Malam ini bulan terlihat begitu sempurna dan indah. Bulan purnama pertama yang Kirana lihat di dunia asing, ia belum pernah mengamati bulan purnama selama ini, seingatnya bulan di ditempatnya lebih kecil ukurannya dibandingkan dengan bulan yang sekarang ia lihat. Entah sudah berapa lama Kirana menghilang dari dunia nyata.
Suara jangkrik dimalam hari, pepohonan yang tumbuh subur, udara sejuk, juga kabut yang hampir terlihat di setiap paginya. Sangat berbeda dengan pemandangan kota dan hiruk pikuk kemacetan yang membuat bosan. Kirana menghela nafasnya panjang, menghempaskan seluruh pikirannya. Ia membiarkan rambut panjangnya terurai bebas untuk menutupi bahu yang terbuka, lumayan, jadi tidak terlalu dingin. Sebenarnya ia tidak terlalu nyaman dengan kemben, tapi apa boleh buat, Kirana belum menemukan kaos di lemari Sekar.
Mungkin bisa dibilang Kirana mulai menikmati suasana di tempat ini, cahaya bulan yang begitu lembut, membuat Kirana lebih segar dan bertenaga. Aneh, atau mungkin hanya perasaannya saja? Ah sudahlah. Raden Sastra, sudah tiga hari duduk bersila, diam tanpa bergerak dengan mata yang tertutup. Kirana mengamati pria itu dari jendela.
"Apa ini yang dinamakan meditasi? menurut sejarah orang dahulu akan bisa menyerap energi atau keilmuan dengan cara meditasi. Tapi bosan juga ga punya teman ngobrol" bisiknya dalam hati.
"Sepertinya kau tau tentang meditasi?!" Suara lelaki mengejutkan Kirana yang sedang menatap purnama. Padahal barusan Kirana masih melihat Raden Sastra sedang duduk diam, tapi dalam hitungan detik tiba-tiba saja pria itu sudah ada di sampingnya.
"Ka... kau, bagaimana bisa kau tau aku
sedang..." gelagapan.
(Pria ini benar-benar seperti hantu, bagaimana bisa dia sudah ada disini?) bisik Kirana dalam hati.
"Rasa dan pendengaranku akan lebih tajam saat aku menutup mata" jawab Raden Sastra.
Kirana terdiam mengerutkan kedua alisnya, antara tidak percaya dan juga kagum. Baru kali ini ia bertemu dengan orang yang bisa membaca pikirannya dengan tepat, bahkan peramal yang pernah ia temui juga tidak bisa menebak seperti itu. Tapi sepertinya dia harus berhati-hati juga, bisa gawat jika pria itu selalu tau apa yang ada dipikirannya.
"Wah... Bisakah kau mengajariku?" ucap Kirana penuh harap.
Mata Raden Sastra langsung melirik tajam seperti pedang. "Kau?" ucapnya memandang remeh.
"Wanita berisik sepertimu tidak mungkin sanggup diam meskipun sedetik waktu" jawabnya langsung mengalihkan tatapannya kepada purnama.
(Apa-apaan ini! Aku berbicara serius tapi dia malah menyepelekanku, pria ini benar-benar menyebalkan!) omel Kirana.
"Tetapi meskipun kau berisik dan cerewet, kau sudah menolongku. Aku rasa itu adalah pekerjaan yang lumayan, patut dihargai" ucap Raden tanpa mengalihkan pandangannya dari bulan.
"A... Apa? Lumayan? Aku menghabiskan tenaga, waktu, bahkan kehilangan nyawa kamu bilang ini cuma pekerjaan yang lumayan?!" protes Kirana. (Aku bahkan terjebak disini gara-gara kau!)
"Kehilangan nyawa? Jangan mencari simpatiku! Jika kau kehilangan nyawa maka kau tidak akan bisa secerewet sekarang!"
"Hey! Aku hidup karena... " Kirana terdiam tidak melanjutkan ucapannya.
"Lupakanlah, Boleh aku bertanya kepadamu?" Kirana mengalihkan pembicaraan.
"Silahkan, aku akan menjawab jika aku mau" ucap Raden dengan nada cuek.
(Cih, angkuh sekali dia. Sabar Kirana... Dia kan calon raja!) Kirana menghela nafasnya mencoba untuk menenangkan diri.
"Aku, maksudku... Raden, Sebenarnya ini negri apa?" ragu bertanya.
"Kamu sama sekali tidak tau? Sebenarnya dari mana asalmu!" jawab Raden dengan suara yang ketus.
"Ahahaha. Gara-gara kejadian waktu itu mungkin kepalaku agak terbentur, makanya aku sedikit lupa ingatan" ucap Kirana mencoba untuk mengurangi kecurigaan Raden Sastra.
