Dua tahun lalu adalah masa terburuk bagi Yunki. Ia harus kehilangan Reya, istrinya Kami dalam perjalanan ke hotel setelah melakukan pertemuan dengan beberapa relasi. Malam hari di Australia, disaat musim dingin membuat bias kaca dari pantulan jalan, gedung bahkan daun dan rerumputan. Keduanya tertawa bahagia, dan Reya memberitahu jika ia mengandung anak kedua mereka. Seharusnya, itu berlanjut dengan baik. tapi, jalanan yang licin membuat seorang anak tergelincir membuat Tuan Min terpaksa membanting setir agar tak menabrak. Ia tau apa yang terjadi. Keduanya tak sadarkan diri seketika. Yunki tak sadarkan diri selama dua hari. Saat ia sadar ia mengetahui jika Reya tak selamat. Ia kehilangan banyak darah, sementara golongan darahnya langka, O dengan resus negatif.
Ia merasa gila, atau lebih baik lagi jika ia ikut tewas juga. Hari itu dirinya bahkan tak bisa menangis, dan masih berharap itu adalah mimpi. Merasa tak bisa bernapas seolah seluruh oksigen di ruangan menghilang. Butuh dua bulan, sampai bisa kembali menuju Korea.
Pria itu memikirkan jutaan alasan juga kata-kata yang akan dikatakan pada Gina. Tapi, saat melihatnya yang keluar dari bibir hanyalah kebohongan. Siapa yang tega menceritakan jika Reya tak mungkin Kembali, pada tatapan berbinar dan berharap bisa memeluk erat ibunya? Siapa yang tega ketika senyuman polosnya tersungging?
Kini dia mungkin menemukan jalan. Gadis itu memang tak sepenuhnya mirip Reya, tatapan matanya berbeda. Tapi, itu bukan masalah secara keseluruhan ia sembilan puluh lima persen mirip dengan mendiang istrinya.
Ia berjalan masuk ke dalam rumah. Waktu sudah menunjukan pukul dua pagi. Kepalanya sakit karena banyak minum. Segera melangkahkan kaki menuju kamar. Belum sampai di tangga, ia melihat Gina yang duduk ia menelungkupkan tubuhnya.
"Ayah," panggilnya dengan raut wajah yang sedih.
Yunki berjalan menghampiri, lalu duduk di samping Gina, membelai kepalanya lembut. "Gina-ya, kenapa kau belum tidur?"
"Ayah tadi siang aku berpikir jika ibu sudah tiada."
Deg!
Ia berusaha teraneh meski perasannya sakit sekali mendengar kata-kata itu dari bibir kecil Gina.
"Siapa yang mengatakan itu?"
"Tak ada, Hyunjin menceritakan jika ibunya tertidur selama dua bulan tapi ia tak selamat. Aku terus berpikir kenapa ayah tidak membiarkan aku menghubungi ibu. Apa ibu juga tertidur seperti ibu Hyunjin?"
"Ibu—" ia memikirkan kalimat selanjutnya.
"Ibu baik-baik saja 'kan?"
Ia mengangguk. "Iya, ibumu baik-baik saja."
Gadis kecil itu tersenyum, binar matanya tak seceria biasanya. Menyakitkan bagi sang ayah melihatnya seperti ini.
"Aku tau, kalau ayah bukan pembohong. Ibu dulu bercerita, jika ayah adalah orang jujur, dan itu alasan kenapa ibu mau menikah dengan ayah. Ayah... Janji ya, kalau ibu udah kembali kita jalan-jalan. Ayah sudah berjanji dulu."
Maaf Gina, ayahmu hanyalah seorang pembohong.
Tak tau apa yang harus dikatakan, yang jelas pria itu terluka mendengar semua ucapan Gina. Seolah ada luka yang kembali disayat. Dengan ragu mengaitkan kelingkingnya ke kelingking kecil Gina.
"Ayah berjanji," ucapnya.
Tuan Min kemudian menggendong Gina membawa anak gadisnya ke kamar, merebahkan lr tempat tidur dan Menyelimutinya. Gina menatap lekat seolah tak ingin ditinggalkan. Yunki duduk di pinggiran tempat tidur. Membelai rambutnya, gadis itu terlihat sangat mengantuk.
"Tidurlah ayah akan berada di sini bersama mu."
Gina menggapai tangan sang ayah, menggenggamnya sampai tertidur.
***
"Kenapa chagiya?" tanya Jimmy pada Reina.
"Aku kesal," jawab Reina sementara ia terdiam kembali dan larut dengan pikirannya sendiri. "Jimiie, apa kau benar-benar harus ke Spanyol?"
