Chereads / Sang Raden / Chapter 9 - Amarah Sekar

Chapter 9 - Amarah Sekar

Raden diam termenung dibawah sinar bulan, setelah percakapan itu tidak terdengar lagi suara dari dalam rumah kayu. Kirana sudah terlena dengan mimpinya, Raden Sastra menatap wajah lelah gadis yang sudah terpejam di lantai samping tempat tidurnya.

Ia memperhatikan Kirana, suara ketika mereka berbincang tadi kembali terngiang ditelinga. Sepertinya ucapan Kirana benar-benar telah menyentuh hati Raden.

"Nyimas Sekar... Siapa kau sebenarnya" bisik dalam hati Raden Sastra menatap tajam.

Ada yang terasa berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Raden, ia memiliki firasat kalau wanita yang merawatnya sekarang ini bukanlah wanita biasa.

Raden merasa aneh ketika Kirana/Sekar tidak tau nama Negerinya sendiri. Tapi kali ini ia hanya bisa menduga-duga saja, namun kemungkinan rasa penasaran Raden akan menjebak Kirana suatu hari nanti.

___***___

Sudah beberapa hari Kirana tidur hanya tidur beralaskan tikar, tapi badannya masih belum bisa beradaptasi. Setiap kali ia bangun tidur, Kirana masih mengeluh sakit. Mata Kirana melirik ke arah dipan yang ada di sampingnya, disana masih ada Raden Sastra yang tertidur.

Pagi ini kirana akan pergi kerumah paman dan meminta tolong ke ladang untuk memetik sayur. Ia harap selama dirinya pergi Raden tidak keluyuran sembarangan, semoga Raden benar-benar mematuhinya terlebih dulu untuk sementara ini.

Langkah kakinya berjalan santai menjinjing sebuah keranjang yang terbuat dari anyaman bambu, tapi jika diamati, orang-orang di desa ini kelihatannya sangat ramah terhadap Kirana. Muncullah rasa ingin tau, sebenarnya siapa Nyimas Sekar? Apa dia orang yang berpengaruh di desa ini? Begitulah pertanyaan yang ada dibenaknya.

Tapi bagaimana ia bertanya pada paman tentang masalah ini? Takutnya nanti paman malah akan curiga dan menganggapnya aneh. Sepanjang perjalanannya Kirana berfikir dengan keras.

"Apa kau lupa? Aku ada di sini! Kau bisa tanyakan apa yang kau tidak tau dan membisikkan kata-katamu lewat batin, aku bisa mendengarmu" tiba-tiba terdengar lagi suara dari arwah Sekar.

"Ah, percuma saja! Aku tidak ingin bertanya padamu, kamu selalu saja datang dan pergi seenaknya. Bahkan ketika aku bertanya, kamu kabur begitu saja!" protes Kirana kesal.

"Aku kan sudah bilang kalau waktuku terbatas! Jadi aku akan menjawab semampuku" jawab arwah Sekar.

Begitulah, Kirana dan Sekar saling berkomunikasi. Ibarat satu tubuh di tinggali dua nyawa, dua kepribadian berbeda, dan dua watak berbeda. Namun meskipun begitu, tugas mereka hanya satu. Meskipun terkadang mereka beda pendapat dan ribut.

"Baiklah, aku akan bertanya padamu. Tapi usahakan kali ini kau menjawabnya dengan jelas ya!" ujar Kirana tegas. "Aku lihat penduduk di sini begitu menyayangi dan menghormatimu, boleh aku tau apa masa lalu keluargamu?"

"Dulu ayahku adalah sesepuh di desa ini, dia memiliki sifat yang bijaksana dan baik. Selain itu, ayahku juga seorang tabib dan banyak membantu orang" jawab arwah Sekar.

"Jadi sebab itulah penduduk sangat baik padamu ya" Kirana menopang dagunya. "Lalu dimana ayahmu sekarang? Aku belum pernah melihatnya selama menggantikanmu" tanya Kirana lagi.

Sekar terdiam, namun Kirana masih bisa merasakan kalau ia masih ada. "Tuh kan, kau tidak menjawab lagi. Aku bisa sakit kepala kalau banyak pertanyaanku yang tidak terjawab!" protes gadis itu.

Ayahku sudah wafat. Aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi kecuali paman dan bibi, sejak ayahku wafat, merekalah yang merawatku. Aku sudah menganggap paman dan bibi seperti orang tuaku" jawab Sekar dengan nada yang lembut.

Mendengar jawaban itu Kirana merasa bersalah, terkadang dirinya memang kurang sabar dan tidak mengerti perasaan seseorang.

"Ma... Maaf aku... Telah membuatmu sedih" bisik Kirana merasa bersalah.

Namun Sekar kembali terdiam, tapi diamnya kali ini terasa sangat berbeda dengan di awal tadi. Kirana mulai merasa aneh, ada satu tekanan kuat yang membuat kakinya gemetar kuat. Kirana menghentikan langkahnya, nafasnya tiba-tiba tersengal sesak.

