Aya melangkahkan kakinya seringan mungkin agar tidak menimbulkan bunyi decitan di lantai kayu ini. Rumah milik keluarga Xiao Li memang jauh lebih modern ketimbang rumahnya. Namun, lantai dan beberapa furniturnya tetap terbuat dari kayu. Tidak meninggalkan gaya Jepang sedikitpun.
Aya menghampiri pintu yang sebelumnya hanya di lewati saja olehnya, karena sebelumnya Aya sudah pernah masuk namun bukan ke kamar Xiao Zian melainkan ke kamar Xiao Li untuk membantunya membereskan pakaiannya.
Setidaknya harus ada yang memeriksa kondisi Xiao Zian di sini. Kakak dan ayah anak itu pasti sedang kerepotan menyambut tamu undangan sedangkan menggantikan sang bintang yang sedang sakit.
Bunyi khas suara pintu tergeser saat Aya membuka pintu itu separuh. Tidak ada cahaya di dalam kamar itu. Yang ada hanya pantulan cahaya dari lampu jalan yang masuk melalui celah jendela yang terbuka.
Pantas saja anak itu terkena demam. Tidur dengan hawa dingin dan membiarkan jendela terbuka itu benar-benar sembrono. Seolah-olah dia memang ingin sakit.
"Xiao Zian. Kau masih tidak enak badan?" Ucap Aya sembari melangkahkan kakinya masuk ke dalam untuk segera menutup jendela itu. Tangan Aya hampir membeku saat menyentuh dinginnya kayu jendela. Lantas setelah berhasil menutup jendela dan kordennya, Aya meniup-niupkan nafasnya ke jari-jari lentiknya. Menyalurkan sedikit kehangatan.
"Ini aku, kak Aya. Maaf masuk tanpa mengetuk pintu. Kau tidur dengan jendela terbuka. Kau tak apa?" Aya berhenti meniup tangannya. Kemudian menoleh pada gundukan selimut di atas kasur yang tertutup oleh tebalnya selimut.
"Mungkinkah anak ini tidur? Di ruangan sedingin ini?" Gumam Aya menatap anak itu aneh. Aya segera mencari sakelar lampu dan menghidupkannya.
Hal pertama yang Aya lakukan setelah ruangan menjadi terang adalah menghidupkan penghangat ruangan. Kemudian menatap anak itu sekali lagi.
Aya merasa ada yang tidak beres, karena Aya tidak tahu apa yang di lakukan anak itu di balik selimutnya. Tidur? Atau bermain Hp?
"Baiklah, kakak akan matikan lampu dan menutup pintunya lagi. Kalau sudah baikan turun dan makanlah sesuatu." Tak ada jawaban. Mungkin anak itu memang sedang tertidur.
Sejak kejadian penusukan dan sejak Aya tidak pernah lagi mendapatkan mimpi kematian. Satu hal yang selalu Aya lakukan adalah memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Siapapun itu, karena mimpi kematian yang dulu menghantuinya, selalu mencegah Aya untuk memberi perhatian lebih pada orang-orang yang Aya sayangi.
Aya mematikan sakelar lampu dan berbalik hendak keluar dari ruangan.
BRUK!
Namun suara itu membuat Aya menoleh lagi ke belakang. Saat Aya menghidupkan kembali lampu kamar Zian.
"ZIAN!" Jerit Aya melihat anak itu tergeletak di bawah ranjangnya.
*
Ini arisan kah? Atau sedang ada acara kondangan? Seluruh tamu yang ada di rumah Xiao Li membantu keluarga itu membawa anggota paling muda ke rumah sakit terdekat.
Sungguh, toleransi dan rasa kemanusiaan di lingkungan perumahan yang Aya tinggali benar-benar tinggi.
Pendatang baru seperti Xiao Li dan Xiao Zian dibantu tanpa pamrih. Mereka yang belum hafal di mana letak-letak rumah sakit, dengan senang hati mengantarkan bersama-sama.
Rumah sakit di Jepang umumnya tidak memiliki pasien yang banyak, karena gaya hidup mereka yang sehat. Hanya ada lima pasien yang di rawat di rumah sakit malam ini.
Atau mungkin karena rumah sakit ini berdiri di pinggiran kota Tokyo? Aya masih mencoba memahami.
Rumah sakit yang sepi, berubah menjadi sangat ramai saat seluruh orang yang mengantar Zian berlalu-lalang di lorong-lorong panjang ini. Sungguh beruntung, karena rumah sakit ini mudah di jangkau dengan jalan kaki.
Pintu ruangan pasien terbuka. Seseorang dengan jas putih khas milik dokter keluar, pria yang sudah cukup tua.
