Hari ini adalah hari pertama sekolahnya dan Gina merasa senang. Ditambah ia bisa sekelas dengan Hyunjin. Walaupun sedikit merasa sedih melihat beberapa anak yang ditunggu oleh ibu atau ayah mereka. Ada beberapa anak yang orang tuanya memilih tinggal dan menunggu hari pertama anak mereka di sekolah.
Saat makan siang Gina memilih makan di taman belakang sekolah. Pepohonan di musim gugur yang keemasan menarik hatinya untuk duduk di sana. Sambil menyantap makan siang yang telah disiapkan bibi Ma. Sebenarnya, sekolah menyediakan makanan. Hanya, Gina memiliki beberapa alergi makanan. Yunki tak ingin ambil resiko dan ia meminta Gina membawa makan siangnya sendiri.
"Kau di sini Gina-ya?" tanya Hyunjin sambil berjalan mendekat, kemudian duduk di sebelah Gina.
Si cantik yang tengah sibuk mengunyah itu mengangguk. "Ada apa?"
"Aku hanya ingin mencarimu saja," Jawab anak laki-laki pemilik ceruk pipi itu, sambil tersenyum ke arah Gina.
Gina menyelesaikan makan siangnya. Lalu menutup kembali kotak makan miliknya. "ibumu menunggu di depan Hyunjin." Gina memberitahu Hyunjin. Mungkin saja Hyunjin tak mengetahuinya, begitu yang ada dipikiran gadis kecil itu.
"Iya.., aku melihatnya tadi, sebenarnya aku tak menyukai ibu itu."
Gina tak berkata apapun ia hanya menatap dengan heran. Bagaimana mungkin seorang anak tak menyukai ibunya? Batin anak itu.
"Itu ibu tiri-ku," jelas Hyunjin tak ada lagi senyum di bibirnya.
"Ibu tiri?" Tanya Gina.
Gadis berambut pendek itu bukannya tak tau tentang ibu tiri. Ia sering mendengar kisah Cinderella yang diceritakan Paman Nam. Namun, Nam tak pernah menjelaskan detailnya. Ia hanya bilang itu ibu pengganti yang baik. Kisah ibu yang jahat hanya ada pada buku dan film. Itu juga yang diyakininya.
"Ibu yang menggantikan ibu kandungku. Sebenarnya, ia baik tapi tetap saja aku ingin ibuku."
"Ibumu ke mana?" tanya Gina penasaran.
"Ibuku sakit, ia tertidur selama dua bulan. Kemudian ia meninggal," jawab Hyunjin suara anak itu bergetar menahan tangis.
Gina terdiam mengingat jika ayahnya selalu mengatakan jika ibu sakit, belum bisa menerima panggilan, dilarang dokter menerima panggilan karena radiasi telepon tak baik. Tanpa disadari ia meneteskan air matan, menangis karena memikirkan jika mungkin ibunya akan meninggal seperti ibu Hyunjin.
"Gina? Kenapa kau menangis?" tanya Hyunjin ia menatap Gina bingung tak tau apa yang harus ia lakukan.
"Hyunjin bagaimana ini? ibuku... bagaimana?" hanya itu yang keluar dari mulut kecilnya.
*
Di depan sekolah Hainan suasana sangat ramai. Anak-anak yang berlarian, tertawa dan mengobrol dalam perjalanan pulang sekolah. Di sana Nam berdiri di depan mobil untuk menjemput Gina. Gadis kecil itu berjalan lemas dengan kepala yang tertunduk. Lelaki itu tau ada yang tak beres dengan anak itu. Ia berjalan cepat menghampiri Gina, langkah Gina terhenti ketika Nam berada dekat dengannya. Anak itu mengadahkan wajahz matanya merah dan bengkak karena ia terus saja menangis.
"Gina-ya, apa ada yang mengganggumu?" tanya Nam, pria pemilik lesung pipi itu kemudian menyamakan tubuhnya dengan Gina.
Si cantik Gina masih sesenggukan, ia menggeleng. Masalahnya bukan ada yang mengganggunya secara fisik tapi, pikirannya sendiri. Ia terus memikirkan tentang sang ibu. Ia tak bisa berkata-kata akhirnya Nam menggendong dan berjalan menuju mobil. Nam yang biasanya duduk si samping kursi penumpang di depan. Kali ini ia duduk di belakang bersama Gina.
"Katakan pada paman siapa yang menggangumu?"
"Tak a-da ya-ng meng-gang-gu," jawabnya terbata karena ia terus sesenggukan.
"Lalu?"
"Pa-man a-pa i-bu, me-me-ning-gal?"
Deg!
Jantung Nam Kim berdetak cepat ia terkejut dengan apa yang ditanyakan Gina. "Siapa yang mengatakan itu?"
