Kirana melirik kesal pada Raden, enak saja main rangkul. Melihat Kirana kesal, Raden mengangkat sebelah alisnya sambil tersenyum tipis.
"Sialan kamu Sekar. Kenapa kamu membuatku seperti ini!" umpat Kirana dalam batinnya. Ia tau pasti kalau lidahnya kaku gara-gara perbuatan Sekar yang tidak mengijinkannya berbicara dan membongkar kejadian semalam pada pamannya.
"Ayo, lebih baik kita pergi ke sana sekarang. Biar kalian melihatnya langsung!" ucap paman langsung menarik tangan Raden dan Kirana.
Kirana masih belum bisa menggerakkan lidahnya, ia terdiam pasrah ketika paman menariknya. Begitu juga dengan Raden, ia tau kalau paman akan membawanya menuju ke tempat pohon yang Raden tebas semalam. Tapi apa boleh buat, ia hanya bisa mengikutinya.
Sesampainya di sana, Raden dan Kirana cukup terkejut kalau ternyata tempat itu sudah dipenuhi oleh warga desa. Kirana melirik tajam ke arah Raden Sastra, sedangkan Raden Sastra pura-pura tidak bersalah dan mengalihkan pandangannya.
"Aku kira cuma aku saja yang tidak rela kalau pohon ini roboh, ternyata warga juga sangat sedih dan marah karena pohon ini ditebang. Pria menyebalkan ini yang harusnya bertanggung jawab, tapi sekarang dia malah pasang wajah sok polos!" bisik Kirana dalam hati.
"Ada pertanda buruk apa ini... Pohon kehidupan telah tumbang! Sungguh tega sekali orang yang menebasnya" ucap salah satu pria sepuh dengan nada yang bergetar. Pria tua itu meraba permukaan pohon dengan wajah yang sedih.
"Pohon ini sakti dan sudah berumur ribuan tahun. Orang yang mampu menebasnya pasti memiliki ilmu yang sangat tinggi" sahut warga lainnya.
"Ya... Ya... Benar!" jawab mereka saling bersahut-sahutan.
Kirana terdiam menyimak ucapan para warga itu. "Sebenarnya ada apa dengan pohon ini? Kenapa mereka menyebutnya dengan pohon kehidupan? Sepertinya pohon ini sangat penting bagi warga sini" bisik Kirana bertanya dalam hati.
"Ya... Pohon ini memang sangat penting" jawab Sekar.
"Bisa kau jelaskan padaku Sekar? Apa fungsi pohon ini?" tanya Kirana melalui bisikkan batinnya.
"Dari jaman leluhur pohon ini sangat dihormati dan di jaga, bahkan pohon kehidupan ini juga sudah banyak menyembuhkannya orang. Orang-orang percaya bahwa pohon ini memiliki banyak kesaktian dan dulunya ditanam langsung oleh dewa. Banyak juga orang-orang sakti yang meminta petunjuk ke pohon ini"
"Bagaimana sebuah pohon bisa menyembuhkan orang?!" tanya Kirana lagi. Penjelasan Sekar benar-benar tidak masuk akal menurutnya. Kenapa warga disini sangat memuja pohon, padahal masih ada yang paling tinggi untuk disembah.
"Bisa... Getah dari pohon ini bisa dijadikan sebagai ramuan untuk berbagai penyakit. Bahkan, jika ada warga yang terserang penyakit aneh, kemudian di bawa ke depan pohon kehidupan maka dia bisa sembuh. Tidak hanya itu, pohon ini juga dipercaya sebagai tanda kemakmuran, atau bahkan bencana sekalipun. Jika daunnya tiba-tiba mengering dan gugur maka akan ada pertanda tidak baik, namun jika pohon ini subur dan mengeluarkan aroma harum, maka akan ada datang kebaikan dan kemakmuran"
Kirana terdiam sambil mendengarkan penjelasan Sekar, ya... Ia juga mengakui kalau pohon ini memang bukanlah pohon biasa. Buktinya, portal antara dua dunia juga bisa terbuka di pohon ini.
"Tersangkanya harus bertanggung jawab atas semua ini!" gumam Kirana kembali melirik Raden Sastra dengan tajam.
"Dia akan bertanggung jawab. Dia memiliki alasan tersendiri kenapa Raden Sastra menebang pohon kehidupan" jawab arwah Sekar.
"Alasan? Alasan apa?! Lihat yang dia lakukan sekarang, selain ingin menyiksaku, dia juga sudah membuat semua warga sedih!" balas Kirana dengan kesal.
"Alasannya hanya dia yang tau, tapi aku yakin ini adalah cara Raden untuk memperingatkan semua orang, ia mencoba memberi peringatan kalau setelah ini akan ada bencana yang terjadi"
"Be... Bencana apa?" Kirana jadi merinding mendengarnya.
"Pertumpahan darah!" balas Sekar dengan nada yang menggema di telinganya.
