Chereads / My Destiny from the Dream / Chapter 58 - Terbangun

Chapter 58 - Terbangun

Aya terbangun dengan kepala yang super duper sakit. Bukan pusing biasa, rasa sakit ini seperti habis dipukul benda tumpul. Aya mencoba bangkit dari tidurnya. Aya sudah ada di rumah, sejak kapan? Terakhir kali Aya ingat bahwa seharusnya Lily ada di rumah sakit.

Aya memfokuskan penglihatannya ke sekitarnya, lalu menemukan Tian tidur di dekatnya. Lalu saat Aya meneliti ke seluruh ruangan Aya melihat ada Verdi dan Wati sedang tidur sambil duduk di sofa panjang yang entah kapan ada di sana.

Seluruh tubuh Aya juga rasanya sangat pegal. Mungkin inikah yang di maksud dengan tidurpun juga merupakan kegiatan yang melelahkan? Tapi sepertinya Aya sama sekali tidak memimpikan apapun dalam tidurnya. Karena sekarang ia sama sekali tidak mengingatnya.

Jika benar Aya bermimpi, ingatan tentang mimpi itu pasti akan tercetak jelas di dalam benaknya. Aya pasti akan mengingatnya, karena itu menyangkut hidup seseorang.

"Tian." Panggil Aya dengan suara yang super serak. Rasanya Aya habis menyanyi lagu kebangsaan sebanyak lima puluh kali atau mungkin habis mengikuti lomba pidato lima puluh bait.

Kemudian Aya meraba perutnya, lukanya sudah kering. Sejak kapan? Terakhir kali Aya ingat luka ini masih basah, bahkan masih sempat sobek jahitannya. Kenapa bisa kering secepat ini? Sebenarnya seberapa lama Aya tidur? Kenapa Aya tidak ingat sama sekali?

Aya menepuk bahu Tian dengan pelan, namun tidak ada respons.

"Tian." Bibir Aya terbuka namun tidak mengeluarkan suara. Tenggorokannya terasa sangat kering, seperti sudah tidak minum selama berhari-hari. Maka Aya semakin keras mengguncang tubuh Tian.

Tian meregangkan tubuhnya dan mengucek kedua buah matanya yang masih ingin merekat. Aya merasa sangat lelah dan Tian yang tidak tahu itu langsung memeluk tubuh Aya dengan erat.

Aya yang kebingungan pun mencoba melepas pelukan Tian yang sangat tiba-tiba itu. Di sana, Verdi dan Wati yang sedang tertidur lelap perlahan membuka mata mereka saat mendengar kebisingan yang Tian timbulkan.

Wati dan Verdi sontak mendekat ke arah Aya yang terlihat sudah sadar.

"Ya, akhirnya kamu sadar juga." Ujar Wati penuh dengan rasa syukur. Aya kebingungan setengah mati tentang apa yang baru saja di alaminya langsung meminta apa-apa pada Wati untuk mengambilkannya air.

Dengan cekatan Wati mengambilkan Aya segelas air putih dengan suhu ruang yang segar pada Aya. Tanpa ragu, Aya segera meminumnya hingga tandas. Aya berdeham berulang kali menetralkan tenggorokannya yang sedikit sakit tadi.

"Aku kok bisa ada di rumah?" Tanya Aya pada ketiganya. Namun tak satupun dari mereka mau angkat bicara, bahkan Tian. Aya meraih tangan Tian yang tampak sangat terpukul akan sesuatu.

"Yan, ada apa?" Aya semakin bingung di saat mereka bertiga tampak saling bertatapan. Seolah-olah meminta izin untuk mengatakan sesuatu yang belum Aya ketahui.

"Ada apa sih?"

"Kalian sembunyiin apa? Jangan bikin aku takut." Aya membuka bajunya sebatas perut, sontak Tian dan Wati mendelik. Sedangkan Verdi langsung berjalan menjauh.

Aya menunjuk perutnya, tempat di mana seharusnya ada luka tusuk di sana. Luka itu tampak sudah mengeting, hanya tinggal bekasnya saja.

"Ini, ada yang aneh. Kenapa lukaku langsung sembuh begitu aja? Sedangkan terakhir kali luka ini masih basah. Seharusnya aku juga ada di rumah sakit, bukan di rumah. Apa aku tidur lama lagi? Tapi aku sama sekali enggak mimpi." Panik Aya sambil menangis histeris. Semau ini penuh teka-teki. Namun tidak satupun dari mereka mau mengatakannya pada Aya. Aya merasa sangat bodoh.