Dengan terbata Gina memberitahu tentang obrolannya dengan Hyunjin. Bahwa setelah mendengar ucapan Hyunjin ia berpikir jika Ibunya mungkin saja sudah meninggal.
"Hmm, Gina jangan menangis." Nam tak bisa menjawab apapun. Ia sebenarnya tak ingin lagi membohongi Gina seolah ibunya masih hidup. Namun, ia tak bisa apa-apa karena Yunki ayahnya sendiri kekeh untuk membuat istrinya seolah tetap hidup. Hanya sedang tak bersama mereka.
***
.
Sementara dengan sedikit gontai, membawa segelas bir, Yunki berjalan memasuki ruangan yang telah ia pesan pada Taetae. Kamar VVIP dengan fasilitas lengkap. Begitu pintu di buka terdapat sofa hitam besar menajdi fokus ruangan, di meja kaca tersedia aneka minuman, ruangan bernuansa maroon dan hitam dengan desain klasik. Ia lalu uduk dan kembali menikmati bir di tangannya. Ia juga tak tahu mengapa ia memilih untuk mengikuti ucapan Jeonguk.
Seorang gadis bersurai hitam berjalan masuk, "Jimin-aa,"
Yoongi terkejut melihat gadis di hadapannya tanpa jeda.
"Maaf, sepertinya anda salah kamar. Kekasihku, memesan kamar nomer 69 untuk kami."
"Reya?" Lirih sapaan Yoongi pada gadis bergaun peach pendek itu.
Gadis itu menatap Yoongi dengan heran. "Maaf?"
Yoongi berdiri dan berjalan mendekat, menatap lekat sosok yang begitu mirip dengan seseorang yang ia kenal. Ia kemudian menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
"Lepaskan!" Teriaknya sambil terus memberontak.
Yoongi melepaskan pelukannya. Ia tau tak mungkin sang istri hidup kembali. Namun, melihat Gadis di hadapannya membuat ia tak bisa berpikir. Mereka sangat mirip menyentuh rindu yang selama ini Yoongi coba sembunyikan dalam-dalam.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Yoongi. Gadis itu tentu tak terima diperlakukan layaknya jalang.
"Aku bukan jalang yang kau tunggu bodoh!" Makinya kesal sambil kemudian berjalan keluar.
Yunki berjalan cepat menyusul gadis itu. Tak ingin kalah langkah ia berlari kemudian menutup pintu kamar. Menahan pintu dengan tangannya sehingga ia kini bertatapan dengan sangat dekat dengan gadis itu.
Yunki menatap tiap sisi wajah, lekuk tubuh, setiap inchi dengan cermat. Mirip ... itu yang ada dipikirannya.
"Sudah aku bilang aku bukan jalang mu tuan!" Teriaknya kesal. "Berhenti menelanjangi aku dengan tatapan mu!"
"Siapa kau?"
Tok tok tok
Tuan Min Yunki?
Suara sapaan seorang wanita diluar membuat pertahanan Yunki berkurang. Gadis itu mendorong pria yang menahannya dengan sekuat tenaga.
"Itu jalang mu, bukan aku!" kesalnya sambil berusaha membuka pintu.
Yunki hemdak menahan gagang pintu, ia menatap ke dalam manik mata gadis yang mirip dengan mendiang sang istri dalam-dalam. Mencoba mencari tau apa mungkin kini Reya hidup kembali? Tapi, jelas tatapan mereka berbeda, meskipun ucapannya keras dan tegas. Tatapannya menyiratkan kesedihan. Bukan tatapan Reya, benar-benar berbeda.
"Sejujurnya, kau tak pantas bersikap seperti itu." Ucapnya dingin Yunki melepaskan tangannya dari pegangan pintu. Membiarkan tawanannya itu pergi.
Tanpa banyak bicara sang gadis keluar. Sementara gadis lain menatap dengan heran. Karena pria pemesannya bersama gadis lain. Yunki kemudian berjalan keluar. Ia benar-benar tak bisa lagi menikmati malam ini karena kejadian barusan.
"Tuan tapi anda belum ..."
Yunki mengeluarkan beberapa lembar uang dan memberikan pada jalang yang ia pesan. "Aku kehilangan mood untuk bercinta. Ambil itu, ini salahku karena tak bisa menikmatimu."
Ia kemudian berjalan keluar, berpapasan dengan seorang pria yang tersenyum menatap ke depan.
Jimmy!
Yunki menoleh melihat gadis yang mirip dengan istrinya berpelukan dengan pria yang berpapasan dengannya.
"Gina-ya, appa menemukannya ... Jalan untuk membuatmu memiliki eomma," Gumamnya.
***
.
.
.
.
.
.