Tap... Tap... Tap...
Suara langkah kaki semakin terdengar mendekat ke arah bilik, jika yang datang itu adalah musuh bagaimana Kirana harus melawannya, sedangkan dirinya sama sekali tidak tau ilmu bela diri. Jantung Kirana berdetak kuat, masih menanti sosok itu.
"Sekar..." muncullah seorang pria paruh baya yang menyapanya dengan ramah sambil menjinjing rantang di tangan kanannya.
"Pa... "
Baru saja Kirana hendak menyapa pamannya, Raden Sastra bergerak cepat memiting dan menghunuskan belati beracun ke leher paman.
"Raden jangan! Dia adalah pamanku" teriak Kirana sontak turun dari atas dipan. "Dia bukan musuh, tapi dia adalah pamanku. Keluargaku" ucap Kirana pada Raden.
Tatapannya menyiratkan permohonan supaya Raden melepaskan jepitan lengannya di leher paman. Raden mengamati orang yang dipitingnya, kemudian ia melirik ke arah Kirana sebelum melepaskan cekikan itu.
"Ampun Raden, Hamba terlalu lancang" ucap paman bersimpuh di depannya.
Kirana agak canggung melihat situasi seperti ini, melihat paman yang begitu hormat dan segan pada Raden Sastra, Kirana jadi malu.
Selama ini Kirana bersikap kurang sopan padanya. Orang jaman dulu begitu sangat menghormati orang kerajaan, tapi disisi lain Kirana juga masih meragukan pria angkuh itu, dalam hatinya berbisik... Jika Raden Sastra tega menyakiti paman, ia tidak akan memaafkannya.
"Berdirilah paman, aku hanya terkejut karena kau tiba-tiba masuk" ucap Raden memapah paman untuk berdiri.
Kirana sangat terkejut dengan sikap Raden, ternyata dia bisa bersikap manis juga. Gadis itu masih diam mengamati di atas dipannya, menahan senyum yang hampir menyeruak dari ujung bibirnya.
"Huhuhu" Paman menangis tersedu-sedu.
Mengetahui paman yang tiba-tiba menangis, Kirana langsung turun dari dipan karena panik, kenapa paman
langsung menangis seperti itu...
"Paman. Paman kenapa? Apa ada yang terluka?" cemas.
"Tidak, tidak Kirana. Paman hanya merasa bahagia" ucap paman kemudian memandang Raden Sastra. "Akhirnya paman bisa melihat Raden sehat dan kembali pulih" ucap paman dengan tersedu-sedu.
Raden Sastra terdiam mengepalkan tangannya erat...
"Raden, Apa selama ini kamu belum pernah melihat bagaimana cintanya rakyat kepadamu?"
Pertanyaan dari Kirana pada malam itu kembali terngiang di telinganya, selama ini Raden Sastra belum pernah melihat bagaimana rakyat sangat menyayangi dan mencintainya. Ia hanya fokus terpaku pada istana dan juga perang.
Dia bahkan sama sekali tidak ingin mengenal seperti apa kehidupan rakyat karena pengaruh dari pamannya, hatinya buta, bahkan terkadang, Raden langsung memberikan perintah untuk menghukum rakyat kecil yang bahkan masalahnya belum jelas dan benar.
Raden beranjak dari tempatnya, ia berjalan cepat keluar bilik entah pergi kemana. "Raden!" ucap Kirana, tapi sepertinya Raden tidak memperdulikan panggilan Kirana.
Kirana dan paman saling lempar pandang, mereka bingung tidak mengerti dengan sikap Raden yang tiba-tiba begitu. Karena khawatir jika Raden kabur, akhirnya paman dan Kirana bergegas menyusul keluar.
"Duh, orang itu kesambet apa si?! Gak bisa apa, kalau gak bikin orang khawatir sekali saja!" gumam Kirana kesal sambil terus mencari Raden.
Sampai akhirnya, langkah kakinya terhenti ketika melihat pria yang dicarinya sedang duduk merenung di saung yang ada dibelakang rumah.
("Lihat, setelah dia membuat semua orang khawatir, sekarang dia bertingkah seperti orang yang punya hutang di rentenir!") gumam Kirana dalam hati.
Kirana mengamati sejenak sebelum mendekat, perasaannya mengatakan kalau suasana hati Raden sedang tidak enak. Ia jadi ragu untuk mendekatinya, tapi di sisi lain, Kirana juga penasaran dengan apa yang sedang Raden pikirkan sampai seserius itu.
