Seorang pria pucat rebah di tempat tidur. Semalam ia mabuk lagi, selalu seperti itu sejak sang istri tak lagi ada di sisinya. Pagi sudah tiba, matahari—sinarnya masuk ke celah jendela membentuk garis-garis lurus di selimut pria itu.
Min Yunki ... Hampir dua tahun ini ia merana sendiri atas kematian sang istri. Bukannya hidup dengan baik dan mengurus sang anak perempuan. Ia sibuk meratap dalam duka, lalu mabuk menjadi teman setianya.
Pria lain masuk ke kamarnya tanpa ijin, mengenakan kacamata dengan lesung pipi yang lekat terlihat, ceruk-nya.
"Tuan bangun," ia menggoyang tubuh si pemalas itu. "Tuan Min."
Nam orang yang paling setia untuk Min Yoongi. Segala urusan dan rahasia si dingin itu aman dan segala urusan selesai dengan baik, karena bantuan tangan dingin Nam.
"Hhmm?" Sang tuan menyahut meski matanya terpejam.
"Anda memiliki janji dengan Nona Gina. Ini hari pertamanya sekolah."
Yunki terbangun, lalu meruntuki dirinya sendiri. Harusnya ia tak mabuk malam tadi, karena—pagi ini ia ada janji penting dengan anak semata wayangnya.
Pria itu segera duduk seraya memegangi kepalanya yang seolah berputar. Ia duduk cukup lama sampai akhirnya mendapatkan kesadaran cukup untuk sekedar bertanya.
"Gina sudah bangun?"
"Sedang bersiap," jawab Nam.
"Baiklah, aku juga akan bersiap," ucap Yunki segera berdiri dan setengah berlari, sedikit oleng hingga Nam membantu berjalan, untuk segera menyiapkan diri dan mengantar Gina.
"Kau boleh keluar. Aku akan menyiapkan diri."
Tak butuh waktu lama sampai ia kini telah siap. Setelah rapi segera berjalan keluar kamar, menuruni tangga menuju ruang makan melihat Gina telah berada di sana. Ia duduk rapi dengan seragam tengah berbicara dengan Nam, juga bibi Ma pelayan keluarga Min sejak hampir 35 tahun lalu.
Gina tersenyum melihat sang berjalan mendekat. Perasaan Yunki selalu terluka saat mereka beradu pandang. Tatapannya mirip dengan Reya, semakin dewasa ia semakin mirip ibunya. Itu yang membuat Yunki seolah enggan menatapnya. Bukan karena tak menyayangi Gina. Hanya saja—rasa bersalah yang perlahan membangun dinding antara ia dan anaknya sendiri.
Gina berlari memeluk. "Ayah, good morning?"
"Apa paman Nam yang mengajarkan itu?" tanyanya melepas pelukan Gina dan memberanikan diri menatap binar mata gadis cantik berambut pendek itu.
Gina mengangguk, ia terlihat sangat bahagia. Kebahagiaan yang sama yang selalu diperlihatkan Reya, menurut Yunki. Tatapan mata Gina mirip sekali dengan sang ibu.
Sesaat, hanya sesaat ia menatapnya dan segera melepas tautan diantara keduanya. Lalu ia sedikit tergesa melangkah untuk duduk di kursi ruang makan. Tak bisa ... Yunki ... tak bisa menatap Gina terlalu lama.
"Kita sarapan dan kemudian berangkat."
"baik ayah," sahutnya.
Ia mendengarkan Gina, Nam, dan Bibi Ma yang asik mengobrol selama bersantap. Anak gadisnya selama ini sangat dekat dengan bibi Ma, setelah kepergian sang istri. Terkadang Yunki merasa iri, bahwa Namjoon dan bibi Ma adalah orang yang lebih memahami Gina dibandingkan ayahnya sendiri. Hanya ... Sulit baginya kini berkomunikasi dengan buah hatinya itu.
Selesai sarapan mereka berangkat menuju sekolah. Sepanjang jalan Gina bernyanyi bersama Nam. Sementara Yunki membuka lembar demi lembar koran yang sama sekali tak ia baca. Melakukan itu lantaran ingin mendengar tawa, suara bahagia Gina.
Appa harap kau akan selalu bahagia seperti ini.
Sesampainya di sekolah dasar Hainan- Korea Selatan. Ayah dan anak itu berjalan masuk— mencari kelas Gina. Ia berjalan di belakang langkah mungil Gina—memastikan langkah gadis kecil itu baik-baik saja. Langkahnya terhenti kemudian menatap ke belakang; ia berlari kecil menuju sang ayah dan menggenggam tangannya erat; lalu kembali berjalan sambil berpegangan.
Sepanjang jalan, sesekali Gina menatap anak lain yang didampingi ibu mereka. Yunki tau Gina juga ingin seperti itu. Sang ayah menatap langkah Gina yang semula diiringi lompatan kecil, kali ini ia melangkah perlahan. Perasaannya pasti tak baik, anak itu menatap Yunki sementara ia membalas tatapan itu dengan senyuman.
"Ayah, ibu akan kembali 'kan?" Tanyanya dengan senyum yang dipaksakan.
