Chereads / My Destiny from the Dream / Chapter 32 - Belum siap di seriusin

Chapter 32 - Belum siap di seriusin

Tian melihat punggung Aya yang naik turun karena sesegukan. Suara tangis Aya teredam oleh suara guyuran hujan yang menghantam tanah dan paving.

Tidak sulit untuk menemukan Aya. Aya selalu ada di tangga bagian ujung sayap kiri sekolahnya, tangga teratas yang menghubungkan ruang-ruang ekstrakurikuler ke atap gedung sekolahnya. Ini adalah tempat yang biasa Aya gunakan untuk menyendiri.

Sangat strategis digunakan sebagai tempat persembunyian, karena jarang dilalui warga sekolah. Hanya ramai saat ektrakurikuler dimulai.

Tian terkekeh melihat Aya yang buru-buru menghapus jejak air matanya dan segera memalingkan wajahnya, saat Tian duduk disampingnya.

"Kenapa disembunyiin?" Tidak ada jawaban dari Aya.

"Aya." Panggil Tian, sekali lagi Aya masih terdiam. "Maafin aku, aku tadi bolos pemantapan. Aku kira kamu ada di aula."

"Pergi!" Huft! Selalu saja satu kata itu yang keluar pertama kali dari bibir Aya ketika bersama Tian. Aya adalah batu es yang dinginnya mengalahkan kutub utara dan selatan.

Tian maklum. Tahu jika berat bagi Aya untuk lepas dari bayang-bayang mimpi kematian orang-orang disekitarnya.

"Ya. Jangan sedih lagi ya? Kamu gak salah apa-apa, temen-temen yang salah." Aya menggeleng kuat.

"Apa ada hal lain yang buat kamu sedih Ya?" Tebak Tian, membuat tubuh Aya membeku seketika. Tian rasa tebakannya tidak salah.

"Ada apa Ya? Cerita sama aku." Bujuk Tian.

"Kamu harus menjauh dari aku Yan."

"Loh kenapa?" Saat itulah Tian bisa melihat seluruh kesedihan dari dalam mata Aya. Air mata Aya kembali menetes.

"Pergi." Aya bangkit dan turun dari tangga itu, hendak meninggalkan Tian.

Namun kecepatan Aya masih kalah dengan langkah lebar milik Tian. Tian berhenti di hadapan Aya, menutup akses kabur Aya. Tian berdiri berjarak tiga tangga di bawah Aya, hingga kini tinggi mereka sejajar.

"Aku gak akan pergi sebelum kamu cetita." Ucap Tian dengan nada yang serius. "Apa ini tentang mimpi lagi?"

Tian menyelipkan anak rambut Aya ke belakang telinga, saat Aya masih berusaha menghentikan tangisnya dan tak berhenti mengusap air matanya yang terus mengalir.

"Sherli, keponakanku yang pernah dititipin di..rumahku." Tian mengangguk-anggukan kepala, mendengarkan setiap kata yang Aya keluarkan. "Dia.. dia..." Ucap Aya tersendat-sendat karena tangisnya.

"Dia meninggal karena tersedak buah rambutan. Sama kayak di mimpi aku." Aya menangis sejadi-jadinya setelah berhasil mengucapkan apa yang tertahan di dalam hatinya.

Entah mengapa hati Tian ikut teriris melihat Aya yang menangis seperti ini. Tian tidak tahu bagaimana cara menghentikan mimpi Aya yang terus menjadi kenyataan. Yang hanya bisa dilakukan Tian hanya menghibur Aya hingga lupa bagaimana kesedihan itu datang.

Kesedihan Aya menjadi berlipat-lipat ketika mengingat, Ayahnya tidak mengizinkan Aya ikut ke pemakaman Sherli dengan alasan Aya harus tetap sekolah agar ujiannya lancar. Aya tahu, ayahnya hanya ingin Aya tidak bertemu keluarga lain dan mendapatkan mimpi tentang mereka.