"Pasien baik-baik saja. Dia demam ringan, sebentar lagi kondisinya akan pulih." Ucap Dokter itu segera saat sekumpulan orang mengerubunginya, bagai makanan semut yang manis.
Ada helaan nafas lega dari banyak orang. Sedangkan Xiao Li yang masih belum paham betul bahasa Jepang, bisa ikut menghela nafas lega saat mengetahui ekspresi lega dari para tetangganya.
"Tapi dokter bagaimana dengan busa yang keluar dari mulutnya?" Tanya nenek Haruka yang membuat semua orang kembali menegang.
"Semua tidak perlu khawatir, dia hanya terlalu banyak mengonsumsi obat penurun panas. Sekarang aku sudah keluarkan itu dari perutnya."
Penjelasan yang sangat mudah dipahami oleh seseorang yang sudah renta seperti nenek Haruka. Nenek Haruka lantas menganggukkan kepala dan mengucapkan terima kasih pada dokter.
Satu-persatu dari tetangga, berpamitan pulang setelah memastikan kondisi Xiao Zian sudah membaik.
Kini hanya tersisa Aya, Tian, Nenek Haruka, Xiao Li dan ayah Xiao Li.
Xiao Li mendekat pada Aya yang betah duduk diam di samping kekasihnya. Di antara semua orang Aya-lah yang terlihat paling terpukul. Tentu saja, Aya yang menemukan kondisi mengenaskan Zian. Jika Xiao Li ada di posisi Aya, mungkin dia akan berteriak lebih kencang dari Aya.
"Aya, apa kau bisa terjemahkan apa yang dikatakan dokter tadi?"
"Zian, baik-baik saja. Hanya kebanyakan minum obat penurun panas. Tapi dokter sudah membersihkan perutnya dari obat itu."
"Syukurlah."
Nenek Haruka mendekat ke arah mereka.
"Aya, ayo kita pulang. Ada Xiao Li dan ayahnya yang menjaga Zian di sini." Aya masih terdiam, melalui tatapan nenek Haruka menanyakan apakah Aya baik-baik saja kepada Tian.
Tian menganggukkan kepalanya pelan. Memberi arti bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Ya sudah kalau masih mau di sini. Nenek harus pulang sekarang." Dengan sigap Xiao Li mengantar nenek Zian pergi keluar, meninggalkan Aya dan Tian yang masih duduk di sana.
Ayah Xiao Li? Ia pergi untuk beberapa urusan penebusan obat dan semacamnya.
Tian tidak berhenti mengusap bahu Aya dengan rangkulannya.
"Kau tidak mendapatkan mimpi tentang Zian kan Ya?" Tanya Tian memastikan. Melihat keadaan kamar Zian, sama seperti kamar-kamar kliennya yang mencoba bunuh diri.
"Enggak Yan, sama sekali. Setelah penusukan itu terjadi aku sama sekali belum pernah dapat mimpi kematian lagi." Tian memeluk tubuh Aya dengan cepat. Baru setelah itu Tian tahu, tubuh Aya bergetar dengan sangat hebat.
"Kalau begitu ini bukan salahmu Ya." Tian berusaha menenangkan gadisnya. Meyakinkan bahwa kejadian ini bukan berasal dari mimpinya. Bukan karena dirinya.
"Kakak." Samar-samar Aya mendengar panggilan lirih dari dalam bangsal yang di tempati Zian.
Aya masuk ke dalam bangsal itu dengan langkah besar. Tian kesulitan mengikuti Aya yang berjalan dengan cepat.
"Aya-san. Kakakku di mana?"
"Masih berani mencari kakakmu setelah melakukan itu?"
"Maksud Aya-san apa?"
"Kau kira aku tidak tahu apa yang coba kau lakukan? Kau mencoba bunuh diri! Aku tahu itu." Tian dan Zian mendelik mendengar ucapan Aya. Tian pikir Aya tidak tahu, Zian pikir ia sudah melakukannya dengan baik dan tersembunyi.
Salah, hampir dari separuh mimpi yang Aya dapatkan sebelumnya adalah kejadian tentang bunuh diri. Kurang lebih Aya tahu bagaimana situasi ketika seseorang mencoba membunuh dirinya.
Aya tidak pernah menyalahkan dirinya yang mendapatkan mimpi tentang orang yang bunuh diri. Aya justru akan menyalahkan orang itu dengan keras.
"Karena banyak yang ingin hidup tapi dia tidak bisa. Jadi lakukan dengan lebih baik lagi jika benar-benar ingin mati, jangan buat kakak atau ayahmu mengkhawatirkanmu. Atau hargai hidupmu."
Ya, itu semua karena Aya lebih banyak melihat kematian di hidupnya.
Karena kesempatan hidup yang tidak datang dua kali, harusnya di hargai.