"Mereka membunuh ayah dan ibu dengan keji, bahkan membuang mayat mereka untuk dijadikan makanan binatang buas!" ucap Sekar dengan nada yang berat dan bergema.

Kirana mulai sempoyongan menahan tubuhnya, energi kemarahan Sekar terasa begitu kuat. Pandangan Kirana mulai samar, pepohonan di sekelilingnya serasa bergerak memutari dirinya.

"Sekar... Aku minta maaf. Tolong kendalikan amarahmu, aku tidak kuat menahannya..." ujar Kirana.

"Birok Ireng membunuh ayah dan ibuku!!!" teriak Sekar dengan penuh amarah.

Akibat dari energi kemarahan itu, Kirana mulai lunglai. Tidak ada kata lagi yang bisa ia ucapkan, tubuhnya lemas tidak kuat menahan tekanan dan sakit di kepalanya. Kirana kehilangan kesadaran, tubuhnya lunglai akan jatuh ke atas tanah.

Seeetttt.....

Datanglah Raden Sastra secara tiba-tiba menangkap tubuh Kirana yang hampir terjatuh ke tanah, Kirana mendarat tepat diperlukannya.

"Sekar. Bangun!" ucap Raden sembari menepuk pipi halus itu. "Sekar!" ucapnya lagi, tapi Raden Sastra tidak berhasil menyadarkannya.

Raden langsung ingat pada pesan Kirana, kalau sementara ini dia tidak boleh keluar sembarangan. Sadar dengan peringatan itu, Raden Sastra melihat ke sekeliling untuk memastikan tidak ada orang yang melihatnya, kemudian ia bergegas menggendong Kirana kembali ke rumah kayu.

*****

Entah berapa lama Kirana tidak sadarkan diri, Raden Sastra masih terdiam menatap gadis yang sekarang sedang tergeletak lemah di atas dipan. Mungkin ia tidak mengerti apa yang terjadi pada gadis itu, setiap kali ia mencoba untuk menelusurinya menggunakan kebatinan, Raden Sastra hanya melihat ruangan kosong dan cahaya putih menyilaukan.

"Sebenarnya dia memiliki kekuatan apa? Aku sama sekali tidak bisa menembusnya!" gumam Raden dalam hati.

Tidak lama setelah itu, jari jemari Kirana bergerak pelan. Menandakan kalau kesadarannya mulai pulih, Raden masih menatap seksama sedangkan Kirana sepertinya belum sadar kalau pria dingin itu sedang mengamatinya.

"Hah... Dimana aku?" Kirana terperanjat mengamati ruangan. Ia menghela nafas panjang setelah tau kalau dirinya sekarang ada di kamarnya.

"Sudah sadar?"

"Eh..." Pekik Kirana, ia benar-benar tidak tau kalau ternyata ada Raden di sampingnya.

(Ish. Pria ini seram sekali, lihat wajahnya yang datar dan garang itu!) bisik Kirana dalam hati.

"Kenapa kau menatapku seperti itu!" protesnya.

"Ma... Maaf" Kirana langsung tertunduk mengalihkan pandangannya. (Dia bahkan lebih galak dari nenekku. Hiks) jerit Kirana dalam hati.

"Apa kau bilang?" tanya Raden tiba-tiba.

"A... Apa? Aku tidak bilang apapun" Kirana panik. (Ya ampun... Jangan bilang kalau pria menyebalkan ini bisa mendengar kata hati. Gawat!)

"Memang mulutmu itu tidak bilang apapun, tapi hatimu pasti sedang memakiku kan sekarang!" Raden Sastra berbicara tanpa mengubah ekspresinya sedikitpun.

"Ti... Tidak Raden, mana mungkin aku berani memakimu. Aku... Aku cuma... " Kirana terdiam, ia berfikir untuk mengalihkan suasana supaya Raden berhenti membacanya.

"Maaf Raden, apakah kamu yang membawaku kesini?" tanya Kirana kemudian.

"Ya! Dan kau berhutang budi karena itu"

"Apa?" protesnya.

"Apa!" sahut Raden dengan cepat.

Kirana kembali tertunduk dan diam. Antara kesal dan takut, tapi ia benar-benar tidak berani bertingkah sekarang. Tenaga Kirana masih terlalu lemah.

"Apa ada yang menyerangmu tadi? Sampai-sampai kau tidak sadarkan diri!"

"Tidak Raden, hanya saja aku merasa lemah. Mungkin kelelahan" jawab Kirana sekenanya.

Ditengah perbincangan itu, tiba-tiba saja dari luar terdengar suara seseorang datang. Kirana dan Raden Sastra terdiam menajamkan telinga, jangan-jangan ada musuh yang melihatnya menolong Kirana tadi.

Dengan gesit, Raden langsung berbunyi dibalik pintu. Sedangkan Kirana masih menanti siapa yang datang menghampirinya dengan wajah yang tegang.