Chereads / My Destiny from the Dream / Chapter 31 - Mimpi masa depan dan bayangan masa lalu

Chapter 31 - Mimpi masa depan dan bayangan masa lalu

Aya berjalan di sebuah lorong-lorong panjang tak berujung. Matanya terpaku pada jalan lurus yang dilaluinya. Seluruh dekorasi didominasi oleh warna putih yang elegan.

Tempat ini terasa sangat tidak asing, Aya pernah mengunjunginya tapi Aya tidak ingat apa nama tempat itu.

Bulir air mata Aya mengalir begitu saja, hatinya mendadak sakit bagai ditusuk oleh ribuan jarum. Isakannya mulai terdengar jelas saat kakinya melangkah lebih jauh.

Setiap orang yang melewati Aya menatap aneh dirinya. Kenapa tidak ada yang menghibur Aya? Hati Aya sedang kesakitan dengan hebat sekarang.

Mata Aya menangkap papan tanda ICU yang tergantung di langit-langit putih itu. Kaki Aya melangkah perlahan kemana tanda papan itu menunjukkan arah.

Aya berjalan seperti orang yang kehilangan akal. Pandangan matanya kosong sembari terus mengeluarkan tetes demi tetes air mata.

Hatinya perih tanpa sebab yang jelas. Ia bahkan tidak tahu apa yang menantinya didepan sana. Isakan tangisnya tidak bisa berhenti, malah semakin keras saat kakinya terus melangkah.

Bruk!

Bahu Aya tersenggol dengan keras oleh orang yang berjalan terburu-buru dari arah berlawanan.

*

Aya terbangun merasakan bahu sebelah kanannya yang nyeri. Rupanya Aya tertidur di sofa ruang tamunya dengan posisi miring, pantas saja bahunya terasa sangat pegal saat ini.

Entah mengapa bekas luka di bahu kanannya kembali sakit seperti saat baru mendapat luka ini. Perih. Aya memijat bahu kanannya perlahan.

Aya terduduk lesu disofanya sambil berfikir apa maksud mimpinya barusan?

Aya bangkit menuju saklar lampu dan menghidupkannya, barulah Aya bisa melihat pukul berapa Aya terbangun sekarang. Pukul 2 pagi. Bagus.

Aya baru saja pulang menyelesaikan rapat final pukul sebelas malam dan sekarang Aya terbangun pukul dua malam. Hanya tiga jam Aya tertidur dan masih menggunakan outfit kerjanya. Kemeja dan celana kulot.

Ya, lagipula ini bukan hal asing lagi baginya. Tidur dengan waktu yang singkat.

Aya beralih menuju dapur untuk membuat sandwich untuk menemaninya meminum kopi. Tidak cukup baik jika minum kopi dengan perut kosong. Aya membawa sandwich dan kopi yang selesai dibuatnya menuju kamar dan berencana menggambar mimpi yang baru saja Aya dapat kedalam buku gambar mimpinya.

Begitu terkejutnya Aya melihat sosok teman masa kecilnya dengan nyenyak tertidur di ranjang miliknya.

Sialan!

Dengan nikmatnya Tian tidur nyenyak di kasur empuk dan membiarkan Aya tertidur di sofa ruang tamu. Aya mempunyai ide cemerlang untuk mengerjai Tian, tapi Aya urungkan mengingat jam baru menunjukan pukul dua. Kasihan jika Tian kekurangan waktu tidur.

"Baiklah, tidur yang nyenyak Tian. Kita tunggu dua sampai tiga jam lagi untuk mengerjaimu. Hehehe."

Jam-jam seperti ini sangat rawan. Katanya banyak hantu yang berkeliaran di jam seperti ini. Itu bagus, karena itu berarti bukan hanya Aya saja yang mencoba untuk tidak tertidur. Aya memiliki teman!

Aya membuka laci nakasnya, mengambil peralatan menggambarnya dan membawanya ke meja kerjanya, bersama dengan sandwich dan kopi. Tak lupa Aya menghidupkan lampu belajarnya dan tetap mematikan lampu ruangan agar tidur Tian tidak terusik.

Tangan Aya mulai bergerak menggambar garis demi garis, coretan demi coretan yang membentuk mimpinya. Sesekali mulut Aya mengunyah sandwich dan menyeruput kopinya.

Tanpa Aya sadari, Tian terbangun dan memiringkan tubuhnya agar leluasa memandangi Aya diantara kegelapan ini. Entah bagaimana rasa sayang Tian muncul begitu besar kepada gadis yang dulu dingin itu.