Juga, Aya menyesal telah membiarkan Sherli memakannya, tidak tega melarang bocah manis itu untuk memakan buah kesukaannya. Jika Aya melarangnya sejak awal Sherli tidak akan ditemukan meninggal di kamarnya, persis seperti mimpi Aya.

Tian maju selangkah untuk membawa Aya kedalam pelukannya. Biarlah bahunya basah oleh air mata Aya, asalkan itu dapat mengurangi kesedihannya. Tian melepas pelukannya, menghapus jejak-jejak air mata Aya.

"Makanya kamu harus menjauh, sebelum aku dapat mimpi tentang kamu Yan." Tian menggeleng. "Itu gak akan pernah terjadi." Ucap Tian penuh keyakinan. Bisakah Aya mempercayainya?

"Jangan sedih lagi, itu bukan salah kamu. Nanti kita mampir ke makamnya ya? Kita kirim doa buat Sherli." Aya mengagguk patuh.

Tidak, seharusnya sejak awal Aya menolak ketika Sherli akan dititipkan dirumahnya. Jadi Aya tidak akan mengenal Sherli, tidak juga bermain dengan bocah itu. Pasti saat ini Sherli masih tersenyum menunjukkan giginya yang menghitam karena kebanyakan memakan permen.

Tian kembali memeluk Aya yang masih terisak.

Siapa yang tidak menyukai si tampan Tian disekolah ini? Siapa yang tidak diam-diam menyukai Aya si cantik misterius? Tapi Tian terkenal menjadi pawang Aya. Kemanapun Aya pergi Tian akan mengikutinya. Begitu juga sebaliknya.

Melalui kejadian itu, Aya tidak pernah lagi menjadikan karyanya sebagai tontonan publik. Aya hanya menikmati gambarnya untuk dirinya sendiri, di dalam buku gambarnya yang sudah bertumpuk-tumpuk.

* Flashback berakhir

Sreeek!

Aya terkejut setengah mati mendengar suara tirai yang tiba-tiba terbuka. Sinar matahari yang hangat masuk menembus kaca jendela kamarnya.

Tian sudah terbangun dari tidurnya. Sial, Aya terlalu fokus menggambar hingga lupa waktu dan membuat rencananya mengerjai Tian gagal.

"Selamat pagi sayang!" Seru Tian sumringah menyapa Aya. Tian merangkul bahu Aya dan memperhatikan gambar yang baru setengah jadi milik Aya.

"Gambar apa Ya? ICU?" Aya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tian tahu kebiasaan Aya yang suka menggambar hal-hal random yang muncul dalam mimpinya.

"Udah mandi?" Tanya Aya pada Tian, mentang-mentang sudah kenal dari kecil, Tian dengan entengnya menganggap rumah Aya sebagai rumahnya sendiri. Padahal apartemen Tian lebih mewah dari rumah Aya, entah apa yang membuat Tian lebih betah berada dirumahnya dibandingkan dengan apartemennya sendiri.

Apa Tian lupa bahwa Aya adalah gadis lajang? Apa yang akan difikirkan tetangganya, ketika Aya keluar rumah di pagi hari dengan seorang pria? Walau sebenarnya Aya tidak memusingkan hal semacam itu, banyak juga tetangga Aya yang sudah mengenal Tian.

"Udah." Balas Tian. "Kamu gak mau gambar aku Ya?" Mata Aya menyipit, mendongak menatap Tian yang berdiri disampingnya.

Aya tahu pepatah yang mengatakan. Apabila seorang seniman menggambar seseorang untuk pertama kalinya, maka seseorang itu adalah orang yang dicintainya. Untuk itu Aya masih harus berfikir ribuan kali. Apakah hatinya benar-benar akan jatuh pada Tian?

"Gak!" Tolak Aya dengan senyuman semanis mungkin. "Sekali aja gambar wajah ganteng aku ini biar gak nganggur, biar gak sia-sia, biar gak mubazir Ya." Rengek Tian.