Yunki menelan saliva. Entah sudah berapa kali kebohongan ini ia katakan. "Iya, pasti."
Senyuman kembali tersenyum dari bibir cantik anak kecil itu. Yunki lalu mengusap pucuk kepala Gina. Membuat sang anak kembali melangkah dengan riang.
"Gina!"
Seseorang menyapa Gina membuat keduanya terhenti, dan menoleh ke belakang. Seorang anak laki-laki berlari menghampiri terlihat cukup akrab dengan Gina.
"Hyunjin!" Sapa Gina senang.
Tunggu siapa sebenarnya anak laki-laki ini? Mengapa aku baru melihatnya?
"Gina ya, siapa itu?" tanya Yunki sambil terus menatap anak laki-laki di hadapannya.
"Apa Gina belum cerita ke ayah?"
Ia menggeleng, sama sekali tak mengingat jika Gina pernah menceritakan tentang Hyunjin.
"Aahh, aku menceritakan pada paman Nam," kekeh Gina.
Jujur, mendengar itu membuat hatinya terluka. Kenyataan bahwa Nam tau lebih banyak tentang Gina. Namun ia tau itu kesalahannya.
"Ayah, itu Hyunjin teman Gina, rumah Hyunjin ada didekat rumah. Hyunjin bilang jika ia dewasa ia ingin menjadi idol," jelas Gina.
"Anyeooonghaseyo, ajushi." Sapa Hyunjin.
"Nde," sahut pria pucat itu canggung.
Ia kini berdiri dan mengobrol dengan Gina.
Sementara Yunki terus menatap, mengawasi sang anak yang kini tengah asik mengobrol dengan sahabat laki-lakinya.
Aku akan memperhatikanmu Hyunjin.
***
Setelah mengantar Gina ke kelas. Yunki kembali menuju mobil; masuk ke dalam mobil tergesa, dan meminta sopir segera mengantar ke kantor. Ia memperhatikan Nam yang tengah sibuk memperhatikan jadwal dari ponselnya.
"Hari ini anda akan ada rapat dengan Our fashion."
Yunki hanya mengangguk, "Nam, kau tau teman Gina yang bernama Hyunjin?"
Nam mengangguk, "nde, ada sesuatu tuan?"
"Apa dia pria baik?"
Tentu saja ia tak ingin anaknya bersama pria yang tak baik. Yunki ingin tak ada yang menyakitinya. Pikiran ayah yang berlebihan. Padahal Gina baru saja berusia tujuh tahun. enam tahun berdasarkan usia internasional.
Nam terkekeh, "Tuan, nona baru berusia enam tahun. Mereka hanya berteman, anda bertanya seolah nona sudah bersiap untuk menikah."
"Ah, benar... Aku hanya ingin memastikan jika ia memiliki teman yang baik," Ucapnya.
***
Malam hari setelah menyelesaikan pekerjaan, Yunk tak pernah langsung pulang. Kegiatan malamnya adalah duduk di bar milik Taetae.
Awalnya satu sloki dan setelahnya ia akan minum semakin banyak. Malam ini Yunki tak juga mabuk. Seharusnya, hari ini peringatan kematian Reya kedua dan ia tak pernah melakukan itu sejak tahun pertama. Baginya sang istri tak mati, ia masih ada hanya sedang bersembunyi.
Taetae, menghampiri menambahkan minuman di gelas miliknya. "Tak mabuk juga?" Tanyanya.
"Pertahananku semakin kuat rasanya," Jawab tuan Min sambil terkekeh kemudian meminum kembali minuman yang barusan dituangkan Tae.
"Coba bermain sedikit, jika tak juga mabuk. Mungkin kau akan mabuk karena hal lain," saran Jeongu salah satu rekan bisnisnya baru-baru ini. Pengusaha muda penggila wanita.
"Maksudmu? Karena bercinta?" Tanya Yunki lagi—yang sudah jelas pasti jawabannya.
"Ya kurang lebih... jangan lupa kenakan pengaman. Yang penting lampiaskan," ucap Jeongu lagi, saran terlaknat yang pernah didengar.
Ia melirik Tae yang kemudian mengangguk. "Aku tau perasaanmu tak baik. Dan—" Ucapan Tae terhenti or mendekat pada Yunki dan berbisik. "Kami menyediakan, termasuk yang masih tersegel rapi."
Tae menatap Yunki penuh arti, seraya sedikit mengerjap.
"Seberapa banyak itu akan membantu melupakan masalah?"
"Untukku 100 persen saat kau melakukannya. Setelah terbangun tubuh akan rileks. Kau tau kan, bahwa seks membuat ototmu yang tegang membaik." Jawab Jeongu, lalu tersenyum dan meneguk minuman miliknya.
Yunki terdiam, ia menatap gelas kaca di hadapannya. Sambil sibuk memutar bagian bibir gelas dengan jemarinya. Pikirannya masih kolot. Ia masih ragu apa pria bisa melakukan hubungan intim tanpa dasar cinta?
"Kalau begitu, berikan aku satu." Ucapnya tiba-tiba.
Woohoo!
Sorak Tae dan Jeongu seolah baru saja memenangkan sesuatu.
"Soft? Hard?" Tanya Tae lagi.
"Hard."
***