* Flashback

Musim penghujan di akhir tahun pelajaran kelas dua belas. Saat ini seluruh siswa dan siswi kelas sua belas sedang disibukkan dengan perisapan ujian nasional.

Bukan hanya itu saja, setiap kelas diharuskan untuk membuat satu karya seni untuk diberikan kepada sekolah sebagai kenang-kenangan. Kelas Aya membuat sebuah lukisan sekolah berukuran besar dan Aya adalah pelukis dasarnya. Untuk pewarnaan dan lain-lain diteruskan oleh teman-temannya yang lain.

Aya terkejut dikala bunyi petir menyambar dengan kencang. Sepertinya hujan akan turun sangat lebat. Aya tidak bisa mendengarnya karena gedung sekolahnya kedap suara dari luar.

Saat ini Aya sedang mencuci tangannya usai menuntaskan panggilan alam, setelah ini Aya harus segera menuju aula dimana seluruh siswa dan siswi diminta berkumpul untuk pemantapan ujian nasional, jangan sampai Aya ketinggalan banyak informasi.

Tunggu, apa ini berarti dikelas sedang tidak ada orang? Lalu bagaimana dengan lukisan yang sedang dikeringkan? Lukisan itu sengaja ditaruh di dekat jendela agar terkena angin dan sinar matahari, tapi petir itu menandakan hujan akan turun bukan?

Aya segera berlari meninggalkan keran wastafel yang masih menyala. Bisa jadi masalah besar jika air hujan memercik mengenai lukisan.

Aya berlari sekuat tenaganya saat melihat seluruh isi bumi sudah basah oleh air hujan dari balik jendela koridor.

Aya membuka pintu kelasnya, tapi sialnya pintu ini terkunci. Hal biasa yang selalu dilakukan setiap kelas untuk menjaga barang mereka tetap aman, saat seluruh penghuninya pergi.

Aya kembali berlari menuju ruang guru untuk mengambil kunci cadangan. Terlalu jauh jika Aya harus menuju aula untuk mengambil kunci dari ketua kelas.

Aya segera menyerobot kunci kelasnya di lemari penyimpanan. Menghiraukan nafasnya yang terengah-engah karena terus berlari.

Aya membuka pintu kelasnya dengan cepat.

"Aduh basah semua!" Pekik Aya saat melihat lukisan milik kelasnya mulai tidak berbentuk karena terkena air.

Hal pertama yang Aya lakukan adalah menutup jendela kelasnya dan membawa lukisan besar itu ke bagian depan kelasnya. Aya memandang cemas lukisan hancur itu.

"Sekarang gimana? Pasti temen-temen bakal kecewa lihat ini."

Tanpa berfikir panjang Aya meraih alat-alat lukis yang tersimpan di lemari kelas. Aya mulai mengeluarkan dan mencampur warna kedalam palet. Aya harus memperbaiki lukisan ini, Aya tidak ingin usaha teman-temannya menjadi sia-sia.

Melalui perantara kuas, Aya mulai menorehkan warna kedalam kanvas besar yang rusak itu. Sedikit demi sedikit, lukisan itu mulai memiliki bentuk lagi.

"Jangan sakit ya lukisan. Ini aku obatin."

Apa teman-temannya kecewa jika mengetahui lukisan ini menjadi sedikit berbeda dengan aslinya?

Aya hampir menyerah dikala memperhatikan hanya separuh bagian lukisan yang baru Aya bisa perbaiki. Tangan Aya mulai pegal. Aya mengumpulkan semangatnya sekali lagi dan terus melanjutkannya.

"Aya! Lo apain lukisannya?" Aya tersenyum dikala melihat ketua kelasnya datang lebih dulu dibanding dengan yang lainnya.

"Ketua kelas. Ini tadi lukisannya kena.."

"Lo siram pake air ya lukisannya." Ucapan Aya terpotong begitu saja oleh perkataan ketua kelasnya yang berkata seakan Aya sengaja melakukan ini.

"Gak kok."

Semua teman-teman Aya yang baru saja datang segera melihat apa yang terjadi. Semua penasaran karena teriakan ketua kelas.

"Terus apa?! Lo sengaja siram biar bisa ngubah lukisan ini sesuai sama kemauan lo kan?!"

Aya menggeleng pelan. Ini tidak seperti yang mereka duga, tapi ribuan pertanyaan teman-temannya membuat Aya tidak bisa mengeluarkan satu kata penjelasanpun.

"Kita tahu kok. Gambar kita gak sebagus punya lo! Tapi gak gini juga dong, kalau lo ubah lukisannya kayak gini sama aja lo gak ngehargain usaha kita." Aya benar-benar tidak memiliki maksud seperti itu. Bagaimana Aya harus mengatakannya, agar mereka percaya?

