau. Biarin aku peluk kamu kali ini Ya. Besok mungkin udah gak bisa. Biarin aku simpan aroma kamu di ingatanku biar aku gak lupa." Aya mengelus kepala Tian yang ada diperutnya. Bagaimana jika rencana Aya untuk pergi ini gagal karena Tian bersikap manis seperti ini.

"Kamu gak mau mandi dulu Yan? Masih pakai baju kantor emang nyaman?"

"Nyaman kok, asalkan kamu tetep disini." Aya tersenyum kecil. Membiarkan Tian melakukan keinginannya yang mungkin untuk terakhir kalinya bisa dilakukan sebelum Aya pergi.

"Besok jadwal penerbangan jam berapa?" Aya pura-pura berfikir sejenak.

"Jam satu siang."

"Aku antar ya?"

"Aku berangkat sendiri aja."

"Aku antar atau aku bikin kamu gak bisa jalan sekarang juga?!" Ancam Tian membuat Aya menelan ludahnya sendiri.

"Iya deh. Diantar." Putus Aya segera.

Aya terkejut dikala Tian justru mendorongnya hingga terlentang dan merangkak naik keatasnya. Kedua tangan Aya terkunci oleh Tian.

"Tian, kan aku bilang mau diantar." Ucap Aya tebata-bata. Aya sama sekali tidak bisa mengartikan tatapan mata Tian padanya saat ini.

"Tapi aku gak mau kamu pergi."

Aya tersenyum saat setetes air mata membasahi pipinya. Aya ingin mengusap air mata itu, tapi Tian masih menggenggam erat tangannya.

"Aku harus gimana Yan? Supaya kamu mau lepas aku pergi dan gak sedih kayak gini? Aku kan udah bilang dimana aku tinggal nanti, kamu bisa susulin aku kapanpun." Tian menjatuhkan dirinya kebawah dan membawa Aya keatasnya. Tian memeluk Aya dengan erat.

Sial, tahu begini Tian tidak mengambil jurusan hukum. Pekerjaan ini sama sekali tidak fleksibel untuk mengejar cintanya.

"Jangan nangis lagi ya? Nanti aku jadi gak mau pergi."

Tian kembali membalikkan posisi tubuh mereka. Aya hampir pusing dengan perbuatan Tian.

Tanpa permisi, Tian menyatukan bibir Aya kepada bibirnya. Dengan cepat Aya memejamkan matanya saat mendapatkan serangan tiba-tiba dari Tian.

Ciuman yang diberikan Tian berkesan sangat buru-buru, seolah-olah mereka akan kehabisan waktu.

Prak!

Tian mendesis saat barang yang seharusnya tidak ada dikamar ini, tiba-tiba mendarat di atas kepalanya.

Aya terkikik geli. "Pasti itu ayah."

Tian mendelik sebal. "Ayah, jangan seperti ini. Ayah pasti pernah muda juga. Kasih Tian pengertian ya?" Ucap Tian pada ruang kosong disisi lain kamar Aya. Kesempatan itu Aya gunakan untuk terlepas dari kungkungan Tian.

Aya pergi kedapur dan menuangkan sekotak susu yang sengaja Aya tinggalkan setelah mengosongkan seluruh isi kulkas. Aya meneguk susu itu hingga tandas. Semoga malam terakhirnya disini, Aya bisa tidur nyenyak tanpa bermimpi tentang orang lain lagi ataupun bermimpi tentang anonim yang sesekali datang padanya akhir-akhir ini.

Tian datang dan menyerang Aya dengan ribuan kecupan dari wajah hingga ceruk leher Aya.

"Tian, jangan." Protes Aya saat Tian berusaha memberikan banyak tanda padanya. Namun kekuatan kecil Aya sama sekali tak berarti bagi Tian.

"Aku udah dapet restu dari ayah. Buat bikin anak biar kamu gak pergi dari sini." Aya melotot dan semakin mendorong Tian dengan kuat.

Tian terkekeh. "Aku bercanda. Mana bisa aku lihat ayah. Aku yakin ayah gak ada disini sekarang. Buktinya aku gak kena pukul lagi."

"Aku yang bakal pukul kamu." Aya memukul lengan Tian berkali-kali hingga Tian mengaduh kesakitan.

"Ya, kamu kejam banget sama aku sih." Tidak memberi waktu pada Aya untuk melayangkan protes, Tian kembali memagut bibir Aya dengan lembut.

Ciuman yang Tian berikan semakin menuntut, membuat Aya kewalahan mengikuti pergerakan Tian. Tian bisa merasakan susu manis yang baru saja Aya teguk. Seakan tak ada hari esok, mereka hanyut semakin dalam.

Ciuman perpisahan, bercampur dengan air mata dan rasa kesedihan yang hadir membungkus kuat hati mereka.

Satu hal yang terjadi setelah itu, Tian menumpahkan satu botol susu milik Aya yang belum tertutup. Membuat Aya berlari demi bisa memukul atau mencubit Tian karena berhasil membuat tubuh Aya lengket padahal Aya baru saja selesai mandi.

Tian sialan!

*

Aya melirik jam dinding yang ada di kamarnya. Pukul sebelas malam, belum jam tidur untuk Aya. Malam ini Aya sudah mandi sebanyak dua kali. Ya, salah satu penyebabnya adalah manusia yang sudah terlelap dengan pulas diatas ranjangnya hanya menggunakan celana pendek itu.

Tian juga terkena tumpahan susu, hanya saja malas untuk mandi atau sekedar mengganti pakaian. Sebenarnya Aya lupa menaruh dimana dus pakaian yang didalamnya ada pakaian Tian. Itu berarti Aya harus membuka satu-persatu dus yang sudah tertata rapi, Aya tidak mau bekerja dua kali dan akhirnya menyebabkan Tian tidur dengan kondisi seperti itu.

Aya tidak bisa tidur dengan kondisi seperti Tian, pasti Aya akan mendapat mimpi buruk jika tidur dengan tubuh lengket karena susu.

Aya berbaring menghadap Tian. Aya melukis wajah Tian yang terpahat sempurna dengan jari telunjuknya. Andai Aya tidak memiliki kutukan mimpi itu, mungkin sekarang Aya sudah menggendong anak yang lucu dan akan melihat wajah tampan ini setiap pagi.

Tian menangkap tangan Aya yang berlarian diwajahnya.

"Ayo tidur."

"Kamu gak mandi?"

"Besok pagi aja sekalian."

"Jorok." Mendengar Aya mengatakan itu, membuat Tian dengan jahil membawa Aya masuk kedalam pelukannya.

"Kamu jual lukisan itu jual gimana Ya? Kamu mau buka galeri seni?"

Aya menggeleng. "Bukan. Sebenernya aku di kontrak jadi pelukis komik sama perusahaan besar disana dan ajaibnya aku gak perlu ketemu sama editor mereka. Aku cukup kirim email buat karya-karya yang aku bikin."

"Terus, kenapa gak bikin dari sini aja?"

"Gak bisa, syaratnya aku harus tinggal disana."

"Hmmm, kalau gitu kamu harus tunggu aku nyusul kamu ya?" Aya mengangguk kecil, tangan Tian yang mengelus rambut Aya perlahan terhenti dan mereka mulai terlelap tidur.

"Jangan tiba-tiba hilang Ya." Gumam Tian sebelum akhirnya benar-benar pergi kealam mimpi.