Pria itu terdiam menatap Kirana seksama, tatapannya sama sekali tidak berubah. Dari awal Kirana bertemu dan Raden sastra sadar dari koma, sedikitpun Kirana belum pernah melihatnya tersenyum. Entah dia hanya menjaga kewibawaannya saja, atau memang bawaannya yang dingin dan angkuh seperti ini.
"Kerajaan Negaran" jawab Raden Sastra singkat.
Kirana tersenyum lega, ia kira Raden Sastra tidak mau memberitahu nama negaranya.
"Kenapa kau tersenyum?" berbicara dengan datar.
"Haha, tidak kenapa-napa, terimakasih karena sudah memberitahuku. Tunggu sebentar ya, aku akan mengambil ramuan untukmu" ucap Kirana ramah. Ia bergegas mengambil ramuan obat yang ada di meja kamarnya.
Sepertinya dulu Sekar bukan gadis sembarangan, buktinya dia mampu meracik obat ampuh seperti ini, mungkin aku akan mempelajari komposisi ramuan-ramuan itu. jika aku berhasil, lumayan kan bisa dijual dan aku bisa mendapatkan uang. Hihi. Kirana larut dengan pikirannya.
Setelah mengambil ramuan, Kirana kembali duduk di sebelah Raden sastra. Kirana juga sudah mulai terbiasa dengan bekas luka itu, sekarang dia sudah tidak merasa ngeri lagi.
"Raden Sastra, maafkan aku jika selama ini selalu melarangnmu untuk tidak keluar rumah. Setelah luka ini benar-benar sembuh dan kondisimu pulih, kamu boleh berjalan-jalan di luar asal dengan batas dan penyamaran"
"Penyamaran?" Raden Sastra mengerutkan kedua alis menetap Kirana.
"Iya, Paman dan Bibi memberitahu kalau sekarang ini kondisinya masih sangat tidak aman, Raja masih berusaha menemukanmu dan ingin membunuhmu. Jika kau sampai tertangkap dengan keadaan seperti ini, kau pasti akan sangat tidak beruntung kan? Bisa-bisa kau malah mati sia-sia!" ucap Kirana sambil fokus mengolesi obat yang ada di kening Raden.
Raden Sastra menoleh kearah Kirana, gadis itu baru sadar kalau wajah mereka sangat berdekatan. Kirana terpaku sejenak menatap kedua mata tegas itu, kemudian Ia terperanjat dan mengalihkan pandangannya.
"A... Aku sudah selesai mengolesi obat. Lebih baik Raden segera istirahat" ucap Kirana canggung langsung bergegas pergi. Lagi-lagi jantungnya terasa berdetak kencang.
"Tunggu!" Raden Sastra menahan tangannya. "Kenapa kau bersedia menolongku?" tanya Raden.
Kirana terdiam, dia juga tidak tahu kenapa. Ia baru mulai di pertengahan perjuangan Sekar, Kirana yang tidak tahu apa-apa harus menanggung dan meneruskan semua tugas ini. Tapi kali ini Kirana ingin mengandalkan jawabannya dari dalam hati, dari apa yang ia simak.
"Apa kamu tidak sadar Raden Sastra?" ucap Kirana dengan nada yang tegas, ia pun berbalik menatap Raden sastra tajam.
"Banyak sekali rakyat yang menyayangimu, banyak sekali rakyat yang menginginkanmu untuk menjadi raja. Mendengar kamu menghilang mereka sangat terpukul dan sedih, mereka selalu berdoa pada Dewa berharap kamu kembali dan bisa memimpin
Negaran ini. Aku menolongmu karena mereka semua berharap kau bisa selamat dan memimpin mereka dengan adil! Aku ingin membantu harapan rakyat tercapai!" ucap Kirana tegas.
Raden Sastra terdiam dan menatap Kirana seksama.
"Raden, Apa selama ini kamu belum pernah melihat bagaimana cintanya rakyat kepadamu?" sekarang giliran Kirana yang bertanya. Tapi Raden Sastra malah mengalihkan pandangannya dan tidak menjawab satu kata pun.
"Baiklah, mungkin selama ini kamu terlalu larut dalam duniamu sendiri. Asik menikmati kehidupan sebagai putra mahkota, perang dan mengejar cinta seorang gadis. Tanpa pernah khawatir ataupun memikirkan urusan kerajaan karena kamu selalu mengandalkan pamanmu itu. Sekarang kamu sendiri kan yang menyesal? Sudah malam, lebih baik kita istirahat" Kirana berbalik kemudian meninggalkan Raden dengan perasaan yang berkecamuk.