Jimmy mengangguk, ia bersama Reya tak lagi berada di klub. Mereka duduk di taman pinggiran kota Seoul dan menyantap matcha cake dan juga americano panas dan telah menghangat terkena hembusan angin malam.
"Aku akan segera kembali. Ayahku, memintaku untuk membangun jaringan di beberapa negara. Aku meneliti jika Spanyol mungkin bisa jadi sasaran yang baik."
Reina menyandarkan kepalanya ke pundak sang kekasih Tak terlalu lebar, tapi kekar dan hangat. Ia menatap Jimmy dan mempoutkan bibirnya.
"Ya, jangan menatapku seperti itu," larang Jimin seraya tersenyum.
"kenapa?" Tanya Reina bingung.
"Karena ini—"
Wajah Jimmy mendekat dengan cepat kearah Reina mengecup bibir gadis itu dengan cepat dan melepaskannya, Reina mengalihkan kepalanya dari bahu Jimmy dan saling menatap. Pria itu mengusap wajah Reina, tatapan mata mereka sama sekali tak beralih seolah terikat dengan kuat. Jimmy mendekati wajah kekasihnya, napas mereka berderu, bibir mereka bertemu dan bertaut. Saling mengecupi bibir masing-masing dan berlanjut dengan tautan lidah, membiarkan masing-masing saling bermain dan bertemu. Jantung mereka berdegup kencang meskipun ini bukan pertama kalinya. Reina mengeratkan genggaman pada Coat cokelat Jimmy. Sementara ia memegangi wajah Reina memaksa agar semakin mendekat. Ciuman hangat yang lembut dan semakin menuntut. Malam ditanam kota Seoul. Ciuman sehangat americano dan selembut matcha cake.
Reina melepaskan tautan mereka. Dan saling terkekeh kecil.
"Lihat lipstik ku menempel di sini." Ucap gadis itu seraya menghapus sisa lipstik miliknya disekitar wajah pria pemilik tatapan sendu. Lalu mengambil tisu dari tasnya dan membersihkannya.
Jimmu memajukan wajah, agar Reina mudah menghilangkan sisa lipstik miliknya.
Cup
Cup
"Yak, Reina... jangan lakukan itu. Sisa lipstik mu tak akan hilang!" rengeknya.
"Biarkan, aku tak akan menghilangkan itu. Agar orang tau jika kau milikku," ujar Reina masih berusaha menghilangkan sisa lipstik. Ia memperhatikan wajah Jimmy. "sudah hilang."
Cup
Jimmy mengecup pipi Reina. "terima kasih, chagi."
"Nde,"
"Ayo kita pulang, tanganmu dingin." Ajak Jimmy. Ia menggenggam tangan Reina meniup dan menggosok dengan tangannya, kemudian memasukkan kedalam kantung Coat panjangnya. Setelahnya, mereka berjalan untuk segera pulang.
***
Siang hari, Yunki mengendarai mobilnya. Ia memiliki janji dengan Taetae, di sebuah galeri lukisan yang letaknya tak jauh dari kantornya.
Ia melangkah masuk, saat melihat sosok Tae yang sedang fokus dengan lukisan di depannya.
"Lama menunggu?" Tanya Yunki.
"Aku sengaja datang lebih cepat. Agar bisa menikmati lukisan-lukisan ini lebih lama."
Sejujurnya, Yunki tak terlalu tertarik dengan lukisan saat ini. 'Pun Ia tak mengerti estetikanya, yang jelas baginya lukisan yang bagus itu adalah lukisan yang jelas. Seperti pemandangan atau kegiatan Manusia. Sementara di sini? Lukisan-lukisan yang dipamerkan lebih banyak dengan tema abstrak. Ia tak sanggup jika harus berpikir lebih berat.
"Tae, bisa kau memberikan informasi tentang orang yang memesan di kamar nomer 69 dua hari yang lalu?"
Tae berpikir tatapannya mengasah, berusaha mengingat dengan baik. "Siapa?"
"Jimmy?" tanya Yunki berusaha mengingatkan.
"Ah, anak pengusaha restoran Korea. Park Jimmy?" tanya Tae. "Ada sesuatu?"
"Berikan aku informasi lengkapnya. Dan aku akan membeli lukisan itu untukmu," tawar Yunki sambil menunjuk sebuah lukisan abstrak dengan warna gelap yang khusus diberi kotak kaca.
Tae memang tertarik dengan dunia seni terutama lukisan. Matanya membulat ketika mengetahui lukisan yang ditunjuk Yunki.
"Kau gila?"
"Aku serius, berikan keterangan lengkap, maka lukisan itu akan terkirim ke rumahmu. Tepat setelah pameran ini selesai," jawab Yunki yakin.
Baginya kini uang bukan masalah. Karena kebahagiaan Gina diatas segalanya.
***