"Pertumpahan darah..." Kirana bergumam, akhirnya lidahnya yang dari tadi kaku, kini bisa normal dan ia bisa kembali berbicara.
"Apa kau bilang Sekar?" tanya Paman terkejut ketika mendengar gumaman Kirana barusan.
"Aahaha... Ti... Tidak paman, aku hanya sedang serius memikirkan siapa kira-kira orang yang bisa sehebat itu menebang pohon ini dengan tebasan yang sangat rapih" ucapnya mengalihkan pembicaraan.
Paman terdiam kemudian mengalihkan pandangannya ke arah pohon itu lagi. "Ya... Kau benar, dia pasti bukan sembarang orang"
Ditengah kerisauan itu, tiba-tiba saja datanglah segerombolan orang menunggangi kuda. Sontak wajah warga di sana berubah ketakutan bahkan sebagian langsung pucat, mata orang penunggang kuda itu langsung tertuju pada pohon.
"Eh... Siapa dia?" gumam Kirana. "Dari pakaiannya, sepertinya dia berasal dari kerajaan..." bisik Kirana sesekali melirik dan mengamati pria itu. "Raden..." pekik Kirana kemudian tersadar, ini gawat... Paman langsung menyeret mereka berdua ke sini tadi, sampai-sampai lupa kalau Raden harus menyamar ketika keluar.
"Gawat! Itu Senopati Lawe" ucap paman agak berbisik, wajahnya juga mulai terlihat berkeringat. "Maaf..." ucap paman pada Raden kemudian memakaikan capingnya ke kepala Raden Sastra.
"Bagaimana jika orang itu melihat Raden Sastra! Dia pasti akan menyeretnya ke istana dan memenggal kepalanya!" Kirana bergelut dengan pikirannya sendiri. "Eh... Tapi biarkan saja. Itu bukan urusanku!" bisiknya lagi berubah pikiran.
"Kurang ajar! Siapa yang berani menebang pohon ini!" ucap pria itu dengan suara lantang. Namun tidak ada satupun warga yang berani menjawabnya, selain itu juga warga benar-benar tidak tau menahu siapa yang menebasnya.
Pada saat pria bertubuh tinggi, gempal itu turun dari atas kudanya, warga langsung duduk bersimpuh sambil menundukkan kepalanya. Paman juga langsung menarik tangan Raden dan Kirana untuk segera ikut tersimpuh dan menunduk, meskipun bingung, Kirana tetap mengikuti alurnya.
Kemudian pria itu langsung melirik ke arah salah satu warga, ia langsung mencengkram erat lehernya kemudian menyuruh warga itu berdiri.
"Jawab dengan jujur. Siapa yang menebasnya?" tanya pria keji itu tanpa melepaskan cengkraman tangannya.
"A... Ampun Ndoro. Kami tidak tau" jawab pria itu dengan suara yang tercekik.
"Bodoh!" ucapnya kemudian menghempaskan warga itu hingga terpental jauh.
Keji sekali... Ia bahkan melempar warga desa yang tidak tahu apa-apa. Apakah orang-orang dari istana Negaran, memang kasar dan arogan seperti itu?
Kirana melirik ke tangan Raden yang terkepal erat, wajahnya tertunduk merah padam dan keningnya mulai basah oleh keringat.
"Sudah 101 purnama... Raja menunggu waktu untuk mengambil pusaka dari pohon kehidupan, tapi belum sempat melakukannya, pohon ini malah sudah ditebas!" pria itu berkata dengan nada marah.
"Kalian sepertinya sengaja... Sengaja membiarkan pohon ini ditebas, supaya Raja Birok Ireng tidak bisa mendapatkan pusaka itu!" Senopati Lawe marah pada rakyat desa, ia mulai bergerak mengumpulkan tenaga dalamnya kemudian...
Bllaaarrrr....
Senopati Lawe mengibaskan tangannya ke udara, hingga beberapa warga terpental karena tembakan tenaga dalam itu. Beberapa orang langsung terkapar tidak bergerak, ada juga yang masih sadar namun mereka mengeluarkan darah dari mulutnya.
Kirana gemetar melihat suasana yang begitu mencengkam. Raden Sastra semakin menggertakan giginya, Kirana membaca gerak gerik Raden yang mulai terbawa amarah. Sebelum Raden hendak berdiri Kirana langsung menggenggam tangannya yang terkepal erat.
"Jangan terpancing" bisiknya dengan nada lembut. "Ini belum waktu yang tepat..." ucap Kirana lagi dengan nada yang bergetar kemudian menyandarkan keningnya di pundak Raden. Kirana juga tidak tega melihat orang yang tidak bersalah dianiaya oleh pemimpin yang keji dan tidak memiliki perasaan.
Kirana menahan Raden Sastra dengan cara memeluk lengannya, ia juga menyembunyikan wajahnya supaya tidak melihat kekejaman itu.