Dengan kasar Wati menyela Tian yang terdiam di tempatnya. Wati memeluk tubuh Aya, menenangkan wanita itu. Mungkin Wati lah yang harus berbicara dari awal sampai akhir tentang kejadian itu. Kejadian di mana ada sosok lain yang muncul di tubuh Aya. Wati sadar mungkin Tian tidak bisa karena Tian tudak ingin Aya melakukan apa yang sosok itu minta, yaitu menikah dengan pengendali mimpi.

Aya melepaskan pelukan Wati, menatap temannya dengan tajam meminta penjelasan. Lantas Wati menggenggam erat tangan Aya.

"Ya, tolong apa yang akan aku ceritain ini jangan kamu telan bulat-bulat." Wati mengusap pipi Aya dengan lembut. Sedih, itulah yang Wati rasakan saat ini melihat temannya menjadi seperti ini. Wati akan melakukan apapun untuk melindungi Aya. Wati tidak ingin kehilangan seorang teman lagi.

Aya menangguk. "Apa yang terjadi Wat? Kenapa semuanya menjadi semakin enggak masuk akal? Aku takut."

Wati kebingungan, langsung menepuk Tian pelan. Agar Tian ikut menenangkan Aya. Tian langsung merangkul Aya dan benar saja, Aya merasa sangat tenang setelah itu.

"Jadi, mungkin yang akan kamu dengar bakal lebih enggak masuk akal lagi Ya. Kamu siap?"

Aya terdiam, namun rangkulan Tian Aya membuat Aya yakin untuk menganggukkan kepalanya. Aya harus berani menghadapi semua takdirnya. Takdir yang telah mimpinya bentuk untuknya. Aya tidak boleh ragu sedikitpun, atau mungkin Aya tidak akan bisa menjadi pemenang di hidupnya sendiri.

"Jadi, selama kurang lebih dia hari ini yang terbangun di tubuhmu itu bukan kamu Ya." Aya membulatkan matanya sekaligus mengernyit. Maksudnya monster? Pikiran Aya terlalu aneh untuk orang yang baru saja bangun dari tidur.

"Kalau dia bilang, dia dari masa lalumu Ya. Kamu punya banyak kesalahan. Itulah mengapa kamu sekarang membawa kutukan mimpi. Dan..." Wati tampak melirik Tian dan Aya mengikutinya. Tian tampak mengangguk dengan terpaksa.

"Dan sosok itu bilang kamu harus menikah sama pengendali mimpi, supaya mimpi kematian itu bisa hilang."

Kali ini Aya melirik Tian, jadi ini yang Tian khawatirkan. Ya, Aya memanglah orang yang sangat impulsif. Suka membuat keputusan semaunya sendiri. Aya tahu, Tian takut Aya meninggalkannya. Lantas Aya menggenggam tangan Aya.

"Jangan takut Yan, aku cuman mau sama kamu." Tian membulatkan matanya, namun keterkejutan itu langsung berganti menjadi sebuah senyuman. Setelah merasa hal yang Tian khawatirkan padanya menghilang. Barulah Aya bersiap menyimak Wati lagi.

"Terus kenapa luka aku bisa langsung sembuh?"

"Itu, kita juga enggak tahu. Ada satu waktu sosok itu mengamuk. Kemarin kamu hampir hancurin kamar inapmu Ya. Makanya kita pindah kamu ke rumahmu sendiri."

Aya menghela nafas sabar, lagi-lagi hal aneh yang belum bisa terjawab.

"Kenapa hidupku menyulitkan banget sih. Sebenarnya apa salahku? Kenapa aku seperti ini? Aku cuman mau hidup normal seperti orang lain. Atau ini memang karena dari awal aku enggak terlahir sebagai orang normal." Aya tersenyum miring. Jika mungkin Aya hanya membawa kesialan untuk dirinya sendiri mungkin Aya tidak akan semenderita ini. Aya merasa sangat bersalah pada semua orang, semua yang mati akibat mimpi yang sudah Aya bawa.

Semua akan baik-baik saja. Bodohnya memang, itulah kata-kata yang selalu Aya ucapkan untuk menenangkan hatinya. Walaupun Aya tahu, tidak akan ada yang baik-baik saja jika mimpi itu datang.