"Kamu ganteng?" Tanya Aya memastikan dan Tian mengagguk penuh dengan kepercayaan diri.

"Sejak kapan?" Tian berfikir sejenak. "Dari kandungan." Aya berpura-pura ingin memuntahkan isi perutnya.

"Ngaco." Aya merapikan alat-alat gambarnya, kemudian bangkit meraih handuk pada gantungan belakang pintu kamarnya.

*

Baru juga Aya mandi dan bersiap selama dua puluh menit, tapi begitu Aya keluar dari kamar mandi entah kenapa suasana dirumahnya menjadi mencekam. Aya melihat Ayahnya dan Tian sedang memakan bubur ayam yang entah dari mana mereka dapatkan.

"Aya. Sini makan, masih ada satu bungkus nih buat kamu." Panggil ayah Aya, Ayapun melangkah mendekat.

"Eh, ngapain kamu duduk situ?! Sini nggak?!" Bokong Aya yang hampir menyentuh kursi disamping Tian gagal dan berpindah pada kursi samping ayahnya. Tian yang melihatnyapun hanya bisa terdiam.

"Besok lagi jangan biarin Tian nginep disini." Tian mendelik mendengar ucapan ayah Aya.

"Kenapa!"

"Kenapa?"

Jawab Tian dan Aya bersamaan, ayah Aya segera menelan bubur lembut yang masih ada dalam mulutnya bulat-bulat.

"Kok tanya kenapa? Kalau Tian serius sama kamu dia bakal nikahin kamu atau paling gak di lamar lah. Lah ini? Gak ada hubungan main nginep mulu. Tetangga yang lihat bisa mikir macem-macem."

"Oh kirain apa." Ayah Aya mendelik mendengar reaksi santai dari anaknya.

"Kamu ini?!"

"Lagian Aya yang belum siap Tian seriusin kok Yah." Ayah Aya mendelik mendengar Tian memanggilnya Ayah. Yang benar saja, Ayah bagaimana?

"Ayah?!"

"Iya, ayah."

Sontak Ayah Aya memukulkan sendok bersih yang kebetulan bertengger di tengah-tengah meja makan ke jidat Tian.

"Aw!" Tian segera menyembunyikan jidatnya dengan kedua telapak tangannya.

"Makanya kamu itu sebagai lelaki harusnya tahu batasan." Tian merengut. Tian tahu ini bukan hal asing lagi bagi Aya dan dirinya, namun semakin bertambah umur maka bertambah juga list yang pantang untuk dilakukan.

"Aku berangkat dulu." Sontak Ayah Aya dan Tian menoleh pada Aya yang sudah selesai dengan sarapannya.

"Udah selesai Ya?"

"Udah Yah. Aya berangkat dulu." Aya menerima uluran tangan ayahnya.

"Tungguin Ya." Ujar Tian sembari memasukkan bubur kedalam mulutnya dengan cepat. Ayah Aya yang melihat Tian, hanya bisa mendecakan lidah tak suka.

"Ayah, Tian berangkat dulu."

"Gak usah salim. Sana!" Tian meringis dan segera menyusul Aya yang sudah lebih dulu masuk kedalam mobilnya.

Setelah Tian masuk kedalam mobil, hal pertama yang menyambutnya adalah suara tawa Aya. Rupanya Aya sangat menikmati kesengsaraan Tian jika berhadapan dengan Ayahnya.

"Jangan ketawa." Aya mengulum bibirnya untuk menahan tawanya. Tian segera melajukan mobilnya keluar dari rumah Aya menuju jalanan macet pagi ini.

Diantara macet dan sahutan bunyi klakson, Tian bertanya pada Aya.

"Ya. Kamu gak mau bilang ke ayah soal Citra dan jam tangan itu?"

Aya menghela nafas berat.

"Aku rasa jangan dulu. Ayah cari elemen jam itu sampai keluar negeri. Aku takut ayah kecewa karena tahu usahanya sia-sia."