Aya berusaha menahan air matanya yang hampir mengalir, semua teman-temannya menatapnya bagaikan penjahat.

"Lo keterlaluan Ya! Pantes aja gue heran pintunya kebuka pas balik secara gue yang bawa kuncinya. Ternyata lo.. ck. Licik."

Aya tak kuasa berada di antara teman-temannya. Aya memang tidak berusaha mengenal mereka, namun bukan berarti Aya tidak peduli kepada mereka.

Aya berlari keluar dari kelasnya, air matanya menetes bersamaan dengan langkahnya yang cepat.

Aya merutuki dirinya yang memiliki kutukan mimpi kematian. Jika saja Aya tidak memiliki kutukan mimpi itu, mungkin sekarang Aya akan memiliki teman yang ada disampingnya. Yang membelanya dan menghiburnya disaat seperti ini.

*

Tian melihat Aya yang berlari keluar dari kelas dari kejauhan. Ada apa?

"Aya kenapa?" Tanya Tian kepada Andi dan Jojo. Ya, mereka berdua memang sudah berteman dengan Tian sedari SMA. Teman-teman Tian yang lain ada yang berbeda kelas, ada juga yang baru bertemu saat Tian masuk ke perguruan tinggi.

Aya memang tidak pernah mengingat siapapun sejak kematian ibunya. Takut jika Aya akan memimpikan mereka.

"Aya nyiram lukisan pake air." Tian mengernyit heran mendengar penjelasan Andi. Aya? Melakukan hal seperti itu? Tidak mungkin.

"Iya, coba lihat deh lukisannya. Berubah drastis." Tian mengikuti arah mata Jojo yang menunjuk lukisan besar didepan kelasnya. Menurut Tian ini tidak terlalu jauh berbeda. Malah lebih cantik dan hanya belum selesai saja.

"Kalian yakin kalau Aya ngelakuin itu?" Tanya Tian pada kedua temannya.

"Lo mah gitu Yan. Gak pernah percaya ucapan gue. Tanya langsung sama ketua kelas yang lihat sendiri kejadiannya."

Tian mendekat kearah ketua kelas.

"Buket." Panggil Tian.

"Kenapa Yan?"

"Katanya Aya nyiram air kelukisan?" Ketua kelas menghela nafas.

"Iya, gue harus bilang berapa kali sih. Tuh lihat lantainya sampe basah gitu." Mata Tian beralih pada bagian samping kelasnya. Memang basah.

"Gue tahu lukisan dia bagus, tapi.. Aaaaa!" Jerit ketua kelas dan beberapa siswi yang terkejut oleh suara petir yang menyambar.

Sontak Tian membuka semua jendela dengan cepat dan membuat semua orang yang berada di dekat jendela menyingkir, tidak ingin terkena cipratan air hujan.

"See, ini bukan salah Aya." Ketua kelas membulatkan matanya lebar.

"Lo gak tanya dulu apa yang dilakuin Aya?" Ketua kelas menggeleng. Semua orang dalam kelas mulai memperhatikan percakapan mereka.

"Untung Aya inget kalau lukisan ini di deket jendela, kalau gak kita ngulang dari awal sedangkan besok lukisan ini harus udah diserahin ke sekolah. Itu berarti Aya rela gak ikut pemantapan demi memperbaiki lukisan ini. Demi kalian! Tapi kalian malah nuduh Aya." Semua terdiam, tak ada yang berani membantah Tian.

"Iya nih. Padahal gak ada bukti fisik Aya nyiram pake air."

"Lukisan sebesar itu harus siram air seember penuh."

"Gak mungkin juga kalau botol minum. Pasti butuh banyak, sedangkan disini gak ada botol minum bekas."

"Tempat sampah kita juga bersih."

"Aku tahu sih, Aya anaknya pendiem misterius gitu. Tapi dia bukan tipe-tipe anak begini deh."

Andi dan Jojo memang teman Tian, mereka berdua memulai membuka opini memancing yang lain.

Ketua kelas mulai gemetaran mendengar gumaman teman-teman sekelasnya. Ia tidak sadar bahwa ia telah menuduh Aya dengan sangat kejam.

"Kalian nuduh Aya sembarangan. Sekarang terserah kalian, jangan minta Aya buat nerusin lukisan ini. Gak bakal aku izinin!"

Tian keluar, tak lupa menendang pintu dengan keras, pertanda emosinya yang menggebu-gebu.

*