Tiga langkah kaki Kirana berjalan maju, tapi kemudian ia terhenti. Mungkin Raden juga memerlukan waktu untuk sendiri, tidak enak juga jika ia mengganggunya sekarang. Akhirnya Kirana memutuskan kembali untuk menemui paman.
"Bagaimana Sekar, apa Raden sudah ketemu?" tanya Paman dengan wajah cemas.
"Sudah Paman. Hanya saja..." ucapan Kirana terpotong.
"Apa ada makanan? Aku lapar" sahut seseorang yang suaranya seperti tepat di belakangnya Kirana.
Kirana terkejut kemudian berbalik, Raden Sastra benar-benar sudah berdiri di hadapannya sekarang. ("Dia memang manusia setengah hantu!") pekiknya dalam hati.
"Ada Raden, mari silahkan. Kami akan menyajikan makanannya" ucap paman dengan penuh kebahagiaan dan kasih sayang.
Raden langsung melewati Kirana yang masih tertegun, ia berjalan tanpa melirik Kirana sedikitpun.
"Coba lihat dia, tadi dia begitu bingung dan galau. Sekarang? Lagi-lagi dia bersikap sangat angkuh!" gumam Kirana menatap punggung Raden.
"Apa lagi yang sedang kau pandangi dasar gadis mesum! Cepatlah, aku sudah lapar!" ucap Raden tiba-tiba berbalik berbicara ketus.
"A... Apa katamu?" Kirana kesal dengan kata mesum yang diucapkan barusan.
Raden kembali beranjak, meninggalkan Kirana yang merasa kesal. "Awas saja nanti, ketika aku mengobati lukamu. Aku akan memencetnya dengan kencang!" bisik Kirana geram, ia pun bergegas menyusul semua orang.
Paman meminta untuk makan bersama di rumahnya, saat sudah sampai di sana ternyata bibi sudah menyiapkan semua makanannya. Ada juga satu piring ubi rebus yang sangat manis, lumayanlah, kebetulan perut Kirana juga sudah sangat lapar.
Gadis itu sudah tidak sabar untuk melahap makanan yang masih berasap sedap itu, ia bersemangat hendak duduk di atas tikar namun bibi menahannya.
"Sekar, makanan ini untuk Raden. Kita akan makan setelah Raden makan terlebih dulu" ucap bibi.
Kirana terdiam kecewa, disisi lain perutnya juga sudah sangat kelaparan. Tapi ia harus mematuhi peraturan itu. Raden duduk tegap di hadapan makanan, kemudian menatap kami satu persatu yang duduk simpuh di hadapannya.
Suasana itu semakin membuat Kirana merasa canggung, segitunya menghormati pada calon raja yang terlihat angkuh itu. Kirana kesal dengan situasi seperti ini, menurutnya perlakuan paman dan bibi sangat berlebihan.
"Jika ada yang diperlukan, beritahu kami Raden" ucap paman dengan penuh hormat.
Raden terdiam menatap dingin, membuat paman bertanya-tanya apakah ada kesalahan sehingga Raden menatapnya seperti itu.
"Paman, Bibi. Aku tidak memerlukan apapun karena semuanya telah tersedia di hadapanku" ucap Raden dengan nada dan wajah teduh. "Sekarang saya pinta, kalian duduklah bersamaku"
"Tapi Raden..." ucap bibi terputus.
"Jika kalian menolak, itu berarti kalian tidak menganggapku sebagai sanak keluarga kalian. Tapi sebagai orang asing yang terbuang, dan malah akan lebih menyakitiku" ucap Raden memotong kalimat bibi.
Deg... Deg... Deg...
Tiba-tiba jantung Kirana berdegup kencang, entah kenapa selalu terjadi ketika Raden bersikap manis seperti itu.
Bibi dan paman saling lempar pandang, terkejut dengan apa yang diucapkan Raden barusan. Raden menjulur tangannya mempersilahkan paman dan bibi untuk segera makan bersamanya.
Masih agak ragu-ragu paman dan bibi menuruti kemauan Raden, mereka benar-benar canggung ketika memakan satu makanan dengan calon raja di negerinya. Bahkan ketika mereka sudah duduk disamping Raden, paman dan bibi belum berani menyentuh makanannya sebelum Raden menyentuhnya terlebih dulu.